Dosen Hukum Parahyangan: Hukuman Mati Nir Keadilan
PRANUSA.ID– Hukuman mati nir keadilan, demikian dinyatakan oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Liona Nanang Supriatna, menanggapi vonis mati terhadap kasus-kasus pembunuhan berencana, teroris, narkoba atau korupsi.
Menurut Liona, yang Alumni Fachbereich Rechtswissenschaft der Justus Liebig Universität Gießen, Jerman, secara juridis formal pidana mati (dood straf) yang diberlakukan di Hindia Belanda (Indonesia) pada tanggal 1 Januari 1918 adalah peninggalan Penjajahan Hindia Belanda.
“Pemberlakuan pidana mati di Indonesia berdasarkan asas Konkordasi yang ternyata tidak konsisten dengan KUHPidana Belanda itu sendiri,” ungkapnya.
Pasalnya, menurutnya, Pemerintah Hindia Belanda memanipulasi hukuman mati, karena sejak tahun 1870 hukuman mati untuk masyarakat sipil ternyata telah dihapuskan dan bagi kalangan militer baru pada tahun 1983.
“Hukuman mati tetap diberlakukan di Hindia Belanda oleh penjajah, tujuan utamanya adalah sebagai dasar hukum untuk menghukum mati para Pejuang Indonesia yang menentang penjajahan Belanda, tegas Liona, yang juga merupakan Alumni Lemhannas RI Angkatan 58,” katanya.
Pidana Mati Bertentangan dengan Tujuan Pemidanaan
Menurut President The Best Lawyers Club Indonesia (BLCI) ini, dalam masyarakat yang modern serta dalam berbagai literatur terkini bahkan dalam KUHPidana baru pidana mati dikeluarkan dari pidana pokok.
“KUHPidana baru tujuan pemidanaan bagi pelaku tindak pidana tidak lagi semata-mata untuk balas dendam terhadap kejahatan apa yang dilakukan, melainkan mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna,” jelasnya.
Selain itu, menurutnya tujuan lain adalah untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat; menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana, serta pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia, jika terpidana dihukum mati maka tujuan-tujuan pemidanaan di atas tidak akan pernah tercapai.
Pidana Mati Kontradiktif dengan Hukum Positif
Pidana mati menimbulkan persoalan tersendiri jika ditinjau dari: Pertama UUD NRI 1945, khususnya Pasal 28 I ayat 1 yang menegaskan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kedaan apapun.
“Kedua, UU No. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 4 secara tegas menyatakan hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun,” ujar Dewan Penasihat DPP ISKA dan Lawyers Social Indonesia (Lysoi).
Dalam konteks hak asasi manusia kedua pasal diatas termasuk pada Non-derogable rights (hak yang tidak bisa dikesampingkan atau ditawar lagi) yakni hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun termasuk dalam keadaan perang, sengketa bersenjata dan atau dalam keadaan darurat.
“Ketiga, UU No. 2 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan, hukuman mati mengakibatkan tujuan dan fungsi dari pemasyarakatan tidak berguna, sementara itu pemasyarakatan bertujan meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian Warga Binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat,” pungkas Liona.
Laporan: Thomas R. Sembiring
Editor: Bagas R.