Angkat Tema Representasi Tionghoa dalam Buku Teks Sejarah, Hendra Kurniawan Lulus Ujian Promosi Terbuka Doktor di UPI | Pranusa.ID

Angkat Tema Representasi Tionghoa dalam Buku Teks Sejarah, Hendra Kurniawan Lulus Ujian Promosi Terbuka Doktor di UPI


FOTO: Dokumentasi promosi doktor Hendra Kurniawan di UPI.

PRANUSA.ID — Promovendus Hendra Kurniawan meraih gelar doktor dengan disertasi “Representasi Tionghoa sebagai Konstruksi Kebhinekaan dalam Pembelajaran Sejarah Indonesia (Kajian Buku Teks dan Pengalaman Belajar Siswa SMA Santa Angela Bandung)” secara luring di ruang sidang Gedung Pendidikan Sejarah Magister dan Doktor Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia dan secara daring melalui zoom meeting, Senin (7/8/2023).

Ujian Terbuka Promosi Doktor tersebut dihadiri oleh Prof. Dr. Leo Agung S., M.Pd selaku Penguji Eksternal, Dr. Wawan Darmawan, S. Pd., M.Hum selaku Penguji, Prof. Dr. Nana Supriatna, M.Ed. selaku Ketua Tim Promotor, Dr. Agus Mulyana, M. Hum selaku Kopromotor, dan Dr. Lelly Yulifar, M.Pd selaku Anggota Promotor.

Promovendus Hendra Kurniawan mengangkat disertasi soal fenomena representasi Tionghoa sebagai konstruksi kebhinekaan dalam pembelajaran sejarah Indonesia di sekolah menengah atas. Di hadapan tim penguji dan promotor, Hendra Kurniawan mempertahankan disertasinya.

Dalam pokok pembahasannya, ia menggunakan teori kritis untuk menemukan representasi Tionghoa dalam historiografi Indonesia melalui kajian buku teks sejarah Indonesia dan pengalaman belajar siswa di SMA Santa Angela Bandung.

Simpulannya, pertama, ia menemukan bahwa representasi Tionghoa dalam buku teks mensyaratkan pembelajaran yang mengeksplorasi beragam sumber belajar agar tercipta pengalaman belajar multifaset yang kontekstual dan bermakna.

Kedua, pemaknaan representasi Tionghoa dalam praktik wacana buku teks berpotensi mengalami ilusi inklusi jika tidak diiringi pengalaman belajar yang mendisposisi siswa terhadap kognisi sosial yang menjadi counter-discourse terhadap memori kolektif masyarakat dengan memperhatikan konsep living curriculum.

Ketiga, konstruksi kebhinekaan melalui representasi Tionghoa membutuhkan formulasi pembelajaran sejarah yang memberdayakan siswa secara eksploratif, dialogis, tanggap zaman, reflektif kritis, dan mengarah pada pendidikan sejarah yang inklusif untuk penguatan integrasi bangsa.

“Penelitian yang saya lakukan memperkuat teori yang pernah ada bahwa telah terjadi ilusi inklusi dalam representasi Tionghoa di buku teks Indonesia. Untuk itu, dibutuhkan peran guru dalam memberdayakan siswa sehingga pembelajarannya dapat menguatkan nilai-nilai kebhinekaan dan kulturalisme. Ini menunjukkan pendidikan sejarah yg inklusif semakin penting di Indonesia,” kata Hendra menjawab pertanyaan pertama yang diajukan oleh Prof. Dr. Leo Agung S., M.Pd.

Hendra Kurniawan juga sigap menjawab salah satu pertanyaan yang diajukan oleh Dr. Wawan Darmawan, S. Pd., M.Hum soal apakah dia menemukan temuan-temuan lain saat melakukan penelitian disertasinya.

“Saya rasa masih terbuka ruang yang begitu lebar terkait representasi minoritas karena ini sangat minim di masa Orde Baru. Temuan menariknya, dalam buku teks yang diterbitkan pemerintah, sudah mulai memberi tempat pada kelompok lain. Misal kerajaan-kerajaan Islam di Papua. Padahal buku teks di Orde Baru hanya membicarakan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan Sumatera. Bagaimana peran-peran kelompok yang beragam itu juga dihadirkan, agar inklusif,” tutur dia.

Kemudian, giliran Dr. Lelly Yulifar, M.Pd yang mengajukan beberapa pertanyaan. Salah satunya, ia menanyakan kesan Hendra Kurniawan sebagai akademisi terhadap fenomena di kalangan anak muda yang akrab dengan istilah ‘chindo’. Apakah tetap akan mempertahankan istilah konvensional ‘Tionghoa’ atau muncul keinginan untuk merekonstruksinya dengan stereotip di kalangan anak muda saat ini.

“Mereka barangkali tidak memiliki ikatan dengan sejarah Orde Baru. Sehingga saya tanggapi, sebagian siswa, bagi mereka penggunaan istilah apapun sepanjang maknanya tidak bermaksud untuk menghina, mereka masih bisa menerima. Istilah cina itu dianggap berkonotasi negatif jika dilihat dari akar sejarahnya, tapi sebagian dari mereka tidak keberatan. Saya rasa juga karena orientasinya ke barat dan lainnya sehingga mereka merasa lebih nyaman dipanggil Chinese Indo (Chindo). Tapi kalau melihat peraturan yang dikeluarkan di era Pak Susilo Bambang Yudhoyono, saya tetap berpegang pada Tionghoa yang dimaksud sebagai orang-orang Chinese di Indonesia,” jelasnya.

Hendra menegaskan bahwa buku teks yang ditelitinya adalah yang terbit pada tahun 2017 dan 2018 yang masih menerapkan kurikulum 13. “Saya melihat buku teks ini merepresentasikan pandangan negara. Jika dibandingkan antara Orde Baru, maka ini tentu jauh lebih baik kontennya. Namun, yang jadi fokus sorotan dalam penelitian ini adalah apakah wacana yang ingin ditampilkan sudah sesuai dengan yang diinginkan pada reformasi atau justru masih sesuai dengan keinginan Orde Baru?” katanya saat menjawab pertanyaan dari Dr. Agus Mulyana, M. Hum.

Berkat disertasi dan kemampuan dalam mempertahankan disertasi tersebut, promovendus Hendra Kurniawan berhasil meraih gelar Doktor dalam Pendidikan Sejarah dengan yudisium cumlaude (pujian) dengan IPK 3,98.

Dalam sidang doktor tersebut, turut hadir Rektor Universitas Sanata Dharma Albertus Bagus Laksana, S.J. S.S., Ph.D, Wakil Rektor I Universitas Sanata Dharma Prof. Ir. Sudi Mungkasi, Ph.D., dan Dekan FKIP Universitas Sanata Dharma Drs. Tarsisius Sarkim, M.Ed., Ph.D, serta sejumlah pimpinan civitas akademika dan tamu-tamu kehormatan lainnya. *(MN/JCI)

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top