Canda Siswi SMA Hina Palestina di TikTok Berbuntut Dikeluarkan dari Sekolah | Pranusa.ID

Canda Siswi SMA Hina Palestina di TikTok Berbuntut Dikeluarkan dari Sekolah


Ilustrasi Palestina: npc.or.id

PRANUSA.ID — Pelajar kelas II SMA di Kabupaten Bengkulu Tengah berinisial MS (19) yang membuat ungkapan bernada ujaran kebencian terhadap Palestina kini dikenai sanksi dikeluarkan dari sekolah.

Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Bengkulu Tengah, Adang Parlindungan menyebut keputusan itu adalah hasil evaluasi dari pihak sekolah.

“Keputusan ini diambil setelah pihak sekolah mengevaluasi tata tertib sekolah dan pelanggaran MS dan hasilnya yang bersangkutan sudah melampaui ketentuan,” kata Adang di Bengkulu, Rabu (19/5/2021).

Selain itu, Adang menyebut keputusan itu juga merupakan kesepakatan bersama antara pihak sekolah, orang tua MS dan sejumlah pihak terkait yang dimediasi kepolisian, serta sejumlah tokoh masyarakat.

Pihak sekolah juga telah menggelar rapat internal bersama Dinas Cabdin Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Benteng. Hasilnya, MS diputuskan untuk dikembalikan kepada orang tuanya untuk dilakukan pembinaan.

Sebelumnya, MS dalam unggahan berdurasi 8 detik di TikTok membuat rekaman ujaran kebencian kepada Palestina yang tengah berkonflik dengan Israel. Unggahan itu sempat viral dan kini telah dihapus TikTok.

MS kemudian menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dan disebarluaskan lewat media sosial miliknya. Dalam rapat bersama, MS menyebut tindakannya itu adalah spontan sebagai bentuk keisengan mengikuti tren bermedia sosial.

“Saya minta maaf atas perbuatan saya, baik kepada warga Palestina maupun seluruh warga Indonesia. Saya hanya iseng dan bercandaan saja bukan maksud berbuat apa-apa dan saya juga tidak menyangka bisa seramai ini,” ungkap MS.

Kasus dugaan ujaran kebencian MS hingga dikeluarkannya ia dari sekolah mendapat sorotan dari Direktur Pusat Pendidikan Perempuan dan Anak Susi Handayani.

Menurut Susi, bentuk penghukuman tersebut seharusnya tak lagi diberikan kepada anak sesuai dengan UU nomor 35 tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

“Pertama kita semua mengakui apa yang dilakukan anak itu salah tapi yang diberikan seharusnya sanksi yang berdampak baik bagi anak, bukan hukuman. Karena semangat UU Perlindungan Anak tidak ada lagi hukuman bagi anak,” tutur Susi.

Susi menilai pola penghukuman seperti kebijakan mengeluarkan anak dari sekolah karena melanggar poin tata tertib sekolah seharusnya tak lagi diterapkan dalam sistem pendidikan yang memerdekakan.

Ia kemudian menyebut bentuk sanksi yang bisa diberikan kepada anak selain pola penghukuman itu, misalnya dengan membuat konten pendidikan di media sosial.

Lebih lanjut, Susi menyoroti proses mediasi yang digelar beberapa hari lalu. Di situ, ia memerhatikan MS hanya didampingi orang tua membuatnya berada di posisi lemah.

“Saat anak dihadirkan dalam proses mediasi seharusnya didampingi karena dia dihadirkan sebagai orang yang bersalah, tentu ada tekanan psikologis. Maka semua hal dia terima karena posisinya lemah,” ungkap Susi.

Penulis: Bagas R.
Editor: Jessica C. Ivanny

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top