Putusan MK, Wapres Hatta, dan Demokrasi Kita | Pranusa.ID

Putusan MK, Wapres Hatta, dan Demokrasi Kita


Ilustrasi

Penulis adalah Thom Sembiring | Direktur Eksekutif Jangkar Nusantara

KOLOM– Sekelompok anak muda teriak anti boneka dan petugas partai di berbagai momen. Mengikuti alunan politisi tua yang juga menghembuskan isu sejenis demi kemenangan partainya juga. Tidak sadar, kalau justru mereka pemuda itu justru tengah jadi boneka dan petugas bakal calon dinasti.

Saya bukan anggota partai dan justru kerap kali ikut mengkritik praktik politik partai-partai, termasuk yang dikritik sekelompok anak muda yang punya partai terkait penguasa ini. Dalam pengamatan termasuk dari media, partai yang dituduh dinasti ini, setidaknya tegak lurus pada pemikiran besar Bung Karno. Bukan pada bung Karno pribadi yang pasti punya sisi lemah juga.

Jadi partai ini bukan tegak lurus atau sejalan pada sosok dan keterpesonaan figur semata. Tapi pada gagasannya yang orisinil dan besar. Juga sesuai namanya, partai ini berdemokrasi dengan memunculkan figur-figur pemimpin dari daerah hingga pusat. Termasuk yang dipuja-puji hari ini, tanpa memprioritaskan keluarga sendiri. Meski pun ada upaya itu, setidaknya mereka takut dan manut pada kecenderungan suara rakyat. Demokratis.

Kalau ada yang bilang tanpa yang satu itu partai tidak akan menang dan bukan apa-apa tanpa idola mereka, ya mungkin malas baca apa jenis pelupa. Partai ini yang satu ini terus mengalami kemenangan setidaknya di legislatif dan itu menunjukkan kalau lebih besar masyarakat yang merasakan dampak dan percaya pada partai ini.

Begitulah bedanya partai dan individu yang bergotongroyong, dengan mereka yang lebih suka jalur potong memotong. Ada kerja kolektif di basis rakyat yang digarap.

Jadi anak-anak muda yang teriak sekaligus larut dalam pesona orang yang tega mengkhianati proses demokrasi dengan tendensi “nepotisme”, ya mesti sadar. Sikap anak muda dari partai baru ini yang juga bawa isu anak muda sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK), bukan soal anak muda lagi kalau di sana ada kelindan relasi kuasa.

Ini juga bukan sekadar urusan anak Presiden atau anak pejabat. Karena prinsipnya, sah saja siapapun maju dalam kontestasi politik. Sah saja mendadak Ketum dalam hitungan 2 hari sesudah terdaftar di partai. Tapi dengan kuasa lembaga negara menabrak pakem hukum yang menciderai kehormatan lembaga hasil reformasi itu, lantas apa kita anggap peristiwa biasa?

Kalau mengkhianati partai berkali-kali, itu perspesi etis. Hanya contoh buruk bagaimana melembagakan politik dan demokrasi. Tapi pura-pura mengatakan urusan parpol, urusan MK, hak rakyat, sementara yang disebut terkait dengan keluarga, ya mikir. Terutama yang terkait lembaga negara, jelas ini bahaya.

Bahaya di mana? Kalau lembaga negara seperti MK bisa dipengaruhi jalur ipar atau paman dan terbukti sekali pernah tak wajar putusannya. Mengutip Prof Yusril, mengandung cacat hukum serius, lalu bagaimana kita yakin lembaga negara lain akan netral dalam Pemilu 2024? Bagaimana kalau ada sengketa pemilu yang mesti dibawa ke MK, apa masih layak dipercaya dengan putusan sebelumnya yang berbau keluarga?.

Tidak ada partai dan elit yang benar-benar sempurna. Tapi perilaku dan upaya merongrong konstitusi sejak drama 3 periode, hingga terakhir soal putusan MK, menunjukkan lebih berbahaya individu yang berusaha memanfaatkan dukungan sebagian rakyat untuk mengotak-atik hukum serta kekuasaan.

Saya teringat pada kisah bagaimana Bung Hatta dengan integritasnya mengkritik Bung Besar Sukarno saat cenderung menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Demi sikapnya, Hatta menjauh dari posisi Wapres yang telah dipegang sebelumnya bersama sahabatnya Presiden Sukarno. Ia mencintai bung Karno sahabatnya, tapi ia mengkritik demi cinta yang lebih besar pada negara.

