Gagal Paham Dalil Bung Karno dalam Piala Dunia U20 | Pranusa.ID

Gagal Paham Dalil Bung Karno dalam Piala Dunia U20


Penulis adalah Thom Sembiring. Direktur Eksekutif Gerakan Jangkar Nusantara, Mahasiswa Program Studi Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Universitas Indonesia.

KOLOM– Gagalnya Piala Dunia U20 bikin riuh. Di tengah semua ini, pembelaan berlebih soal Palestina Merdeka datang dengan berbagai dalil. Termasuk dalil praktik politik Bung Karno di masa lalu. Partai Keadilan Sejahtera sampai-sampai ikut menyebut dalil Bung Karno belakangan. Mungkin setelah mereka melihat efek gagal Piala Dunia U20, jadi mau melempar getah kembali ke tetangga sebelah.

Bicara soal riuh ini. Kita menolak Israel karena menjajah Palestina, meski kita paham bahwa pertempuran Hamas dan Fatah juga yang membuat kepemimpinan nasional Palestina di sana lemah. Tak pernah sungguh kuat untuk meraih kemerdekaan secara penuh di Perserikatan Bangsa-Bangsa yang juga kekuasaannya timpang antara negara besar dan negara berkembang.

Lantas mengapa kita pakai alasan Rusia untuk menentang timnas Israel datang. Apakah kita lupa, Presiden Jokowi yang gemar jadi pimpinan marketing dan ahli branding Indonesia itu juga mengundang Rusia dalam KTT G20 lalu. Tanpa peduli Rusia telah menghancurkan atau dapat dikatakan menjajah Ukraina, dan menyeret kita semua dalam krisis. Meski ya tentu saja, negara kita untung dengan naiknya harga komoditas batubara.

Saya getol membela Palestina Merdeka sejak sadar sejarah pembelaan Bung Karno. Tapi juga mendukung pandangan Gus Dur yang rasional dalam menyelesaikan sengketa dua entitas yang dikendalikan banyak negara penyokong ini. Melihat solusi dua negara sudah paling pas untuk penyelesaiannya dan Indonesia punya peluang jadi pembawa perdamaian sesuai amanat konsitusi, dengan menerima keduanya meski dalam proporsi berbeda.

Saya membela juga Ukraina dan mengecam Rusia atas keganasan konflik di sana. Tapi juga paham posisi Rusia yang tak mudah dan mesti menjaga kedaulatannya dengan mencegah pengaruh NATO berdiri di depan tanah mereka.

Segala sesuatu dalam pembelaan kita mesti ada dasar, tapi juga menimbang manfaat terbesarnya bagi bangsa serta negara. Bukan bagi kepentingan sekelompok orang.

Kita dapat memperdebatkan ini. Tapi menurut saya, dalam kondisi dunia yang tak persis sama seperti era Bung Karno yang dipenuhi kekejian konflik Blok Barat dan Blok Timur, kita mesti mikir. Mikir dengan cara tak biasa dan membawa kebaruan untuk melihat segala sesuatu. Out of the box kata anak-anak muda Jaksel.

Seperti kata perwakilan PSSI Arya Sinulingga di salah satu podcast. Saya juga tadi membayangkan kalau timnas Israel tampil dan satu stadion (atau diluar stadion kalau dilarang FIFA), memakai jersey Palestina. Ini bakal jadi kesempatan langka.

Kebayang tuh berapa siaran TV dari negara berbeda akan menyorot pembelaan Indonesia pada negara itu. Itu akan jadi strategi komunikasi dan diplomasi pembelaan terkeren yang bisa dicatat sejarah. Timnas Israel bisa tampil, Palestina gembira, Indonesia jadi tuan rumah pun bangga. Kita pun berpeluang bisa memainkan pembelaan signifikan pada perjuangan Palestina merdeka yang tidak pernah terjadi hebat sebelumnya.

Jadi, kolotnya cara pikir taktis kita dengan dalil amanah Bung Karno, rasanya menjadi penyebab negara ini sulit untuk maju. Bahkan kalau Bung Karno masih hidup, ia mungkin akan menggeram pada kurang visioner dan kurang cerdasnya kita memanfaatkan momentum-momentum besar.

