Moderasi Beragama Cegah Benturan Agama dan Sains, Modal Hadapi Pandemi
PRANUSA.ID- Moderasi Beragama menjadi sebuah tantangan dalam mendorong persatuan serta kemajuan sebuah bangsa. Terlebih di masa pandemi Covid-19, semangat moderasi beragama dinilai penting agar tidak terjadi benturan pemahaman akan agama dan sains.
Sebaliknya agar seluruh elemen bangsa dapat bersama menghadapi tantangan kemanusiaan yang ada ini.
Hal ini mengemuka dalam webinar nasional bertajuk Penguatan Pendidikan Karakter Kebangsaan & Moderasi Beragama di Tengah Pandemi, Sabtu (31/07/2021).
Rumadi Ahmad, Ketua Lakpesdam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyebut dalam diskusi hubungan agama dan Covid-19 memang ada arus yang mempertentangkan agama dan sains.
“Di satu sisi ada kelompok yang ingin menghegemoni agama. Jadi ada yang mengatakan bahwa dengan misalnya agama menyesuaikan diri dari persoalan pandemi menunjukan agama kalah dalam vis a vis agama dan pandemi” ujar pengajar di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut.
Rumadi menyebut hal ini seharusnya tidak perlu terjadi bila semangat moderasi beragama dapat dipakai dalam menyikapi. Dalam hidup beragama yang moderat menurutnya penjelasan sains dinilai justru membantu umat beragama menghadapi masalah yang ada.
Penulis buku Fatwa Hubungan Antaragama di Indonesia itu pun mengungkapkan bahwa arus besar agama di Indonesia sebenarnya mengambil pendekatan moderat ini. Hal ini terlihat dari perubahan perilaku dan tata cara beragama yang berubah menyesuaikan terhadap situasi pandemi yang membatasi ruang sosial manusia.
“Dalam menghadapi pandemi tidak bisa hanya diselesaikan dengan agama. Agama tidak bisa mendeteksi virus, kita membutuhkan sains dan teknologi” jelasnya.
Secara umum untuk kehidupan umat beragama, Rumadi pun mengingatkan bahwa semua semua pihak patut untuk menghidupi semangat kemanusiaan. Ia pun menyitir pesan dari Dokumen Abu Dhabi yang berjudul Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan dan Imam Besar Al-Azhar, Dr. Ahmad al-Tayyib.
“Ini menjadi dokumen yang sangat penting untuk kehidupan beragama dan harus terus menerus kita ingat” tandasnya.
Dokumen itu berisi pesan yang mengingatkan bahwa musuh bersama umat beragama saat ini sesungguhnya adalah ekstremisme akut, hasrat saling memusnahkan, perang, intoleransi, serta rasa benci di antara sesama umat manusia yang semuanya mengatasnamakan agama.
Sementara itu Prof. Agustinus Purna Irawan yang merupakan rektor Universitas Tarumanagara, dalam pesannya menyinggung soal peran keluarga dalam membentuk karakter anak. Menurutnya, keluarga menjadi salah satu penentu bagaimana proses pendidikan karakter anak itu bisa berhasil, termasuk dalam membentuk perspektif moderasi beragama.
“Kita menyadari bahwa melalui keluarga lah yang pertama membentuk karakter seorang anak. Sehingga, fondasi pendidikan yang kuat dari orang tua, akan memperkuat karakter anak itu sendiri seperti kelembutan, kegembiraan, berdaya juang, dan mentalitas jujur serta disiplin” ungkapnya.
Sementara berkaitan dengan karakter kebangsaan, menurutnya muaranya adalah karakter Pancasila yang muatannya antara lain spiritualitas, kemanusiaan, persatuan, musyawarah mufakat, dan keadilan sosial. Menghidupi muatan ini dinilai akan menjadi dasar dalam mendorong sikap seseorang dalam kehidupan sosial seperti toleransi, empati, jiwa melayani, kerelaan berbagi, dan kerelaan mengampuni.
Sementara itu, MY Esti Wijayati, anggota komisi X DPR RI, menyinggung beberapa tantangan yang harus dihadapi bangsa Indonesia termasuk tantangan keagamaan.
“Saat ini misalnya, muncul beberapa kasus terkait tantangan beragama. Seperti melarang pendirian rumah ibadah, merusak makam agama tertentu, hingga mengganggu pelaksanaan ibadah umat beragama,” ungkapnya.
Maka dalam kesempatan itu, Esti juga menyinggung soal perlunya evaluasi terhadap Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pendirian rumah ibadah yang selama ini menurutnya malah menjadi diskriminasi terhadap minoritas yang ingin mendirikan tempat ibadahnya.
Sementara itu Tindra Matutino Kinasih, Direktur Kajian Pendidikan, Budaya dan Moderasi Beragama LKPMB Indonesia berbagi kajian tentang perspektif milenial dan generasi Z ketika ditanya tentang permasalahan pendidikan dan moderasi beragama.
Akademisi dan praktisi Sumber Daya Manusia ini berpendapat, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk terus menumbuhkan pendidikan dan kesadaran moderasi dalam diri anak-anak.
“Seperti menebarkan hal positif minimal dalam lingkungan keluarga atau tempat kerja, budayakan membaca dan memahami, serta berani untuk speak up dalam rangka melawan berbagai bentuk toleransi,” ujarnya.
Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama Republik Indonesia sendiri dalam sambutannya di acara tersebut menyampaikan pentingnya moderasi beragama untuk mendorong persatuan, termasuk dalam menghadapi pandemi saat ini.
Pandangan diametral yang mencoba membenturkan antara virus Covid-19 dengan agama menurutnya mesti diatasi dengan adanya semangat moderasi beragama. Agar pandangan ekstrem yang mendewakan akal dan yang menafikkan akal dapat dipertemukan.
Dalam kesempatan ini turut hadir Zainut Tauhid Sa’adi selaku Wakil Menteri Agama Republik Indonesia, Yohanes Bayu Samodro selaku Dirjen Bimas Agama Katolik, dan KH Sulaiman Rohimin yang merupakan Ketua MUI Jagakarsa. Masing-masing menyampaikan apresiasi atas webinar nasional yang digelar oleh LKPMB Indonesia.
LKPMB Indonesia sendiri merupakan lembaga yang lahir dari keprihatinan terhadap berbagai masalah yang masih membayangi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Selain itu, lembaga ini juga hadir dalam semangat untuk mendorong moderasi beragama yang dinilai terkait dengan pendidikan karakter kebangsaan serta menjadi kebutuhan bangsa bahkan dunia saat ini.