Keteguhan Bela Negara dalam Bingkai Wawasan Kebangsaan | Pranusa.ID

Keteguhan Bela Negara dalam Bingkai Wawasan Kebangsaan


Ilustrasi: Brida Kab Buleleng.

Penulis: Desti Ananda Putri, S.H.

PRANUSA.ID — Berakar dari perjuangan pergerakan nasional yang menghendaki lahirnya bangsa Indonesia, Indonesia merupakan konsensus komitmen dari berbagai elemen dan pemimpin dari masa ke masa yang menciptakan entitas rasa kesatuan dalam kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai bagian dari Indonesia, penting untuk memiliki kesadaran tergabung di dalamnya. Bukan hanya menjadi bagian lahir dan hidup dalam konteks administrasi, tetapi juga rasa memiliki dan protektif dalam kelangsungan kedaulatan bangsa.

Presiden RI ke-3, Prof. B. J. Habibie dapat menjadi teladan. Sebagaimana dikatakannya dalam agenda “Lingkar Inspirasi” di Aula Nusantara, KBRI Den Haag, Belanda, ketika ia melakukan berbagai penelitian selama perjalanannya menuntut ilmu sarjana dan doktoral di Jerman, ia mendapatkan tawaran untuk berpindah kewarganegaraan.

Akan tetapi, tawaran itu ditolak oleh Prof. B. J. Habibie. Tawaran dari Pemerintah Jerman terhadap fasilitas visa, izin tinggal, dan bekerja seumur hidup pun ditolak karena persoalan etik, moral, dan rasa cinta tanah airnya.

Contoh tersebut merupakan salah satu perilaku usaha bela negara yang memelihara jiwa nasionalisme yang didasarkan kepada cara pandang kebangsaan. Dikatakan oleh Prof. B. J. Habibie, “Sekalipun menjadi warga negara Jerman, kalau suatu saat Tanah Airnya memanggil, paspor (Jerman) akan dirobek, dan akan pulang ke Indonesia.” Keteguhan tersebut selaras dengan kesadaran berbangsa dan bernegara.

Cara Pandang Kebangsaan

Wawasan Kebangsaan adalah cara pandang bangsa Indonesia dalam rangka mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilandasi oleh jati diri bangsa (nation character) dan kesadaran terhadap sistem nasional (national system), yang bersumber dari Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Karakter yang dilandasi oleh jati diri bangsa akan melahirkan kesadaran bela negara. Kesatuan antara cara pandang yang berorientasi pada bangsa dan kesadaran bela negara akan melahirkan pengabdian yang dijiwai oleh kecintaannya kepada negara.

Papua yang terletak di ujung timur Indonesia, dengan perkiraan lebih dari 270 bahasa daerah yang berbeda-beda dan aneka suku bangsa yang jumlahnya begitu banyak. Dengan banyaknya bahasa daerah tersebut, sebagian besar orang Papua sudah tidak dapat lagi berbahasa bahasa nenek moyangnya, tidak terdapat kodifikasi kamus bahasa daerah, dan tidak berkomunikasi menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari, melainkan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan. Jati diri orang Papua terhadap bangsa dan negara mengakar, menjadikan warga Papua yang begitu Cinta Tanah Air.

Cinta yang begitu besar kepada negara akan memunculkan sikap kewaspadaan dini untuk mencegah potensi ancaman. Ancaman tersebut dapat berasal dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan kepada kondisi, tindakan, potensi, fisik, nonfisik, berasal dari luar atau dalam, langsung atau tidak langsung yang membahayakan negara.

Cara pandang terhadap bangsa tersebut, akan menjadi bukti seberapa banyak seseorang terpapar oleh suatu pemahaman, yang membuatnya mampu menetralisir hal itu semata-mata sebagai ilmu pengetahuan yang justru digunakan untuk memperkaya keanekaragaman budaya negara.

Sebagai bagian dari bangsa dan bernegara, kita tidak perlu sampai menutup pintu dan mengurung diri sebagai bentuk waspada. Menerima sebanyak-banyaknya ilmu, mempelajari sebanyak-banyaknya kebudayaan dan bahasa, berkeliling ke sebanyak-banyaknya tempat di berbagai penjuru dunia, memanfaatkan sebaik-baiknya penghidupan dengan memegang teguh ideologi Pancasila yang dijiwai sebagai bentuk cinta terhadap tanah air.

Melalui perwujudan wawasan kebangsaan dan bela negara, kita dapat bahu membahu menghadapi berbagai ancaman dengan satu tujuan, yakni Indonesia yang utuh dan berdaulat. (*)

Berita Terkait

Top