Analisis Kritis PTDH Kompol Cosmas: Ketika Keadilan Terasa Dipaksakan

KOLOM– Keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap Kompol Cosmas telah memicu perdebatan luas dan mengundang sorotan tajam, terutama dari perspektif hukum dan keadilan prosedural.
Sebagai calon advokat muda, saya melihat jelas adanya sejumlah kejanggalan yang mengindikasikan bahwa proses penjatuhan sanksi tidak sepenuhnya sejalan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku terkait putsan yang harus diterima oleh Kompol Cosmas.
Secara fundamental, PTDH merupakan sanksi terberat yang menuntut pembuktian pelanggaran secara sah dan meyakinkan, serta harus melalui proses yang menjamin hak-hak terduga pelanggar.
Kerangka hukumnya diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2003 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kedua peraturan ini menggarisbawahi pentingnya asas due process, yang mencakup transparansi bukti, hak pembelaan diri, dan proporsionalitas sanksi.
Namun, dalam kasus Kompol Cosmas, banyak pihak menilai implementasi asas-asas tersebut tidak konsisten.
Persidangan internal Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) menunjukkan adanya celah besar, di mana fakta di lapangan tidak selaras dengan tuduhan yang dialamatkan.
Beberapa masalah utama yang disorot meliputi diabaikannya bukti-bukti yang meringankan, keterangan saksi yang sering bertentangan dengan dokumen resmi, dan penjatuhan sanksi maksimal sebelum ada kepastian hukum yang utuh mengenai kadar tanggung jawabnya.
Situasi ini menimbulkan kesan kuat bahwa keputusan PTDH lebih didasarkan pada keinginan untuk menunjukkan ketegasan institusional daripada penerapan mekanisme hukum yang adil dan sah.
Lebih jauh, PTDH seharusnya menjadi pilihan terakhir (ultimum remedium). Peraturan yang ada menyediakan sanksi alternatif yang lebih proporsional untuk kasus-kasus yang faktanya masih menjadi perdebatan, seperti penurunan atau penundaan kenaikan pangkat, mutasi administratif, hingga teguran tertulis.
Penggunaan sanksi terberat dalam konteks ini secara sah menimbulkan pertanyaan serius: apakah keputusan ini murni legal secara prosedural, atau ada kepentingan lain yang mempengaruhinya?.
Kejanggalan ini tidak luput dari perhatian publik dan media. Reaksi keras datang dari masyarakat, yang diwujudkan melalui sebuah petisi daring yang menuntut peninjauan kembali keputusan PTDH terhadap Cosmas.
Petisi tersebut berhasil mengumpulkan lebih dari 196.000 tanda tangan, menunjukkan adanya keprihatinan publik yang luas terhadap kasus ini.
Media-media nasional seperti Metro TV News, Tabura Pos, Alinea, dan Harian Disway turut melaporkan kontroversi yang timbul.
Sorotan utama media berpusat pada ketidakpastian prosedural, ketimpangan sanksi yang dijatuhkan, serta ketidakjelasan dasar hukum yang menjadi landasan putusan PTDH tersebut.
Kasus Kompol Cosmas menjadi sebuah alarm keras bagi institusi Polri. Ketika ketegasan dieksekusi tanpa diimbangi oleh keadilan dan kepastian hukum, maka kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum akan tergerus.
Masyarakat tidak membutuhkan “sandiwara ketegasan” yang mengorbankan individu demi menjaga citra lembaga. Sebaliknya, yang dituntut adalah sebuah sistem penegakan disiplin internal yang konsisten, proporsional, dan sepenuhnya taat pada hukum yang berlaku.
Editor: Michael