Minta Maaf Tak Bisa Cegah Omnibus Law, Fadli Zon: Prioritas Utama Mestinya Isu Kesehatan
PRANUSA.ID — Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah resmi mengesahkan omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi undang-undang (UU) pada rapat paripurna pada Senin (5/10/2020).
Pengesahan UU Ciptaker itu menuai sejumlah kritikan, salah satunya datang dari anggota Komisi I DPR RI Fadli Zon. Dia mengaku tak berdaya (powerless) mencegah pengesahan UU Ciptaker.
“Sebagai anggota DPR, saya termasuk yang tak dapat mencegah disahkannya UU ini. Selain bukan anggota Baleg, saya pun termasuk yang terkejut adanya pemajuan jadwal sidang paripurna kemarin, sekaligus mempercepat masa reses. Ini bukan apologi, tapi realitas dari konfigurasi politik yang ada. Saya mohon maaf,” kata Fadli Zon dalam keterangannya, Rabu (7/10).
Dia mengapresiasi semangat UU Ciptaker, namun pembahasan omnibus law dinilainya tidak tepat waktu dan tidak tepat sasaran.
Tidak tepat waktu, karena negara saat ini masih dalam kondisi pandemi sehingga sudah seharusnya UU Ciptaker jangan menjadi prioritas terlebih dahulu.
“Prioritas utama mestinya isu kesehatan dan kemanusiaan seperti dinyatakan Presiden (Joko Widodo) sendiri,” ujar Fadli.
Tidak tepat sasaran karena dia menilai omnibus law memuat sejumlah substansi yang memang mengusik rasa keadilan bagi kaum buruh.
“Misalnya, skema pesangon kepada pekerja yang di-PHK diubah dari sebelumnya 32 bulan upah, kini menjadi 25 bulan upah. Kemudian, penghapusan UMK (Upah Minimum Kabupaten) menjadi UMP (Upah Minimum Provinsi),” jelas Fadli.
Padahal, berdasarkan data lapangan, dia mengatakan bahwa besaran UMP pada umumnya berada di bawah UMK.
Selain itu, Fadli menyoroti masalah jaminan hak pekerja seperti hak istirahat panjang, uang penghargaan masa kerja, dan kesempatan untuk bekerja selama 5 hari dalam seminggu yang sudah ditiadakan.
Hal itu yang kemudian membuatnya berpendapat bahwa omnibus law justru hanya akan menurunkan kesejahteraan kaum buruh alih-alih meningkatkan kesejahteraan mereka.
“Secara umum, omnibus law ini memang tak memberi rasa keadilan, bukan hanya buat buruh, tapi juga buat masyarakat secara umum,” tukas Fadli.
Menurutnya, omnibus law menjadi preseden buruk bagi demokrasi dan membuat parlemen kurang berdaya, serta telah mengabaikan partisipasi masyarakat dan pastinya akan memancing instabilitas.
“Kalau terus dipaksa untuk diterapkan, ujungnya sudah pasti hanya akan merusak hubungan industrial. Artinya, baik buruh maupun pengusaha pada akhirnya bisa sama-sama dirugikan. Ini soal waktu saja,” ungkapnya.
Untuk itu, dia meminta agar ke depan pemerintah dan DPR seharusnya lebih banyak mendengar suara masyarakat.
(Crn/Pranusa)