Dua Jenderal dan Kuasa Politik
Penulis: Thom Sembiring. Direktur Eksekutif Jangkar Nusantara.
Sama-sama berpengaruh besar meski datang dari minoritas. Kepemimpinan mereka, sama-sama mewarnai perubahan militer hingga kehidupan politik Indonesia.
Leonardus Benny Moerdani (Benny) pernah dituding hendak menggunakan ABRI untuk menjadi Presiden, meski ia membantah dengan alasan dirinya seorang Katolik dan keturunan Indo-Jerman. Figur yang tak masuk dalam kriteria masyarakat. Sementara Luhut Binsar Panjaitan dianggap sekelas Perdana Menteri hingga istilah lain yang mengesankan hebatnya posisi Luhut di pemerintahan. Dianggap cocok jadi Presiden, Luhut blak-blakan dan mengajarkan sikap realistis. Ia sebut kalau bukan Jawa, jangan berharap jadi Presiden.
Benny tangan kanan Presiden Suharto, namun tersingkir hanya karena ia mengingatkan si smiling general soal perilaku anak-anaknya. Ia katakan menjamin ABRI dukung Suharto tapi tak jamin mendukung anak-anaknya. Suharto diam mendengar kritik Benny dan meninggalkannya sendiri di ruang biliar. Tak keluar lagi menemuinya.
Sejak itu jabatannya dicopot sebagai Panglima ABRI. Meski demi kondusivitas di kalangan prajurit, Benny yang dijuluki Raja Intelijen itu lalu diberi kekuasaan Menhamkam yang tidak memegang komando langsung. Keberaniannya mengingatkan praktik bisnis anak-anak Suharto dan agar pengganti Sukarno itu mengakhiri kekuasaan karena terlalu lama berkuasa, jadi mula redup karirnya.
Redupnya karir Benny, salah satu legenda militer Indonesia di era orde baru tak lepas dari nyali mengingatkan sahabatnya, presiden yang sedang berkuasa. Karena sikapnya itu pula ia berisiko tinggi dan pernah masuk target penculikan Prabowo Subianto.
Dalam buku “Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando”, dikisahkan Sintong Panjaitan, mantan atasan Prabowo, bagaimana Luhut kaget karena ada pasukannya yang menggelar rencana penculikan itu.
Saat itu, Luhut masih berpangkat mayor dan merupakan komandan Detasemen 81/Antiteror Kopassus. Sementara Prabowo masih berpangkat kapten dan wakil Luhut di detasemen yang kini dikenal dengan nama Satuan Penanggulangan Teror (Satgultor) 81 itu. Luhut juga heran karena baru beberapa bulan sebelumnya Prabowo memuji LB Moerdani yang dikenal banyak membangun kekuatan militer Indonesia dengan hebat.
Akhirnya, begitulah Benny redup karir militernya. Begitupun Luhut yang dianggap sebagai anak emas Benny yang bahkan tak sempat menjadi sekelas Pangdam sekali pun. Berbeda dengan Prabowo yang melejit karirnya meski tragedi 1998 mengubah banyak hal.
Benny, sosok bernyali dan patriotik sehingga kehilangan kejayaannya atas nyali mengingatkan sahabatnya, Suharto. Dalam catatan sejarah, pascalengsernya Suharto akibat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang membuat ekonomi lemah dari ancaman krisis, ada yang menyesal.
Suharto dalam kesempatan membesuk Benny yang tengah sakit di RSPAD Jakarta pada 2004, dengan lirih lalu berkata.
Kowe pancen sing bener, Ben. Nek aku manut nasihatmu, ora koyo ngene
(Kamu memang yang benar, Ben. Sekiranya aku menuruti nasihatmu, tak akan seperti ini)
Mata kedua sahabat yang telah menua itu terlihat berkaca-kaca. Beberapa hari kemudian Benny berpulang. Catatan ini termuat dalam buku “Benny Moerdani Yang Belum Terungkap”.
Pertanyaan menarik melihat dinamika politik hari ini. Di tengah memanasnya politik nasional karena mulusnya jalan putera Presiden Jokowi menuju Pilpres berkat putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi yang dipimpin pamannya Gibran sendiri. Bila Benny pernah berani mengingatkan Presiden Suharto soal hasrat berkuasa lama, apakah anak kesayangannya Luhut juga mungkin pernah mengingatkan sahabatnya Jokowi.
Kita tak pernah tahu. Tapi di tengah riuh politik belakangan, ketika memuncak menuju situasi hari ini, Luhut pun senyap. Dikabarkan sakit dalam perawatan. Meski publik bertanya, bila sakit mengapa tak ada kunjungan Presiden yang terpantau di berita.
Luhut yang pernah sebut untuk Presiden agar memilih yang muda-muda, mungkin saja juga kaget bahwa ada Cawapres muda. Atau sebaliknya tidak karena akun X Gibran memakai foto mereka berdua.
Apapun itu, kita berdoa agar Ompung Luhut, begitu sebagian kami jurnalis yang pernah meliputnya di Kemenko Marves menyebut, agar segera pulih dari sakit. Kita juga berdoa agar hangat demam politik hari ini, tak sampai membuat negara kita lalu jatuh sakit. Karena yakinlah, hari ini banyak yang sungguh tersakiti oleh sosok yang disebut disakiti.
Ah, urusan sakit hati rupanya pun bisa bikin bahaya hati sejati negeri ini, ialah rakyat yang terlalu besar memberi hati meski mereka juga banyak yang belum mengerti.
Memilihlah dan memilah dengan hati-hati.
Timur Jakarta, 25 Oktober 2023