
KOLOM— Anjloknya nilai Tes Kemampuan Akademik (TKA) SMA belakangan ini semestinya tidak dibaca sebagai sekadar kegagalan siswa menjawab soal.
Angka-angka itu justru menyingkap persoalan yang lebih dalam, yakni rapuhnya proses pembelajaran yang berlangsung selama bertahun-tahun.
Ketika hasil belajar berada di titik rendah, mustahil menyederhanakannya menjadi soal malas belajar atau lemahnya motivasi individu.
Di sinilah pentingnya menarik persoalan ke hulu, pada sistem yang membentuk guru sebagai aktor utama pembelajaran.
Guru tidak muncul begitu saja di ruang kelas, melainkan dibentuk melalui proses panjang di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Karena itu, nilai TKA yang jeblok tidak bisa dilepaskan dari kualitas pendidikan guru yang selama ini berjalan. LPTK seharusnya menjadi ruang intelektual yang menyiapkan pendidik dengan kedalaman ilmu dan kepekaan pedagogik.
Namun dalam praktiknya, tidak sedikit LPTK yang lebih sibuk mengurus administrasi akademik ketimbang membangun daya pikir calon guru.
Orientasi kelulusan tepat waktu dan pemenuhan beban studi perlahan menggeser perhatian dari mutu proses belajar.
Mahasiswa didorong menyelesaikan mata kuliah, bukan menguasai substansi keilmuan secara mendalam.
Akibatnya, banyak calon guru lulus dengan pemahaman konsep yang dangkal dan kemampuan analitis yang terbatas.
Ketika mereka masuk ke sekolah, pembelajaran pun berjalan ala kadarnya dan sulit mendorong siswa berpikir kritis.
Kondisi tersebut menjelaskan mengapa siswa kesulitan menghadapi TKA yang menuntut nalar, bukan hafalan.
Pembelajaran yang terbiasa berputar pada buku teks dan pola soal membuat siswa miskin strategi berpikir. Mereka dilatih menjawab, tetapi tidak diajak memahami.
Dalam konteks ini, rendahnya nilai TKA merupakan hasil logis dari pembelajaran yang kehilangan kedalaman.
Masalah semakin kompleks ketika LPTK memisahkan secara kaku antara penguasaan materi dan kompetensi pedagogik.
Calon guru mempelajari teori mengajar seolah terpisah dari substansi keilmuan yang diajarkan. Sebaliknya, mata kuliah bidang studi sering lepas dari refleksi pedagogis.
Ketidakterpaduan ini membuat guru kesulitan merancang pembelajaran yang bermakna dan kontekstual.
Ketika masuk ke kelas, guru dengan bekal seperti itu cenderung memilih metode aman dan konvensional.
Pembelajaran berlangsung satu arah, minim dialog, dan jarang memberi ruang eksplorasi. Siswa pun dibiasakan menerima, bukan mempertanyakan.
Dalam situasi semacam ini, harapan agar siswa mampu menalar secara mandiri dalam TKA menjadi terlalu jauh dari kenyataan.
Persoalan ini diperkuat oleh kultur akademik di LPTK yang belum sepenuhnya mendorong kebiasaan berpikir kritis.
Perkuliahan masih didominasi ceramah dan evaluasi berbasis reproduksi materi. Diskusi, debat ilmiah, dan penulisan argumentatif sering kali menjadi pelengkap, bukan inti pembelajaran.
Padahal, tanpa pengalaman intelektual semacam itu, calon guru sulit menumbuhkan budaya berpikir kritis di sekolah.
Pengalaman praktik lapangan yang seharusnya menjadi jembatan antara teori dan realitas juga kerap kehilangan maknanya.
Program Pengenalan Lapangan Persekolahan sering diperlakukan sebagai kewajiban administratif.
Mahasiswa mengajar, menyusun laporan, lalu selesai tanpa refleksi mendalam. Kesempatan membaca kompleksitas kelas dan karakter siswa pun terlewatkan.
Ketika refleksi absen, calon guru tidak terbiasa menganalisis persoalan pembelajaran secara kontekstual. Mereka datang ke sekolah dengan resep siap pakai, bukan dengan sikap reflektif.
Situasi ini membuat guru kesulitan beradaptasi dengan beragam latar belakang siswa. Dampaknya kembali terasa pada kualitas pembelajaran dan capaian akademik peserta didik.
Rendahnya nilai TKA juga berkaitan erat dengan lemahnya budaya literasi di sekolah. Guru yang tidak tumbuh dalam kultur membaca dan menulis kritis akan sulit menjadi teladan literasi.
Pembelajaran pun jarang mendorong siswa membaca mendalam dan menulis reflektif. Ketika literasi rapuh, kemampuan memahami soal dan mengolah informasi ikut tergerus.
Karena itu, evaluasi terhadap LPTK tidak cukup berhenti pada akreditasi dan pemenuhan standar administratif.
Yang dibutuhkan adalah keberanian melakukan evaluasi substantif terhadap kurikulum, metode pengajaran dosen, dan kompetensi lulusan.
LPTK harus kembali ditegaskan sebagai ruang pembentukan intelektual pendidik, bukan sekadar mesin produksi ijazah. Tanpa perubahan mendasar, persoalan akan terus berulang.
Reformasi LPTK perlu diarahkan pada integrasi utuh antara keilmuan dan pedagogik.
Calon guru harus diposisikan sebagai pembelajar kritis yang mampu merefleksikan praktiknya sendiri.
Dosen memegang peran kunci sebagai teladan intelektual dan profesional.
Perubahan pada level dosen akan menentukan arah perubahan pada level mahasiswa.
Nilai TKA SMA yang jeblok seharusnya menjadi momentum refleksi kolektif bagi dunia pendidikan.
Persoalan ini mengingatkan bahwa kualitas pendidikan tidak dibangun secara instan.
Selama pembenahan di hulu, yakni LPTK, tidak dilakukan secara serius, hasil di hilir akan terus mengecewakan.
Pendidikan nasional hanya akan bergerak maju jika guru dipersiapkan dengan sungguh-sungguh sejak awal.