Ketua PMKRI Palangka Raya Dorong Pengakuan Masyarakat Hukum Adat di Tengah Perubahan Iklim | Pranusa.ID

Ketua PMKRI Palangka Raya Dorong Pengakuan Masyarakat Hukum Adat di Tengah Perubahan Iklim


FOTO: Webinar nasional bertajuk “Pemuda Adat Sebagai Agen Perubahan untuk Penentuan Nasib Sendiri”, Selasa (29/8/2023).

Laporan: Bagas R | Editor: Jessica C. Ivanny

PRANUSA.ID– Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Palangka Raya “Sanctus Dionisius” mendorong kesadaran generasi muda untuk turut mendukung pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat. Hal ini dilakukan dengan menggelar webinar nasional bertajuk “Pemuda Adat Sebagai Agen Perubahan untuk Penentuan Nasib Sendiri”, Selasa (29/8/2023).

Rahel Dewi Sartika, Ketua Presidium PMKRI Cabang Palangka Raya “Sanctus Dionisius” menyebut hingga saat ini pengakuan terhadap masyarakat hukum adat belum diturunkan dalam bentuk Undang-undang meski telah disebut dalam konstitusi.

“Masih terasa belum diakuinya masyarakat hukum adat, sehingga harapannya dengan webinar nasional kali ini, kita sebagai generasi muda boleh mengetahui sedikit banyak tentang masyarakat adat. Menghormati dan menghargai masyarakat hukum adat,” ujar Rahel dalam sambutan pembukanya.

Rahel menyebut tema peringatan masyarakat adat internasional tahun ini menarik untuk disimak karena mengingatkan peran pemuda adat. Menurutnya pemuda adat perlu sadar bahwa secara global, masyarakat adat disebut berkontribusi hingga 15% terhadap kemiskinan dunia. Meski menurutnya tolok ukur kemiskinan bagi masyarakat modern dengan masyarakat adat yang mengandalkan hutan, tentu saja berbeda.

Di tengah situasi ini dan berkembangnya perubahan iklim, Rahel mendorong agar pemuda adat dan generasi muda pada umumnya mendorong pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan terhadap masyarakat hukum adat. Perubahan iklim yang ekstrim saat ini menurutnya menunjukkan adanya masalah dari pengabaian terhadap pentingnya hutan dan masyarakat adat.

“Ini juga menjadi refleksi kita semua untuk melihat bagaiaman perhatian kita terhadap masyarakat adat,” ujarnya.
Sementara itu, Anggota DPD RI, Agustin Teras Narang, sebagai narasumber menyampaikan catatan kritisnya. Menurutnya mahasiswa bukan sekadar agen perubahan. Mahasiswa menurutnya justru mesti menjadi pelaku perubahan itu sendiri. Terlebih dalam mendorong pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat hukum adat.

Gubernur Kalimantan Tengah dua periode 2005-2015 tersebut pun mengajak gerakan mahasiswa seperti PMKRI untuk turut mengawal Rancangan Undang-Undang terkait pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat.

“Gerakan masyarakat sipil termasuk gerakan mahasiswa seperti PMKRI diharapkan turut mendukung dengan memberikan dorongan pada parlemen untuk mengesahkan RUU Masyarakat Hukum Adat,” ajaknya.

Teras menyebut sudah nyaris dua dekade RUU Masyarakat Hukum Adat dari DPR RI dan pemerintah dinantikan. Padahal RUU ini disebut penting dalam menyeimbangkan kepentingan pembangunan ekonomi dan ekologi. DPD RI sendiri sebutnya mendorong hadirnya RUU ini.

Bahkan DPD RI telah menyiapkan RUU Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang telah disosialisasikan dalam beberapa tahun terakhir, namun masih belum ada pembahasan tripartit untuk pengesahannya.

“Parlemen mesti memberi prioritas terhadap RUU yang sudah tertunda nyaris 2 dekade ini,” tandasnya.

Teras juga menjelaskan bahwa pemenuhan hak tradisional masyarakat hukum adat atas tanah mesti diberikan oleh negara. Seluruh kearifan lokal khususnya yang berkaitan dengan pertanahan dalam urusan MHA perlu diperhatikan negara.

Selanjutnya tanah ini dapat menjadi pusat pengelolaan ekonomi berbasis hutan sekaligus menjaga kepentingan ekologi. Hutan adat misalnya dapat menjadi tempat wisata atau hutan produksi yang berkelanjutan, sehingga fungsi keadilan sosial dapat diwujudkan.

Selain itu, ia juga berharap kepala daerah turut menghadirkan kebijakan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat. Pada periode kepemimpinannya sebagai Gubernur Kalimantan Tengah, ia mengaku telah menjadi pionir dengan mengeluarkan kebijakan terkait baik berupa Peraturan Daerah maupun Peraturan Gubernur.

“Kepala daerah perlu memberi prioritas pada upaya pengakuan, penghormatan, pelindungan, dan pemberdayaan Masyarakat Hukum Daerah lewat kebijakan di daerah,” ujarnya.

Provinsi Kalteng dalam kepemimpinan Teras Narang sempat menerbitkan Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan Tengah, yang kemudian disesuaikan lewat terbitnya Perda Nomor 1 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah
Perda ini kemudian disusul dengan terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2009 Tentang Tanah Adat Dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah Di Provinsi Kalimantan Tengah. Ini adalah salah satu capaian besar dan pionir kebijakan soal perlindungan MHA di Indonesia.

Dalam acara ini turut hadir narasumber Sidik R Usok selaku Dewan Pakar Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah, Bertha dari International Movement of Catholic Student Regio Asia Pasifik yang tengah berada di Timor Leste, dan Kosmas Mus Guntur dari Pengurus Pusat PMKRI di Jakarta.

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top