Mungkin ia akan marah karena kita sibuk dengan isu ini hanya jelang tahun politik tanpa melakukan hal signifikan sejak tahun 1960-an. Padahal dalam agenda parlemen sedunia di Bali tahun lalu, perwakilan Israel hadir. Banyak event olahraga lain, Israel hadir. Dalam bidang ekonomi hingga pertahanan pun ya teknologi persenjataan serta kerja sama diam-diam juga hadir.

Merujuk pada catatan Republika (2020), pada tahun 1980-an di era Presiden Suharto, pemerintah Indonesia bahkan membeli lebih dari 30 pesawat skyhawk dari Israel lewat operasi rahasia bernama operasi Alpha.

Pada 16 Oktober 1993, media juga merekam pertemuan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin yang datang ke Jakarta bertemu dengan Presiden Suharto demi terbukanya hubungan diplomatik kedua negara. Lantas, apakah artinya kita sudah mengakui kemerdekaan Israel? Tidak tentu saja.

Jadi bila merujuk pada Bung Karno, mestinya bukan semata dengan kebencian sepihaknya pada Israel. Tapi sejauh mana tujuan pembelaan Palestina tercapai. Bukan sarana sikap politiknya yang penting, tapi tujuannya tercapai atau tidak. Kecuali kalau sejak awal, tujuan penolakan Timnas Israel adalah untuk tujuan politik partai dan bukan malah kemerdekaan Palestina.

Ingat Bung Karno juga mengecam Amerika, tapi pada satu masa bergandengan tangan akrab dengan Presiden JF Kennedy, sahabatnya yang kemudian tewas ditembak.

Bung Karno menurut Sejarawan Belanda, Antonie C.A. Dake, dalam buku In the Spirit of Red Banteng (Tempo.co, 2021), menyatakan bahwa Bung Karno membenci Aidit karena menurutnya Aidit terlalu ambisius. Tapi toh Bung Karno merangkul PKI pimpinan Aidit karena harus ada harmoni kekuatan bangsa yang terjaga. Tentu untuk mencegah perang saudara dan meruntuhkan Indonesia merdeka yang masih dalam bayang-bayang imperialis.

Sekarang kita akan uji, bagaimana dampak elektoral gagal Piala Dunia U-20 pada kelompok dan tokoh yang terlibat menyuarakan penolakan. Sebab rupa-rupanya, mayoritas pemilih dalam pemilu 2024 adalah generasi muda yang melek informasi dan lebih terbuka pemikirannya.

Elit-elit partai yang menolak, pasti punya kalkulasi. Begitupun netizen yang kecewa dan umumnya didominasi generasi muda dan golongan rasional, punya kalkulasi politik sendiri. Jadi dalam beberapa survei ke depan akan terlihat mudah elektabilitas masing-masing.

Hikmah terbesar dari seluruh dinamika Pildun 2024 ini yang perlu kita apresiasi pada seluruh tokoh, ormas, hingga partai saat ini adalah bahwa sikap kritis makin menyeruak di kalangan rakyat. Ini semacam edukasi politik tersendiri yang bila berkembang cepat, akan membuat demokrasi ke depan lebih sehat. Membuat pilihan-pilihan rakyat lebih cermat.

Btw, sudahlah. Mari sejenak lihat wajah Bung Karno, Gus Dur, dan Jokowi versi Konoha. Konoha merupakan sebuah desa fiksi di serial anime Naruto Shippuden yang banyak ditonton anak muda kita, tidak termasuk saya. Konoha dianggap punya sisi sama dengan negeri kita yang penuh drama, intrik, dan pertarungan politik menggelitik.

Wajah versi Konoha yang dibuat dengan teknologi Artificial Intelligence punya pesan juga, bahwa dunia ini dinamis dan perubahan terjadi cepat. Jadi masakan kita di era disrupsi teknologi artifisial dan informasi hari ini, masih disajikan strategi diplomasi era surat menyurat yang tibanya pak Pos pun sangat lambat.

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top