Hatta menerapkan sikap asketisme dalam berpolitik. Baginya asketisme dalam politik biasa diwujudkan sistem kekuasaan yang lebih mengutamakan nilai-nilai kebudayaan dan peradaban di mana hukum menjadi panglima dalam membangun kebudayaan dan peradaban. Terjadilah aktualisasi nilai, etika, moral, dan penguatan etos tingkah laku yang tidak menghendaki merampas atau mengalihkan hak seseorang menjadi milik pribadi (Hatta, 2014).

Menilik pandangan Hatta, adalah penting hidup dalam kejujuran dan integritas. Dengan tidak menempuh jalur yang menabrak pakem serta etika kekuasaan demi kepentingan pribadi.

Ini problem yang jelas membahayakan reformasi yang idenya memang mengendalikan dan menata kekuasaan agar kecenderungan KKN di penyelenggaraan negara bisa dihapus. Jadi kita bisa curiga, ada apa dibalik obsesi ini semua. Terlebih saat KPK juga justru dilemahkan lewat revisi UU beberapa tahun sebelumnya dan kini jadi lembaga yang juga disorot karena tokohnya ditenggarai berbagai pihak tak berintegritas.

Jadi waspada dengan yang jualan isu anak muda, kalau sejatinya itu demi anak Presiden yang dimuluskan jalannya sejak jadi Walikota. Orang bilang sudah teruji, padahal sulit menguji kalau kemajuan dan kinerjanya disokong khusus kekuasaan. Cek bagaimana tiap pengusaha dan pejabat mendukung program kota. Ini keberhasilan anak atau bapak, belum bisa diuji meski saya yakin itu keberhasilan bapak yang berhasil membangun banyak daerah.

Kalau ada yang bilang tinggal jangan pilih kalau tak suka, ya naif. Kalau tidak bisa dibilang kacau logikanya. Kalau sebelum menjadi kontestan ada dugaan kekuasaan lembaga negara dan Undang-undang ikut dimainkan demi kepentingan yang berlaga, bagaimana kita percaya kontestasinya sungguh netral. Kalau netralitas penyelenggaraan kontestasi sudah meragukan, ya milih saja sudah enggan. Masa gelagat begini anak muda dan terdidik pura-pura tidak paham.

Saya pemilih pemerintahan yang berkuasa 2 kali dan punya mimpi juga beliau yang tengah memimpin kelak memimpin partainya saat ini. Ia figur hebat sejauh ini, bagaimana pun dinamika politik ke depan akan membentuk citra barunya.

Saya juga bermimpi anak-anaknya yang merakyat kelak bersama anak-anak politisi lain yang sudah teruji baik, serta anak-anak muda dari kalangan rakyat biasa yang telah dikaderisasi di berbagai partai, bisa memimpin bangsa ini kelak. Tapi melihat gelagat hari ini jelas sangat mengusik nurani. Merakyat dan mengorbit kilat tak keliru juga, meski pun tak elok ketika mengambil jalur kilat yang diduga sesat.

Jadi, mari jaga kewarasan. Sebagaimana kata pemimpin Lingkaran Survey Indonesia, Denny JA di akun sosial medianya baru-baru ini, kalangan terdidik akan kritis. Ya termasuk pada praktik politik aneh belakangan ini. Maka yang didekati menurut saran konsultan politik ini untuk memenangkan cawapres putera penguasa adalah segmen wong cilik.

Menurut saya, pandangan ini adalah fakta bahwa wong cilik dianggap lebih mudah terpesona dan tak paham ada mekanisme dan etika yang bermasalah dari bakal calon pemimpin ini. Jadi adalah tugas para pemilih kritis untuk mencerahkan publik dan pemilih di kalangan wong cilik agar mereka tidak terjebak.

Mari jaga demokrasi dan semangat reformasi. Tak masalah mau anak siapa jadi pemimpin, sejauh hukum dan integritas lembaga negara tidak dipertaruhkan. Langkah politik yang berbahaya kalau kelak dicontoh dan diulang lagi oleh para politisi yang keliru.

Oposisi sejatinya sudah mati, maka suara nurani rakyat yang mesti dibangkitkan untuk melawan potensi nepotisme, kolusi, dan mungkin saja korupsi di balik kontestasi demokrasi.

Jelang peringatan sumpah pemuda, para pemuda mesti menyiapkan pembaruan sumpah yang relevan dengan tantangan zaman hari ini. Sumpah perlawanan terhadap praktik KKN, dengan satu integritas. Sumpah untuk kritis dengan yang hanya menjual nama anak muda demi kepentingan oligarki tua. Yuk.

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top