Haruskan RUU Perampasan Aset? | Pranusa.ID

Haruskan RUU Perampasan Aset?


Thom Sembiring | Direktur Eksekutif Gerakan Jangkar Nusantara

KOLOM– Belakangan ini, desakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali mencuat di ruang publik. Terutama setelah beberapa hari belakangan terjadi demonstran yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat yang di antaranya menuntut keseriusan oleh negara terhadap kasus korupsi. Bagaimana proyeksi realisasi RUU tersebut?

Mahfud MD dalam suatu kesempatan membuka fakta, bahwa Ketum PDIP Megawati Sukarnoputri mengatakan pihaknya setuju dengan RUU tersebut. Namun urung menyorongkannya karena merasa  mentalitas dan profesionalitas aparat yang perlu diperbaiki terlebih dahulu. Muncul kekhawatiran, kehadiran UU ini justru bukan jadi alat hukum, tapi jadi alat politik baru untuk memeras hingga menyandera lawan politik yang malah membahayakan kondisi negara.

Meski demikian, PDIP mempersilahkan bila pemerintah merasa kesulitan dengan proses di DPR dalam menyiapkan RUU ini, yakni lewat jalur penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Ini adalah mekanisme dan otoritas yang ada pada pemerintah. Bahkan Aria Bima Trihastoto, salah satu elit PDIP pada 2024 lalu menantang pemerintah untuk mengeluarkan PERPPU tersebut. Tapi tak pernah keluar barangnya sehingga banyak pihak menduga, ini hanya drama merebut citra di depan rakyat.

Setali tiga uang, Benny Kabur Harman dari Demokrat baru-baru ini juga menyarankan hal yang sama. Agar pemerintah menerbitkan PERPPU saja, bila merasa ada kegentingan. Pemerintahan Prabowo yang tanpa oposisi mestinya sangat bisa melakukannya. Bahkan sebenarnya sejak Presiden Jokowi yang bisa menghantar anaknya lolos masuk kontestasi politik dengan drama Mahkamah Konstitusi, sejatinya sangat bisa melakukannya bila ia bersungguh-sungguh dengan niatnya. Bukan sekadar pencitraan karena tahu bahwa di DPR tidak akan mungkin memproses RUU tersebut dan itu akan membuatnya terlihat hebat.

Lebih jauh dan membuka kesadaran, dalam suatu Podcast, Ahok lalu memberi perspektif menarik. Bahwa Presiden tanpa membuat RUU Perampasan Aset, cukup dengan membuat Peraturan Pemerintah saja, bisa melawan korupsi.

Menurut Ahok, UU Nomor 7 Tahun 2006 adalah tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) kunci. UU ini sudah ada sejak era SBY dan bisa dipakai sebagai payung hukum untuk melawan korupsi termasuk menyita aset hasil korupsi.

UU tersebut memang bertujuan mengesahkan Konvensi PBB untuk mencegah dan memberantas korupsi secara internasional, memperkuat kerja sama antarnegara dalam penanganan korupsi, dan memfasilitasi pemulihan aset hasil korupsi.

Artinya, ini bukan soal UU. Ini soal itikad pemimpin negara. Sejak era SBY seharusnya perampasan aset koruptor bisa dilakukan dengan membuat aturan turunan UU nomor 7 tahun 2006 berupa Peraturan Pemerintah. Tapi barang ini tidak pernah keluar dari pemerintah.

Maka perasaan dan pandangan Megawati Sukarnoputri soal RUU Perampasan Aset, ada benarnya. Untuk apa mobil baru yang lebih kencang, kalau supirnya tidak berani ngebut. Mobil lama yang bisa dipakai ngebut saja dibuat supir mogok tak terpelihara supaya tidak perlu bergerak, lantas untuk apa mobil baru ada kalau supirnya belum dibina atau diganti. Kira-kira demikian barangkali perasaan perempuan terkuat di Indonesia itu.

Kalau melihat sejarah perjalanan bangsa, cukup masuk akal apa yang disampaikan Megawati Sukarnoputri. Fakta sejarah, Presiden perempuan itu yang menginisiasi perbaikan lembaga negara dan membangun keseimbangan serta fungsi check and balance antar kekuasaan. Pada pemerintahannya TNI dan POLRI dipisah, dengan harapan ada reformasi POLRI dan menguatnya supremasi sipil setelah militer puluhan tahun menguasai ruang hidup sipil di bawah rezim orde baru.

