Islam dan Negara Demokrasi Sebagai Culture Sociaty | Pranusa.ID

Islam dan Negara Demokrasi Sebagai Culture Sociaty


Penulis adalah Muhammad Adib Alfarisi | Mahasiswa Magister FSH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

KOLOM– Persoalan kenegaraan dipengaruhi oleh faktor sejarah, sosial dan budaya yang berbeda di setiap negara. Namun, dalam pemilihan umum, adanya hubungan ini memiliki daya tarik tersendiri yang tak jarang berujung dengan banyaknya pemikiran serta pendapat yang kontradiksi dari para tokoh dan pemikir. Hal ini menyebabkan ketersalingan antara agama dan negara yang dinamis dan fleksibel.

Terdapat berbagai pemikiran politik hukum Islam yang menghubungkan negara dan agama, yang menciptakan karakteristik berbeda dalam sebuah negara, seperti negara agama, negara sekuler, dan negara yang tidak memisahkan urusan agama dan negara secara tegas.

Dalam asepek politik Islam, hubungan antara agama dan negara bervariasi karena berbagai faktor. Perbedaan ini bukan hanya disebabkan oleh interpretasi beragam terhadap Islam, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan politik dalam negara. Pengaruh sejarah, realitas sosial, dan budaya memengaruhi bagaimana agama dan negara bisa berdampingan dalam sistem demokratis?

Dengan ini umat Muslim menerima pandangan sebagai hasil dari proses penafsiran yang berkelanjutan, adanya membantu mereka memahami realitas sosial dan politik yang berbeda-beda. Hubungan inilah memengaruhi dinamika politik dan pemerintahan di ranah publik, sementara itu mempertahankan peran penting ulama dalam politik kenegaraan Islam, yang sulit dipisahkan.

Oleh karenanya, politik kekuasaan dan pemerintahan melibatkan berbagai corak, seperti pengkhotbah populis, guru sufi neo-tradisional, dan intelektual Muslim yang berpendidikan sekuler, sebagai bagian dari kerangka negara.
Dalam pemikiran politik Islam yang kontemporer, terdapat tiga paradigma yang sering menjadi subjek perdebatan di kalangan dunia Islam. Paradigma pertama, yang disebut “sekularis,” meyakini bahwa Islam hanya mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, sedangkan urusan kenegaraan sepenuhnya manusiawi.

Paradigma kedua, “tradisionalis-revivalis” atau “Islamisme,” hal ini bahwa Islam mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk sosial dan politik. Paradigma ketiga, “reformis” atau Islam moderat, bahwa Islam perlu diinterpretasikan dalam konteks kehidupan bernegara, namun masih terbuka untuk pembaruan yang berdasarkan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah.

Pada teori politik sekuler, agama tidak dipandang sebagai kekuatan, namun sebagai hak privat atau individual. Padahal secara fungsional, agama ternyata dapat mempengaruhi secara keseluruhan dan memiliki kekuatan yang signifikan. Sehingga isyaratkan oleh sahabat Ibnu Mas’ud terhadap ungkapan uli al-amr sebagai umara’ (pemimpin formal pemerintahan), yang dibedakan dengan ulama itu sebagai pemimpin agama.

Islam memahami politik tidak hanya tentang pemerintahan dan politik struktural formal, tetapi juga kultur politik secara luas. Perjuangan untuk posisi legislatif, yudikatif, dan eksekutif tidak berarti politik. Selain itu, ia mencakup berbagai tindakan yang bermanfaat bagi kesejahteraan umat manusia dalam hal fisik dan rohani, serta dalam hubungan masyarakat secara keseluruhan dan masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan.

Kemudian pada penyebaran Islam di Indonesia dengan melihat melalui lensa politik kultural dengan bantuan penguasa, atau setidaknya menerima mereka. Tidak lepas dari bantuan dan perlindungan para penguasa, proses Islamisasi di Indonesia, yang memiliki populasi penganut Islam terbesar di dunia, berjalan relatif cepat.

