Sjahrir, Gibran, dan Klaim Prestasi
Penulis adalah Thom Sembiring | Direktur Eksekutif Jangkar Nusantara
KOLOM– Satu partai yang ketumnya diduga terjerat problem hukum, memuji Gibran dengan membandingkannya seperti Sjahrir. Ada berapa banyak masyarakat yang paham siapa itu Sjahrir?
Sutan Sjahrir adalah seorang revolusioner asal Sumatera Barat, pejuang kemerdekaan Indonesia kelahiran 1909. Sejak jadi pelajar dalam usia 18 tahun, ia dan 9 temannya menghimpun pemuda Indonesia membentuk Jong Indonesie. Mereka melawan penjajahan dan termasuk penggerak Sumpah Pemuda yang esok diperingati negeri ini.
Pada usia belia, Sjahrir yang berkerabat dengan pejuang perempuan asal Sumatera Barat, Rohana Kudus, mendirikan majalah Himpunan Pemuda Nasionalis. Kucing-kucingan dengan kolonial, ia menempel berita-berita dan tulisan pergerakan kemerdekaan di berbagai tembok agar dibaca masyarakat.
Pada usia 23 tahun, bersama Bung Hatta ia memimpin PNI Baru. Bukan mendadak dalam 2 hari jadi ketua umum partai, Sjahrir memimpin PNI Baru dalam proses dan dinamika panjang yang mesti mereka hadapi sebelumnya.
Sebelumya, gara-gara pemberontakan PKI terhadap kolonial Belanda pada 1926, para pemimpin pergerakan termasuk Sukarno selaku Ketua PNI pun ikut ditangkap. Ketiadaan Sukarno membuat tokoh-tokoh partai mendorong pembubaran PNI. Sebagian mendirikan Partindo, Sjahrir dan Hatta yang tak sepakat PNI bubar lalu membentuk PNI Baru.
Dalam sejarah pascakemerdekaan, dalam usia 36 tahun Sjahrir menjadi Perdana Menteri pertama Indonesia. Pada usia 39 ia mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI), atau lebih dikenal dengan Parsi.
Berbeda seperti PSI era di era ini yang menjual label anak muda dan membenarkan proses kepemimpinan instan serta mendukung kekuasaan, PSI ala Sjahrir meskipun dipimpin anak muda namun menjual gagasan masyarakat sosialis dan melawan kekuasaan kolonial.
Cerita soal Sjahrir, masih panjang. Namun dalam penggalan pendek ini saja kita dapat jernih menilai. Sungguh kah Gibran layak disamakan dengan Sjahrir yang memimpin Indonesia merdeka bersama Presiden Sukarno dalam kondisi ekonomi hancur dan masih terancam oleh agresi militer Belanda.
Gibran diklaim sebagai pemimpin berprestasi. Sah saja bila melihat di permukaan. Meski demikian, dalam konteks menyamakan seperti Sjahrir, mari lihat mengapa Gibran disebut berprestasi.
Lepas dari soal komitmennya pada toleransi dan merakyat, soal pembangunan fisik kota Solo sejatinya bukanlah prestasi personal. Sebanyak 16 proyek dari pusat senilai triliunan rupiah diberikan ke Solo pada masa Gibran.
Berbagai bantuan swasta hingga luar negeri diarahkan ke Solo pada masa kepemimpinannya. Sesuatu yang tak pernah terjadi di masa FX Rudy, walikota sebelumnya yang adalah figur pertama pembawa Jokowi ke kancah politik.
Lantas, bagaimana kita jernih menilai prestasi Gibran bila ada relasi kekuasaan dan keluarga berkelindan. Sejatinya tinggal bedah data ekonomi lebih jauh dan pilah mana kerja pusat dan mana kerja daerah.
Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira sebagaimana dikutip Kompas menyebut belanja pemerintah pusat yang terbilang jor-joran di Kota Surakarta yang dipimpin Gibran bisa mengarah pada indikasi nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan.
Menurut Bhima, ini termasuk indikasi penyalahgunaan kekuasaan dan nepotisme karena ada preferensi khusus dari pembangunan dengan BUMN atau belanja pemerintah pusat masuk ke infrastruktur di daerah yang kepala daerahnya memiliki kedekatan hubungan keluarga. Padahal, prinsip pengelolaan APBN seharunya menciptakan pemerataan pembangunan. Makanya, Bhima menilai tak patut apabila hanya daerah tertentu, seperti Solo, saja yang mendapatkan keistimewaan.
Praktik anak emas atau daerah emas seperti terjadi di Solo bahkan tidak terjadi pada era pemimpin nasional sebelumnya.
Jadi klaim berhasil dan berprestasi ini mesti diuji sungguh. Sebab akan disebut beprestasi seorang Kepala Daerah yang sukses membangun saat ia tak mengandalkan dana pusat semata. Apalagi kalau ia bukan bagian dari koalisi pemerintah pusat, akan lebih istimewa.
Lantas bagaimana Gibran dan Sjahrir bisa dianggap sama bila jejak rekam pun jauh berbeda. Belum lagi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kontroversial, membuat langkah Gibran menuju Pilpres turut dipertanyakan. Sungguhkah ia layak pada saat ini, atau sebaliknya dilayakkan sebagaimana kerjanya di Solo mendapat sokongan dari pusat yang dipimpin ayahnya.
Kita bicara tentang masa depan Indonesia. Bukan masa depan sebuah keluarga saja. Kita bicara soal semangat reformasi yang melawan praktik nepotisme hingga menumpahkan darah anak muda. Bukan sebaliknya membenarkan nepotisme dan meremukkan semangat reformasi karena relasi kuasa dalam putusan MK demi seorang anak muda, anak Presiden berkuasa pula.
Hei anak-anak muda, bangunlah dan sadar dari mabuk karena kebanyakan minum dari botol Orang Tua. Selamat menyelami semangat Sumpah Pemuda.