DPD RI KRITISI PERPU COVID-19 | Pranusa.ID

DPD RI KRITISI PERPU COVID-19


Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) mengkritisi Perpu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) atau Perpu Covid-19. Hal ini disampaikan lewat pernyataan sikap pimpinan Komite I DPD RI pada media.

Dalam pernyataan tersebut, Komite I DPD RI menyatakan bahwa mereka memahami pandemi Covid 19 merupakan bencana nasional bahkan dunia yang mengancam jiwa manusia, sehingga memerlukan adanya penangan yang serius dan masif. Perpu Covid-19 sendiri secara substansi mengandung 3 (tiga) hal sekaligus, yaitu penanganan Pandemi Covid 19; kebijakan keuangan negara ; dan stabilitas sistem keuangan negara.

Kendati demikian, Komite I DPD RI mengingatkan bahwa hakikat keuangan negara yang diatur dalam Perpu tersebut adalah kedaulatan rakyat selaku pemilik tiap rupiah dari anggaran negara. Sehingga rakyat dinilai perlu mengetahui maupun menyetujui sumber pendapatan dan pengalokasian anggaran.

“Dalam sistem demokrasi, persetujuan ini dilakukan melalui wakil rakyat yang ada di DPR/DPD sebagaimana yang diamanatkan oleh ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945” ujar pimpinan Komite I DPD RI dalam pernyataan pers tersebut.

Komite I DPD RI pun mengkhawatirkan Perpu ini akan bertentangan dengan sendi-sendi konstitusional yang telah diatur dalam UUD, terutama berkaitan dengan ruang lingkup dan kebijakan keuangan negara.

Secara spesifik, Komite I DPD RI memandang bahwa ketentuan mengenai pemberian kewenangan kepada Pemerintah untuk dapat menentukan batas defisit anggaran di atas 3% terhadap UU APBN sampai dengan Tahun 2022 dinilai tak elok. Hal ini disebut bertentangan dengan makna periodisasi pembahasan dan penetapan UU APBN sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebut bahwa APBD ditetapkan setiap tahun.

Pimpinan Komite I menyebut bahwa Perpu Covid-19 tidak menentukan batas maksimal persentase Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga dianggap membuka peluang bagi Pemerintah untuk menentukan persentase PDB terhadap defisit anggaran tanpa batasan. Hal ini dipandang dapat berimplikasi pada membesarnya Pos Pembiayaan APBN, termasuk meningkatkan jumlah rasio utang (baik dalam/luar negeri) nantinya.

PDB yang tanpa batasan maksimal ini sendiri diatur berlaku sampai dengan Tahun Anggaran 2022, sehingga ketentuan ini seakan mengikat 3 (tiga) UU APBN sekaligus yakni UU APBN TA 2020, UU APBN TA 2021, dan UU APBN TA 2022.

“Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang menentukan bahwa APBN ditetapkan setiap tahun” tandas pimpinan komite.

Sebagaimana diketahui bahwa UU APBN 2021 dan 2022 belum ada produk hukumnya, sehingga penetapan APBN setiap tahun disebut menjadi kehilangan makna, ketika selisih antara pendapatan dan belanja dibuat terbuka tanpa batas maksimal dan menjangkau 2 (dua) masa penetapan APBN sekaligus.

Komite I DPD RI pun berpendapat, bahwa dalam upaya pananganan Pandemi Covid 19, tidak perlu merubah rezim kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan melalui APBN. Dalam rezim keuangan negara telah disediakan 2 (dua) mekanisme luar biasa dalam pelaksanaan APBN dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, dalam hal menetukan kebijakan anggaran/keuangan negara.

Adapun mekanisme pertama merujuk pada UU no 17 tahun 2003 tentang keuangan negara. Dimana dalam UU tersebut membuka ruang penyesuaian APBN bilamana terjadi perubahan situasi yang membuat perubahan asumsi hingga pokok-pokok kebijakan fiskal. Berdasarkan UU ini, Pemerintah dapat melakukan Perubahan UU APBN dalam tahun berjalan dengan meminta persetujuan DPR.

Mekanisme kedua adalah, menimbang keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan pergeseran anggaran, termasuk melakukan belanja (pengeluaran) untuk keperluan yang tidak ada pagu anggarannya dalam UU APBN dalam periode yang sedang berjalan.

Belanja dalam keadaan darurat ini selanjutnya dapat dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan DPR terlebih dahulu, dengan ketentuan dipersyaratkan adanya keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa atau keutuhan negara (dalam hal ini misalnya darurat kesehatan akibat  Covid 19).

“Persetujuan DPR dapat dimintakan setelah realisasi anggaran dilakukan, untuk kemudian dituangkan dalam UU APBN Perubahan dan/atau dilaporkan dalam Laporan Realisasi Anggaran” tutup pimpinan Komite I DPD RI.

Adapun pernyataan ini dikeluarkan bersama para pimpinan Komite I DPD RI yakni Dr. Agustin Teras Narang, Dr. Abdul Kholik, Fachrul Razi dan Jafar Alkatiri.

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top