Terjebak Status Kawasan Hutan, Pemuda Adat Perbatasan Sambas Tuntut Pengakuan Hak

SAMBAS – Pemuda adat di wilayah perbatasan negara, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Kalbar), mendesak pemerintah untuk segera memberikan perlindungan dan pengakuan hukum atas tanah adat mereka.
Tuntutan ini diserukan karena sebagian besar wilayah pemukiman dan lahan pertanian warisan leluhur mereka kini masih berstatus kawasan hutan.
Status kawasan hutan tersebut dinilai telah menghambat aktivitas ekonomi dan proses pembangunan di desa-desa perbatasan.
Seruan ini mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) agraria dan batas negara yang digelar oleh Karang Taruna Kecamatan Sajingan Besar di Desa Sanatab, Sambas, Jumat (17/10/2025).
Ketua Karang Taruna Kecamatan Sajingan Besar, Abelnus, mengatakan bahwa masyarakat adat di perbatasan telah turun-temurun mengelola wilayah mereka, jauh sebelum negara ini terbentuk.
“Masyarakat ingin tanah adat mereka diakui secara sah. Ini bukan lahan baru, tapi warisan leluhur yang dikelola jauh sebelum negara terbentuk,” ujar Abelnus.
Ia berharap, hasil diskusi ini akan menjadi bahan rekomendasi yang kuat kepada pemerintah pusat untuk mempercepat proses pengakuan dan perlindungan tanah adat di wilayah perbatasan, sebagai bentuk penghormatan atas peran mereka menjaga kelestarian hutan dan batas negara.
Sesepuh Dewan Adat Dayak Sajingan Besar, Libertus, mengungkapkan bahwa setidaknya ada empat desa di wilayahnya yang terjebak dalam status kawasan hutan, yakni Desa Sanatab, Desa Santaban, Desa Sei Bening, dan Desa Kaliau. Akibatnya, warga kesulitan menggarap lahan pertanian untuk mengembangkan ekonomi keluarga.
“Kami tidak ingin kehilangan hak atas tanah yang sudah kami kelola sejak nenek moyang. Pemerintah harus mencabut status kawasan hutan di lahan pertanian warga,” tegasnya.
Tuntutan ini mendapat dukungan penuh dari Anggota DPD RI asal Kalbar, Maria Goreti. Ia menilai perjuangan masyarakat adat Sajingan Besar mencerminkan keinginan kuat untuk mempertahankan sumber kehidupan mereka.
“Negara tidak boleh menutup mata terhadap perjuangan masyarakat adat. Mereka telah menjaga tanahnya secara turun-temurun dan justru menjadi benteng pertahanan di wilayah perbatasan,” tandasnya.
Laporan: Severinus | Editor: Arya