Paus Fransiskus dan Palestina | Pranusa.ID

Paus Fransiskus dan Palestina


Penulis adalah Thomas R. Sembiring | Direktur Eksekutif Jangkar Nusantara

KOLOM– Paus Fransiskus yang datang ke Indonesia bikin netizen ikut ramai. Sebagian lainnya ribut saling klaim kebenaran dan lempar hujatan. Perilaku yang datang karena minim literasi, malas baca, dan mungkin tak pernah mau tahu tentang perbedaan.

Paus Fransiskus adalah salah satu paus yang fenomenal dan punya kemampuan mengekspresikan pembelaan pada kemanusiaan dengan baik. Salah satu yang punya gaya komunikasi menyentuh mirip pendahulunya Paus Yohanes Paulus II.

Pimpinan spiritual sekitar 1,2 miliar jiwa umat Katolik di dunia ini kerap jadi rujukan dunia. Terutama berkaitan dengan isu moral, kemanusiaan, dan perdamaian. Terlebih kemampuan dan kerendahan hatinya mengedepankan kasih ketimbang kotbah kebenaran dogmatis agama yang kadang mematikan akal.

Paus Fransiskus adalah salah satu paus yang juga dekat dengan dunia Islam, peradaban Islam. Setelah konsili Vatikan II, gereja Katolik memang lebih banyak menjembatani perbedaan antara dogma ajarannya dengan ajaran-ajaran di luar dirinya, termasuk Islam.

Gereja Katolik melalui ensiklik Nostra Aetate secara terbuka menghormati keyakinan umat muslim dan menunjukkan kesamaan antar keduanya, di tengah arus perpecahan yang menyorongkan perbedaan.

Lewat kepemimpinan Paus Fransiskus, penghormatan itu lebih ditampilkan lewat kunjungannya ke berbagai tokoh agama Islam ke berbagai negara seperti Iran, Uni Emirat Arab, Bangladesh, hingga Indonesia. Sama seperti kunjungan maupun penerimaannya terhadap para pemuka agama Buddha, Protestan, dan tokoh adat dari berbagai negara.

Kedekatan dengan peradaban Islam adalah upayanya membangun peradaban dunia yang lebih baik. Menghormati tak berarti membenarkan. Bersama tak mesti sama. Ini prinsip hidup harmonis yang tak semua orang mau peduli, bahkan tak diingini.

Palestina adalah salah satu contoh kedekatan Paus Fransiskus dengan peradaban Islam. Meski mendorong perdamaian antar dua negara berkonflik, ia tak sungkan menunjukan keberpihakan pada Palestina yang paling banyak menanggung penderitaan akibat konflik berkepanjangan.

Akibat perang yang berlangsung lama ini, kekristenan dan sejarah besarnya di Palestina mulai menyusut. Sejarah besar Yesus dan perkembangan Kristen di sana, termasuk gereja dan situs-situs penting banyak yang remuk akibat perang berkepanjangan.

Paus Fransiskus tak sungkan mengundang pemimpin dua negara bertemu sejak belasan tahun lalu. Mengajak mereka berdoa bagi kemanusiaan dan perdamaian. Ia juga berkunjung ke Betlehem dan berdoa di sebuah tembok saksi kekejian perang di mana ada tulisan FREE PALESTINE di sana. Satu bentuk komunikasi tak langsung soal prinsip option for the poor.

Pada 2015 silam, di bawah kepemimpinannya, Vatikan sebagai sebuah negara mengakui Negara Palestina sebagai negara yang merdeka. Memperkuat perjuangan pengakuan atas negara ini di PBB.

Paus Fransiskus di tengah kehadirannya ke Indonesia, selain menguntungkan sebagian elit politik dengan citranya, lebih memberi dampak besar bagi Indonesia dan sisi lain Islam Nusantara yang Berkemajuan. Hadirnya ke Indonesia adalah promosi bagi kemanusiaan dan menjembatani wajah Islam yang jauh berbeda dengan apa yang kerap dicitrakan media barat, dan tentu saja ini adalah berkat.

Memimpin 1,2 miliar umat yang tersebar di berbagai negara dan dihormati para pemimpin dunia, adalah sosok besar.

Kebesaran itu pula yang tampaknya ingin dijadikan pemerintah untuk membentuk pemberitaan global bahwa Indonesia ada untuk dikunjungi, untuk investasi, untuk dilihat besar, dan untuk dijadikan contoh negara berpenduduk muslim terbesar namun dengan Pancasila yang menyatukannya.

Suka tidak suka, bacaan kita mempengaruhi kita. Paus Fransiskus yang datang ke Indonesia semoga membawa dampak besar bagi kebaikan bangsa dan menguatnya pesan perdamaian untuk dunia belahan lain yang hidup dalam konflik berkepanjangan.

Sebagai sebuah sambutan atas kehadirannya, baik bila penggalan dokumen Persaudaraan Kemanusiaan yang ditandatanganinya bersama tokoh besar dari Al-Azhar, Grand Syekh Azhar Ahmed al-Thayeb di Uni Emirat Arab 5 tahun lalu, kita baca ulang.

Bagian dalam dokumen bersejarah yang mendorong penghormatan pada kemanusiaan itu berbunyi:

“Semua pihak agar menahan diri menggunakan nama Tuhan untuk membenarkan tindakan pembunuhan, pengasingan, terorisme dan penindasan. Kami meminta ini berdasarkan kepercayaan kami bersama pada Tuhan, yang tidak menciptakan manusia untuk dibunuh atau berperang satu sama lain, tidak untuk disiksa atau dihina dalam kehidupan dan keadaan mereka. Tuhan, Yang Maha Besar, tidak perlu dibela oleh siapa pun dan tidak ingin Nama-Nya digunakan untuk meneror orang.”

Selamat datang di Indonesia, negeri yang juga berjuang dalam dinamika perbedaannya. Viva il Papa!

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top