
SOSOK— Romo Prof. Dr. Fransiskus Xaverius Mudji Sutrisno, S.J., yang lebih dikenal sebagai Romo Mudji, wafat pada Minggu malam, 28 Desember 2025, pukul 20.43 WIB di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta.
Kepergiannya menutup perjalanan panjang seorang imam Jesuit yang sepanjang hidupnya mengabdikan diri pada dunia pendidikan, filsafat, dan kebudayaan.
Duka atas wafatnya Romo Mudji terasa luas, tidak hanya di lingkungan Gereja Katolik, tetapi juga di kalangan akademisi, seniman, dan pegiat kebudayaan yang selama ini mengikuti serta terinspirasi oleh pemikirannya.
Romo Mudji lahir di Surakarta, Jawa Tengah, pada 12 Agustus 1954. Ia tumbuh dalam lingkungan kultural Jawa yang kaya dengan simbol, laku spiritual, dan kepekaan estetik.
Latar budaya inilah yang kemudian memberi warna khas pada cara berpikir dan menulisnya. Sejak muda, ia menunjukkan ketertarikan mendalam pada filsafat dan refleksi tentang manusia, sebuah minat yang membawanya masuk Serikat Yesus dan menempuh pendidikan intelektual yang ketat.
Pendidikan filsafat Romo Mudji ditempuh di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, sebelum kemudian melanjutkan studi ke luar negeri.
Ia meraih gelar doktor filsafat dari Universitas Kepausan Gregoriana di Roma, salah satu pusat pendidikan filsafat dan teologi terkemuka di dunia.
Selain itu, ia juga memperdalam kajian hubungan agama dan seni di Sophia University, Tokyo. Ia ditahbiskan sebagai imam pada 30 Desember 1982.
Formasi rohani dan akademik yang ditempuhnya membentuk Romo Mudji sebagai intelektual yang memandang iman dan nalar bukan sebagai dua kutub yang saling meniadakan, melainkan sebagai ruang dialog yang saling memperkaya.
Sekembalinya ke Indonesia, Romo Mudji dikenal luas sebagai pendidik dan pemikir publik. Ia menjadi Guru Besar di STF Driyarkara dan mengajar di berbagai perguruan tinggi, termasuk Universitas Indonesia dan Institut Seni Indonesia Surakarta.
Di ruang kelas, ia tidak sekadar menyampaikan teori, tetapi mengajak mahasiswa memahami filsafat sebagai cara hidup.
Baginya, filsafat adalah latihan kepekaan, sarana untuk membaca realitas sosial, kebudayaan, dan krisis kemanusiaan secara lebih jujur dan bertanggung jawab.
Selain sebagai akademisi, Romo Mudji juga aktif menulis dan berkarya. Ia menghasilkan banyak buku dan esai yang membahas filsafat, kebudayaan, estetika, serta krisis peradaban modern.
Karya-karyanya, seperti Membaca Rupa Kebudayaan, Krisis Peradaban, Rumah Filsafat dan Kunci Kebudayaan, serta Teori-teori Kebudayaan, menjadi rujukan penting dalam kajian humaniora di Indonesia.
Di luar tulisan akademik, ia juga menulis puisi dan melukis, menjadikan seni sebagai medium refleksi spiritual dan sosial.
Romo Mudji sempat terlibat dalam ruang publik secara langsung ketika dipercaya menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum pada periode 2001–2003.
Namun, ia kemudian mengundurkan diri untuk kembali fokus pada dunia pendidikan dan kebudayaan.
Keputusan itu mencerminkan konsistensinya dalam memilih jalur pengabdian jangka panjang, yakni membentuk kesadaran manusia melalui pendidikan dan refleksi kritis.
Hingga akhir hidupnya, Romo Mudji tetap aktif dalam berbagai diskusi, forum kebudayaan, dan kegiatan intelektual. Ia dikenang sebagai sosok yang rendah hati, tenang, dan tajam dalam membaca persoalan zaman.
Wafatnya Romo Mudji meninggalkan warisan pemikiran yang kuat tentang kemanusiaan, kebudayaan, dan tanggung jawab intelektual.
Lebih dari sekadar imam atau profesor, ia adalah pengingat bahwa berpikir jernih dan merawat kepekaan adalah bentuk pengabdian yang paling mendasar bagi kehidupan bersama.
Laporan: Marsianus | Editor: Kristoforus