
JAKARTA — Penanganan dugaan korupsi kuota haji tahun 2024 yang tengah diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menuai perhatian publik.
Sejumlah pihak telah dipanggil untuk dimintai keterangan, mulai dari mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, pelaku usaha travel haji dan umrah, hingga penceramah Khalid Basalamah.
Meski demikian, hingga kini KPK belum mengumumkan satu pun pihak yang ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tersebut.
Situasi ini mendapat sorotan dari mantan pimpinan KPK periode 2011–2015, Bambang Widjojanto.
Ia menilai, terdapat perubahan kebijakan dalam penanganan perkara di tubuh lembaga antirasuah dibandingkan dengan masa kepemimpinannya.
Bambang mengatakan, pada masanya, setiap perkara yang naik dari tahap penyelidikan ke penyidikan selalu dibarengi dengan penetapan tersangka.
“Dulu itu tidak mungkin ada penyidikan tanpa tersangka. Begitu status perkara dinaikkan, maka tersangka sudah harus ditetapkan,” ujar Bambang dalam podcast yang diunggah di kanal YouTube pribadinya (28/12/2025).
Menurut Bambang, pola penanganan perkara seperti yang terjadi saat ini justru menimbulkan ketidakpastian hukum di tengah masyarakat.
Proses penyidikan yang berjalan tanpa kejelasan tersangka dinilai membuat publik harus menunggu tanpa kepastian arah penyelesaian kasus.
“Apakah kebijakan seperti ini mau terus dipertahankan? Karena publik dan pencari keadilan akhirnya dibuat menunggu dan tidak tahu ke mana arah penyidikan ini,” katanya.
Ia juga menilai kasus dugaan korupsi kuota haji memiliki latar belakang politik yang cukup rumit.
Bambang menyebut, persoalan ini awalnya mencuat dari ketegangan antara DPR dan Kementerian Agama, yang dalam perjalanannya ikut menyeret nama Presiden Joko Widodo.
“Ada dinamika politik yang kuat di awal. DPR dan Kementerian Agama bertarung cukup keras, bahkan saat itu nama Presiden Jokowi ikut disebut-sebut,” ucap Bambang.
Menurutnya, kebijakan Presiden Jokowi kala itu kerap dijadikan alasan munculnya polemik terkait kuota haji.
“Nama Presiden dipakai dalam perdebatan, seolah-olah ini semua akibat kebijakan Presiden Jokowi,” lanjutnya.
Lebih jauh, Bambang menilai perkara ini semakin sensitif karena diduga bersinggungan dengan organisasi Islam besar di Indonesia.
Hal tersebut turut mempengaruhi dinamika penanganan kasus hingga hari ini.
“Ini bukan sekadar soal teknis hukum. Isunya kemudian ditarik ke mana-mana, bahkan dikaitkan dengan salah satu organisasi Islam terbesar,” katanya.
Bambang juga menyoroti banyaknya pihak yang telah dipanggil KPK dalam kasus ini, mulai dari ratusan biro travel haji dan umrah hingga sejumlah tokoh publik yang dikenal luas.
“Ratusan biro umrah dan haji dipanggil, lalu muncul juga nama-nama kondang. Kalau masih ingat, ada Khalid Basalamah. Itu sebabnya kasus ini jadi sorotan besar,” ujarnya.
Ia mengingatkan, perhatian publik terhadap kasus dugaan korupsi kuota haji akan semakin meningkat seiring mendekatnya musim haji dan perayaan Idul Adha.
“Kalau sampai kasus ini tidak bisa dibongkar, padahal sudah lebih dari setahun, bagaimana nanti menjelang Idul Adha tapi perkaranya belum juga selesai?” tuturnya.
Dugaan korupsi kuota haji sendiri bermula dari adanya tambahan kuota sebanyak 20.000 jemaah yang diberikan oleh pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019, tambahan kuota tersebut seharusnya dialokasikan 92 persen untuk jemaah haji reguler dan 8 persen untuk jemaah haji khusus.
Namun dalam praktiknya, pembagian kuota itu diduga berubah menjadi 50:50.
Perubahan inilah yang kemudian memunculkan dugaan adanya aliran dana untuk mempercepat keberangkatan haji dan menjadi pintu masuk penyelidikan oleh KPK.
Laporan: Judirho | Editor: Arya