Pengembangan politik Islam dalam sejarah modern menunjukkan bahwa negara atau kekuatan politik struktural hanya diperlukan sebagai alat untuk memastikan bahwa ajarannya diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

Dari segi ajaran resmi, Islam kadang-kadang mendapati dirinya dalam situasi yang ambigu di negara. Di satu sisi, ajaran Islam bukanlah satu-satunya sumber kebijakan negara, karena negara ini bukan negara Islam. Namun, negara ini juga bukan negara sekuler yang memisahkan urusan pemerintahan dan agama. Dalam situasi seperti ini, Islam memengaruhi kehidupan masyarakat melalui aspek kultural seperti pendidikan, media sosial, seni, dan sebagainya.

Islam juga dapat memengaruhi politik secara tidak langsung melalui struktur negara. Hal ini, mungkin terjadi karena nilai-nilai Islam yang ingin disampaikan dalam kehidupan negara tidak hanya dianggap sebagai nilai-nilai Islam, melainkan juga sebagai nilai-nilai nasional.

Nilai-nilai Islam memiliki peran penting dalam budaya Indonesia, dan mereka memengaruhi budaya politik, nilai-nilai keagamaan, keyakinan, pandangan, dan perilaku individu serta kelompok dalam politik. Sebuah indikasi yang mencolok ialah terdapat pada lima prinsip Pancasila, yang menjadi dasar ideologi politik Indonesia, memiliki akar dalam nilai-nilai Islam.

Bagaimana nilai-nilai Islam diterapkan dalam budaya politik yang mengadopsi Pancasila? bergantung pada sejauh mana nilai-nilai itu memengaruhi proses politik itu sendiri. Jika pengaruh nilai-nilai agama Islam dalam budaya politik melemah, ini bisa disebut sebagai sekularisasi budaya politik. Ini adalah masalah yang lebih rumit daripada pemisahan formal antara pemerintahan dan agama. Meskipun pemisahan fungsional antara pemerintahan dan agama tidak mungkin terjadi di Indonesia, sekularisasi budaya politik tetap mungkin terjadi.

Kemungkinan ini semakin besar seiring dengan perubahan nilai-nilai akibat kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan industrialisasi. Sehingga juga akan mempengaruhi politik formal dan struktural. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan budaya politik yang mencerminkan nilai-nilai agama tanpa mengganggu proses politik formal. Seimbang antara budaya politik dan politik formal perlu dijaga agar tidak ada kesenjangan antara keduanya. Hal ini juga, penting untuk menghindari kecurigaan dari elit politik formal terhadap aktivitas politik melalui jalur kultural.

Dalam ajaran Islam, suatu pemerintahan, bahkan jika tidak berlabel Islam, wajib memastikan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Rasulullah mengajarkan bahwa tujuan politik kaum Muslim bukan hanya untuk memegang kekuasaan. Beliau mengajarkan agar para pemimpin, terutama para ulama dan elite politik, menjadi moralis politik dan berupaya memperbaiki budaya politik serta tata kelola kekuasaan.

Untuk mencapai hal ini, politisi Islam perlu memiliki wawasan yang luas dan mampu menganalisis masalah sosial dan politik. Mereka juga harus meninggalkan cara-cara tradisional yang hanya mengandalkan emosi massa terhadap simbol-simbol Islam. Lebih penting lagi, mereka harus mengorganisir kader politik yang lentur, memiliki cakrawala yang luas, dan bisa berperan di tengah masyarakat, sehingga politisi Muslim tidak selalu berada di pinggiran.

Peran politisi Islam ini sangat bergantung pada pemahaman yang mendalam tentang Islam dan kesadaran akan kekuatan moral Islam dalam membentuk masyarakat yang adil dan makmur. Namun, masih ada kendala di kalangan kaum Muslim, seperti pandangan paternalistik dan kepentingan jangka pendek dalam politik.

Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa politik tidak hanya tentang memegang kekuasaan formal, tetapi juga tentang mengubah budaya politik dengan nilai-nilai Islam yang Nasionalis, sehingga adanya harmoni kenegaraan dan beriringan yang menjadi simbiotik-mutualistik (saling menguntungkan). Jika tidak, risiko sekularisasi akan muncul dan menjauhkan umat dari tujuan utama, yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top