Menakar Kualitas Demokrasi Kita | Pranusa.ID

Menakar Kualitas Demokrasi Kita


Penulis adalah Kristoforus Bagas Romualdi. Pegiat Gerakan Digital Jangkar Nusantara.

PONTIANAK POSTAWAL Februari 2023, lembaga The Economist Intelligence Unit (EIU) kembali merilis skor indeks demokrasi global. Berdasarkan hasil terbaru riset EIU, Indonesia berada di peringkat ke-54 dari 167 negara dengan skor 6,71. Raihan tersebut membuat Indonesia masih masuk kategori flawed democracy atau demokrasi cacat. Bahkan, jika dibandingkan dengan negara tetangga, indeks demokrasi Indonesia berada di bawah Malaysia yang menempati urutan ke-40. Tidak hanya EIU, lembaga seperti Freedom House juga memberikan penilaian kurang untuk kualitas demokrasi di Indonesia. Data dari Freedom House memperlihatkan bahwa status demokrasi Indonesia dari tahun 2013 hingga 2022 masuk dalam kategori partly free atau belum sepenuhnya demokratis.

Apa yang menyebabkan persepsi demokrasi Indonesia begitu buruk? Dua lembaga tersebut memang mempunyai kriterianya masing-masing untuk menentukan kualitas demokrasi suatu negara. Namun, di tengah perbedaan indikator penilaian, yang jelas hasil dari data-data dua lembaga kredibel sudah semestinya menjadi wahana refleksi untuk bangsa Indonesia. Karena demokrasi yang sehat akan memberikan dampak signifikan baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Demokrasi yang sehat akan mendorong lahirnya mekanisme politik cerdas yang dikelola dengan sistem yang terbuka, bertanggung jawab, serta partisipatif.

Oleh karena itu, untuk memperkuat kualitas demokrasi Indonesia, diperlukan adanya komitmen antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah perlu memastikan bahwa ruang publik untuk menyampaikan kritik atau kebebasan berpendapat terbuka seluas-luasnya. Karena di era demokrasi, justru masyarakat dari kalangan manapun (tidak hanya DPR) dapat melaksanakan fungsi pengawasan karena masyarakat lah yang akan merasakan langsung dampak kebijakan yang dibuat oleh lembaga pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif. Terlebih, masyarakat itu sendiri yang memegang kedaulatan tertinggi. Maka apabila ada kritik, baik eksekutif maupun legislatif harus bisa mengelolanya menjadi pertimbangan.

Selain itu, pemerintah, termasuk elit politik perlu untuk meningkatkan kinerjanya. Memberikan perhatian serius terhadap apa yang dibutuhkan oleh publik. Elit politik perlu melihat bahwa kualitas demokrasi bukan hanya dilihat dari proses pemilihan calon pemimpin yang sehat dan kredibel. Demokrasi bukan hanya konteks yang terbatas pada pemilihan umum. Demokrasi juga berbicara soal tindakan politik yang artinya siapapun yang menjadi elit politik di legislatif maupun eksekutif semestinya melahirkan output yang bermanfaat bagi publik.

Berikutnya, baik pemerintah maupun masyarakat yang mempunyai kesadaran demokrasi sehat, sama-sama atau berkolaborasi untuk menghadirkan narasi dan edukasi politik yang mencerdaskan. Disadari atau tidak, pascapilpres 2014, pilgub DKI Jakarta 2017, dan pilpres 2019, masyarakat masih terjebak pada polarisasi yang sifatnya memecah belah. Memang, polarisasi dalam konstetasi pemilihan pada dasarnya adalah keniscayaan dan pasti terjadi karena setiap orang mempunyai sikap dan pilihan politiknya sendiri. Namun, polarisasi yang berkepanjangan, apalagi bersifat ideologis representatif harus mendapat catatan khusus tersendiri. Celakanya, polarisasi ini sendiri tumbuh bersamaan dengan menyebarnya kabar bohong atau hoaks dan berbagai narasi ujaran kebencian di media sosial. Membuat orang berpolitik dengan kebencian dan berlindung atas dasar kebebasan.

Ancaman Politik Identitas untuk Demokrasi

Polarisasi yang berkepanjangan dan bersifat ideologis representatif ini juga dapat tumbuh kuat karena skema politik identitas yang sengaja diciptakan oleh elit untuk mengkotak-kotakkan masyarakat pemilih. Kini, isu politik identitas pun menjadi salah satu pembicaraan hangat menjelang Pemilu 2024. Banyak tokoh hingga organisasi kemasyarakatan yang sudah menyatakan sikap menolak segala bentuk politik identitas karena dinilai dapat memecah persatuan dan kesatuan. Artinya politik identitas adalah bahaya untuk kondisi demokrasi itu sendiri.

Namun, di tengah upaya edukasi soal bahaya politik identitas kepada masyarakat luas, ada beberapa pihak yang justru secara terang-terangan mengusung politik identitas untuk menghadapi tahun politik mendatang. Beberapa pihak tersebut menilai justru politik identitas diperlukan dengan dalih sebagai pengarah agar politik berjalan dengan lurus. Jika merunut pada sejarah perkembangan definisi politik identitas, memang istilah tersebut sebenarnya bermakna positif. Pada awal kemunculannya di dunia ilmiah pada tahun 1979, politik identitas merujuk pada sebuah upaya agar suatu kelompok bisa memiliki kesetaraan hak yang sama atau persepsi yang setara dengan kelompok lainnya.

Namun, memasuki tahun 90-an, istilah politik identitas mengalami pergeseran makna. Pergeseran ini terjadi karena fenomena kelompok masyarakat, terlebih elit itu sendiri yang menjadikan politik identitas sebagai alat untuk meraih kekuasaan dan acapkali memunculkan pergesekan sosial. Artinya, politik identitas yang awalnya punya konsep untuk meraih kebebasan dan kesetaraan berubah menjadi sekedar upaya memperoleh dan menggerakkan massa dengan menggunakan identitas tertentu. Politik identitas saat ini justru bermuara pada konsep di mana ada upaya memisahkan diri berdasarkan perbedaan dengan kelompok identitas lainnya. Hal itu juga dipertegas oleh ilmuwan politik kontemporer seperti Agnes Haller yang menjabarkan definisi politik identitas saat ini sebagai konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama.

Maka, politik identitas saat ini merupakan ancaman untuk demokrasi yang sehat. Dia adalah duri dalam daging pada konteks demokrasi dan kebhinekaan Indonesia. Oleh karena itu, untuk memperbaiki indeks ataupun persepsi demokrasi Indonesia, politik identitas harus menjadi salah satu masalah serius yang ditangani melalui edukasi politik yang komprehensif. Karena apabila ruang untuk kritik terbuka luas, kinerja pemerintah optimal dalam melayani publik, tapi masyarakatnya sendiri masih terpecah belah akibat politik identitas, maka demokrasi Indonesia masih belum bisa dikatakan sehat.

*Artikel ini sudah dimuat di Pontianak Post pada link: https://pontianakpost.jawapos.com/opini/22/02/2023/menakar-kualitas-demokrasi-kita/

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top