Dunia Merugi Rp1.800 Triliun, 2025 Jadi Tahun Termahal Akibat Bencana Iklim

pranusa.id December 23, 2025

FOTO: Bencana Sumatera (Sumber: Tempo.co)

JAKARTA – Tahun 2025 tercatat sebagai salah satu periode dengan kerugian finansial terbesar dalam sejarah pencatatan bencana iklim global. Total kerugian ekonomi dari sepuluh bencana terbesar di dunia sepanjang tahun ini diperkirakan melampaui US$120 miliar atau setara lebih dari Rp1.800 triliun.

Angka fantastis ini terungkap dalam laporan terbaru Christian Aid berjudul Counting the Cost 2025: A Year of Climate Breakdown.

Laporan tersebut menyoroti bahwa kebakaran hutan di California, Amerika Serikat, pada awal tahun menempati urutan pertama sebagai bencana paling mahal dengan kerugian mencapai US$60 miliar dan menelan 400 korban jiwa.

Di peringkat kedua, bencana banjir dan longsor yang dipicu siklon tropis di kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan pada November 2025 menyebabkan kerugian ekonomi sebesar US$25 miliar.

Peristiwa ini merenggut setidaknya 1.750 nyawa yang tersebar di Thailand, Indonesia, Sri Lanka, Vietnam, dan Malaysia.

Termasuk dalam catatan kelam tersebut adalah hantaman Siklon Tropis Senyar di Sumatera, yang turut berkontribusi pada besarnya angka kerugian global tahun ini. Di Indonesia sendiri, dampak perubahan iklim semakin nyata dengan meningkatnya intensitas badai yang memicu curah hujan ekstrem dan banjir mematikan.

Patrick Watt, CEO Christian Aid, menegaskan bahwa rangkaian bencana ini merupakan peringatan keras bagi dunia. Ia menyebut fenomena ini menggarisbawahi urgensi transisi energi dari bahan bakar fosil serta kebutuhan mendesak akan adaptasi iklim, terutama bagi negara-negara berkembang yang memiliki sumber daya terbatas namun paling rentan terhadap guncangan iklim.

Senada dengan Watt, Mohamed Adow, Direktur Power Shift Africa, menyoroti ketimpangan dampak yang dirasakan. Menurutnya, ketika negara-negara maju sibuk menghitung kerugian finansial, jutaan penduduk di negara miskin seperti di Afrika, Asia, dan Karibia harus menghitung nyawa, tempat tinggal, dan masa depan yang hilang akibat bencana yang sebenarnya dipicu oleh ekspansi bahan bakar fosil dan kelambanan politik global.

Selain kerugian ekonomi langsung, wilayah terdampak juga dihadapkan pada biaya pemulihan jangka panjang yang sangat besar. Sebagai contoh, estimasi biaya rekonstruksi pascabanjir parah di Sumatera diperkirakan melebihi US$3 miliar, sebuah beban berat yang harus ditanggung di tengah upaya pemulihan ekonomi pascabencana.

Laporan: Marsianus | Editor: Kristoforus

Rekomendasi untuk Anda
Berita Lainnya
Dugaan Pidana: KPK Endus 60 LHKPN Pejabat Terindikasi Korupsi
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengungkap temuan mengejutkan…
Sempat Dirawat, Nadiem Makarim Dinyatakan Sehat Jelang Sidang Kasus Chromebook
JAKARTA – Mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek),…
Rayakan Pencapaian 2025, English 1 Hadirkan Inovasi Berkelanjutan Melalui “English 1 Reward”
JAKARTA — English 1, jaringan sekolah bahasa Inggris terkemuka yang…
Dihantam Banjir dan Longsor, Lebih dari 100 Cagar Budaya di Sumatera Rusak
JAKARTA – Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda…
Telan 192 Korban Jiwa, Pemulihan Agam Pascabencana Masih Tersendat
AGAM — Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyampaikan perkembangan terbaru penanganan…