MK Gelar Sidang Uji Materiil UU Pemilu soal Wacana Sistem Pemilu Proporsional Tertutup | Pranusa.ID

MK Gelar Sidang Uji Materiil UU Pemilu soal Wacana Sistem Pemilu Proporsional Tertutup


Ilustrasi Hukum/Net.

PRANUSA.ID — Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materiil Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang meminta sistem pemilu proporsional tertutup diterapkan kembali, Selasa (17/1/2023).

Agenda sidang hari ini ialah mendengarkan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, dan Pihak Terkait, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Berdasarkan situs resmi MK RI, sidang akan dilaksanakan pada pukul 11.00 WIB.

Sebenarnya, sidang dengan agenda mendengarkan keterangan DPR, Presiden, dan KPU itu dijadwalkan pada 20 Desember 2022, akan tetapi saat itu DPR dan Presiden tidak bisa hadir.

Pasalnya, DPR sedang dalam masa reses, sedangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui perwakilan dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) meminta penundaan sidang.

Saat itu sidang dipimpin langsung oleh Ketua MK, Anwar Usman. Ia memutuskan untuk menunda persidangan pada hari ini, Selasa (17/1/2023).

“Oleh karena DPR berhalangan dan Kuasa Presiden menyampaikan permohonan untuk mohon penundaan, sementara Pihak Terkait hadir, tetapi kita dengar dulu keterangan DPR dan Presiden, sehingga Pihak Terkait belum bisa didengar keterangannya pada sidang pagi ini,” kata Anwar Usman, Selasa (20/12/2022) dilansir dari dokumen risalah sidang MK.

“Oleh karena itu, sidang ditunda hari Selasa, tanggal 17 Januari 2023, pukul 11.00 WIB, dengan agenda mendengarkan keterangan DPR, Presiden, dan Pihak Terkait,” ujarnya.

Sebagaimana telah diberitakan KOMPAS.TV sebelumnya, gugatan soal wacana sistem pemilu proporsional tertutup diajukan oleh enam orang, yakni dua kader partai politik (parpol) dan empat perseorangan.

Mereka adalah Pengurus PDIP Demas Brian Wicaksono, anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.

Para pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.

Mereka menilai, berlakunya norma-norma pasal tersebut, yang berkenaan dengan sistem pemilu proporisional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popularitas dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.

Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri.

Sistem pemilu proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persangan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Seharusnya, kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu.

Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.

Salah satu kuasa hukum pemohon, Sururudin, menyatakan bahwa para pemohon dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks.

Ia menguraikan salah satu masalah tersebut, yakni menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat.

Sebab, caleg akan terdorong melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan, sehingga pembatalan pasal-pasal a quo akan mengurangi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil.

Di samping itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN.

Para pemohon dalam petitumnya meminta agar MK menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Gugatan sistem pemilu terbuka di MK ini pun mendapat penolakan dari delapan parpol.

Mereka yang menolak wacana sistem pemilu proporsional tertutup itu terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). (*)

KOMPAS.TV

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top