Presiden Megawati melahirkan KPK karena memandang korupsi yang meluas saat era matinya supremasi sipil, tak cukup dikerjakan polisi. Meski kemudian ia juga jengkel, lembaga antirasuah itu lalu tetap juga dipandang tak lepas dari cengkeraman politik kekuasaan.

Pada eranya juga Mahkamah Konstitusi lahir. Agar setiap UU yang merugikan rakyat dan tak memenuhi kriteria serta proses yang benar, oleh rakyat dapat dilakukan Judicial Revuew. Sebuah lembaga penting untuk penguatan demokrasi. Tapi lagi-lagi, lembaga ini pun tak lepas dari politisasi ketika pemilu 2024 terjadi skandal di mana Mahkamah Konstitusi dipakai untuk meloloskan putera penguasa masuk kontestasi Pilpres meski tak memenuhi syarat undang-undang. Drama politik itu adalah skandal hukum yang kelak akan tetap dibaca generasi yang lebih terdidik di masa depan.

Jadi bisa dibayangkan. Bahkan jauh hari Megawati telah berupaya menata kelembagaan negara dan melawan korupsi dengan membentuk KPK yang sifatnya ad hoc sebagai komisi. Artinya diharapkan hanya berdiri sebentar sampai POLRI siap sepenuhnya direformasi. Faktanya, KPK masih berdiri tak juga dibubarkan. Dan POLRI apakah sudah dipandang memiliki kepercayaan publik dalam memberantas korupsi? Publik bisa menilai sendiri. Pascapemilu 2024 bahkan ada kesan kekuasaan politik di luar yang mengendalikan KPK. Ini justru lebih rumit dan tampaknya berdampak pada situasi belakangan ini.

Ini menunjukkan akar utama bukan lembaga atau Undang-Undang, tapi mentalitas sumber daya manusianya. Kita bisa paham, kenapa era Presiden Jokowi, PDIP menyorongkan agenda Revolusi Mental sebagai tagline. Itu adalah gagasan partai yang dijadikan bahan kampanye dan program calon presiden usungan mereka. Sebagai keyakinan, bahwa mentalitas itu yang pertama perlu dibentuk sebelum bicara lebih jauh soal badan atau UU.

Cilaka, kita tahu ujung kemesraan Presiden Jokowi dan PDIP pada periode kedua. Arah keberlanjutan perjuangan politik mereka harus berhenti ketika ada yang merasa perlu melanjutkan kekuasaan. Beberapa pihak menduga, menumpangi seorang yang sudah lansia dan punya riwayat beberapa kali bedah otak, akan memberinya waktu cukup singkat untuk melihat kekuasaan bisa kembali padanya. Beberapa yang lain menyebut ada komitmen politik bagi durasi kekuasaan 2 tahun untuk Presiden dan 3 tahun berikut dilanjutkan Wakil Presiden.

Tapi sekali lagi, politik memang menarik dan kekuasaan itu menggoda. Tak bisa diprediksi dan perkongsian itu sepertinya pecah lebih awal. Presiden Prabowo malah tampaknya lebih nyaman meninggalkan lawan yang sempat memberinya jalan naik ke kekuasaan. Tak mau dibayangi dan ingin jadi Presiden independen tanpa diganggu. Berkuasa sepenuhnya, bukan dianggap boneka. Menimbulkan kegelisahan bagi kawan tandemnya, yang kerap digoyang dengan isu pemakzulan.

Lalu disinilah akhirnya kita semua. Terjebak dalam perdebatan dan krisis politik yang sepertinya belum menemukan ujungnya. Dan kita rakyat berpikir RUU Perampasan Aset mesti segera disahkan, saat di dalam para elit sendiri masih saling was-was dan mengatur strategi agar bertahan dalam kekuasaan.

Jadi haruskah RUU Perampasan Aset yang dituntut, dengan proses politik yang kompleks di DPR? Atau cukup meminta PERPPU oleh satu Presiden? Atau lebih mudah lagi segera pemerintah, tanpa DPR buatkan PP turunan UU nomor 7 tahun 2006? Atau seperti dugaan Megawati Sukarnoputri, bereskan saja dulu reformasi birokrasi di tubuh aparat penegak hukum. Agar mereka punya mentalitas penegakan hukum yang baik, bukan atas kekuasaan yang membuat mereka juga ikut drama saling berebut kekuasaan penanganan kasus, seperti dugaan sebagian pihak yang terlihat belakangan dari situasi antara POLRI dan Kejaksaan.

Editor: Bagas

Berita Terkait

Top