IDEAS: 25,5% Perokok Anak Mulai Merokok Sejak SD | Pranusa.ID

IDEAS: 25,5% Perokok Anak Mulai Merokok Sejak SD


Ilustrasi: Rokok. (CNN Indonesia/Wikipedia)

JAKARTA – Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) merilis temuan mengejutkan yang mengungkap bahwa 25,5 persen perokok anak dari rumah tangga miskin di pedesaan sudah mulai menghisap rokok sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).

Survei yang dilakukan pada 2024 di 54 desa tertinggal di lima provinsi ini juga menemukan bahwa mayoritas, atau 58,5 persen, mulai merokok pada usia SMP (13-15 tahun).

Direktur Advokasi Kebijakan IDEAS, Agung Pardini, menyatakan temuan ini menunjukkan betapa mengkhawatirkannya jeratan rokok yang berdampak langsung pada pola konsumsi dan masa depan pendidikan anak-anak miskin.

Temuan paling mencemaskan adalah dampak rokok terhadap alokasi belanja anak. Survei ini mengungkap bahwa 36,7 persen uang saku anak miskin habis dialokasikan untuk membeli rokok, angka ini lebih tinggi daripada pengeluaran mereka untuk makanan dan minuman (32,6 persen).

“Rokok kini seolah menjadi kebutuhan pokok baru dalam rumah tangga miskin. Akibatnya, alokasi untuk nutrisi, pendidikan, dan kebutuhan dasar lainnya berkurang,” ujar Agung Pardini dalam keterangan resminya, Sabtu (18/10/2025).

Riset ini mengemuka di tengah ramainya kasus viral kekerasan di sekolah terkait rokok, seperti kasus kepala sekolah di Banten yang menampar siswanya.

Menurut Agung, ini adalah sinyal bahwa lingkungan sekolah masih sangat rentan terhadap peredaran rokok.

Lingkungan Sosial Lebih Dominan dari Keluarga

Studi IDEAS ini juga mematahkan asumsi bahwa keluarga adalah faktor utama. Hasil survei menunjukkan 67,9 persen perokok anak mendapatkan rokok dari orang lain, terutama teman dan tetangga. Hanya 5,7 persen yang mendapatkannya dari keluarga inti.

“Ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan sosial di luar rumah, termasuk sekolah, jauh lebih dominan dalam membentuk perilaku merokok anak,” jelas Agung.

Ia menambahkan, siklus kecanduan terjadi sangat cepat. Dari 106 responden, 69,8 persen sudah menjadi perokok aktif.

“Fase mengenal rokok dan fase menjadi perokok aktif hampir tidak memiliki jarak waktu. Begitu anak mencoba, mereka langsung terjerat menjadi perokok aktif,” katanya.

Kebiasaan merokok ini berbanding lurus dengan tingginya angka putus sekolah. Data IDEAS mencatat, 50 persen perokok anak dari keluarga miskin ini berhenti sekolah di tingkat SMP, dan hanya 35,8 persen yang berhasil menamatkan SMA.

Desak Larangan Iklan dan Penjualan Rokok Dekat Sekolah

Melihat dominannya faktor lingkungan eksternal, IDEAS mendesak agar sekolah diberikan peran lebih besar dalam mengendalikan ekosistem merokok di lingkungannya.

Agung juga menyoroti gencarnya iklan dan promosi rokok yang menyasar kelompok muda, yang menancapkan asosiasi positif merokok dengan kebebasan dan maskulinitas.

Menurutnya, kesadaran publik soal bahaya rokok akhirnya tenggelam oleh banjir iklan.

“Kami mendorong pemerintah memperketat larangan iklan, promosi, dan penjualan rokok di sekitar sekolah. Minimal dalam radius beberapa ratus meter dari sekolah tidak boleh ada toko yang menjual rokok atau menampilkan iklan rokok,” tegas Agung.

Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa masalah ini bukan sekadar isu kesehatan, tetapi masalah kebijakan publik yang mengorbankan masa depan anak-anak miskin.

“Setiap batang rokok yang dibakar anak miskin berarti sebagian uang makan, uang sekolah, bahkan masa depan yang ikut terbakar,” pungkasnya.

Laporan: Hendri | Editor: Kristoforus

Berita Terkait

Top