Revitalisasi Nilai Pancasila Sebagai Upaya Konkretisasi Konsep Humanisme di Indonesia | Pranusa.ID

Revitalisasi Nilai Pancasila Sebagai Upaya Konkretisasi Konsep Humanisme di Indonesia


Ilustrasi: kompas.com

Derasnya arus globalisasi di era modernitas bangsa mengantarkan segala bentuk efisiensi yang memanjakan diri. Salah satunya adalah teknologi yang mengalami perkembangan pesat sehingga berkonsekuensi pada perubahan relasi (jarak) antarmanusia–jauh menjadi dekat dan dekat menjadi jauh.

Ragam problematika mulai mengudara semenjak kebutuhan manusia secara fisik dan ekonomi dalam industri pasar seolah lebih diprioritaskan dibandingkan peran humaniora.

Nilai-nilai karakter moral masyarakat Indonesia yang tervisualisasi melalui pancasila mulai mengalami pengendoran sehingga isu-isu dan konflik sosial menjadi kian kompleks dan pelik. Akibatnya, terjadi malapraktik dalam tata penyelenggaraan negara.

Sebagai jawaban atas persoalan tersebut, maka nilai-nilai pancasila harus dihidupkan
kembali melalui upaya revitalisasi, konkretitasi, dan penelusuran filosofi pancasila.

Filsafat berasal dari kata Yunani “philein” yang berarti cinta dan “sophos” yang berarti hikmah atau kebijaksanaan. Jika digabungkan, maka filsafat merupakan “philosophia” yang artinya adalah cinta kebijaksanaan sehingga selalu berupaya mencari kebenaran sejati yang tercermin dalam pancasila.

Secara harafiah, pancasila berasal dari bahasa Sansekerta “panca” yang berarti lima dan “sila” yang berarti dasar. Artinya, pancasila adalah lima dasar yang menjadi landasan dan pedoman dalam bertingkah laku di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Kedudukan pancasila sebagai dasar filosofi atau filsafat bangsa terkonsep jelas
dalam proposisi normatif dan proposisi konstritusional Indonesia.

Dalil proposisi normatif kedudukan pancasila tersebut berasal dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tepatnya pada pasal 2 yang menegaskan bahwa “Pancasila merupakan sumber dari sumber segala hukum negara”.

Dalil tersebut diperkuat dengan dalil proposisi konstitusional yang berasal dari alinea keempat preambule Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945).

Dengan begitu, maka segala bentuk konstruksi hukum dan peraturan yang ada di Indonesia haruslah berdasarkan pada pancasila.

Namun, lunturnya konsep humanisme dengan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM), praktik korupsi kolusi nepotisme (KKN), penyalahgunaan narkoba, dan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang sengaja dibangkitkan untuk menuai polemik internal membuktikan bahwa sistem hukum di Indonesia tak lagi berdasar pada pancasila.

Untuk itu, diperlukan cara berpikir filosofis dengan menelusuri dan menggali kembali jiwa dan kepribadian bangsa yang sudah ada sejak masa Nusantara kuno.

Hakikat pancasila sebagai filsafat bangsa mengandung suatu nilai dasar yang
fundamental, sistematis, dan holistik sehingga hubungan antarsila dalam pancasila menjadi satu kesatuan yang bulat, utuh, dan hierarkis.

Sila pertama pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” berkaitan erat dengan nilai Ketuhanan, sila kedua pancasila yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” berdasarkan pada nilai Kemanusiaan, sila ketiga pancasila yang berbunyi “Persatuan Indonesia” mengandung nilai Persatuan.

Lalu, sila keempat pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” mencerminkan nilai Kerakyatan, serta sila kelima pancasila yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” mengandung nilai Keadilan.

Kelima sila itu nantinya berguna dalam menghidupkan kembali konsep humanisme di Indonesia. Nilai Ketuhanan menggambarkan adanya pengakuan akan eksistensi Tuhan sebagai sumber dan landasan fundamental moralitas berdimensi religius dalam menentukan pola dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.

Setiap warga Indonesia diberi kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing sehingga tidak ada satu pun agama yang dapat dijadikan tolak ukur nilai moralitas bangsa Indonesia. Meski begitu, semua agama pada dasarnya mengajarkan hal baik yang menjadi acuan moral bagi individu yang menjalankannya.

Nilai Kemanusiaan menempatkan setiap warga Indonesia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan yang memiliki derajat, harkat, martabat, hak dan kewajiban yang sama tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras, dan keturunan. UUD 1945 Bab XA Pasal 28A hingga Pasal 28J tentang Hak Asasi Manusia (HAM) membuktikan bahwa setiap warga Indonesia dilindungi oleh negara.

Untuk itu, manusia sebagai makhluk humanisme yang berbudaya, bermoral, dan beragama sudah seharusnya mengembangkan sikap saling mencintai,
menghormati, toleransi dan tenggang rasa antar sesama manusia.

Nilai Persatuan berarti masyarakat Indonesia menjunjung tinggi keberagaman yang
mempersatukan dan bukan memporakporandakan. Sumpah pemuda adalah salah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Tiga ikrar yang terdiri atas bertumpah darah yang satu, bangsa yang satu, dan bahasa persatuan menjadi kalimat yang mempersatukan segenap kekuatan bangsa Indonesia yang sebelumnya masih terpecah-pecah.

Sumpah pemuda meyakini pluralitas adalah pemicu persatuan dan kekuatan bangsa. Dari sana, jelas bahwa jiwa persatuan bangsa telah ada sebelum negara Indonesia itu sendiri lahir.

Nilai Kerakyatan mengungkapkan bahwa kedaulatan sejatinya ada di tangan rakyat.
Hal ini berarti rakyat memiliki peran besar dalam praktik berkonstitusi karena turut
mengambil keputusan dan kebijakan negara melalui parlemen.

Namun, akhir-akhir ini sebagian besar kalangan elite publik tampaknya lebih mementingkan dan mengejar kekuasaan tanpa memerdulikan konsep tujuan awal lembaga tersebut dibangun.

Isu KKN yang semakin marak dan rendahnya partisipasi publik dalam politik membuktikan bahwa pancasila penting untuk dipahami dan dimanifestasikan kembali dalam kehidupan bernegara.

Nilai Keadilan bersumber dari konsep humanisme itu sendiri. Bagaimana cara
memanusiakan manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tingkat kebutuhan yang berbeda-beda? Dalam hal ini, negara wajib menjamin dan melindungi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Dengan adanya persamaan di hadapan hukum dan negara, maka konflik sosial dapat diminimalkan dan rakyat dapat semakin maju berkontribusi membangun Indonesia yang gemilang.

Pancasila sebagai dasar filosofi dan filsafat bangsa memiliki peran yang amat strategis
dalam membangun karakter bangsa. Pancasila sejatinya merupakan cerminan dari karakter jiwa masyarakat yang sudah ada sejak masa Indonesia kuno.

Untuk itu, pancasila harus direvitalisasi kembali untuk menghilangkan segala bentuk distorsi yang ada saat ini. Salah satunya adalah dengan menerapkan konsep humanisme yang tercermin dalam kelima sila pancasila, khususnya pada sila kedua.

Aktualisasi dan manifestasi konsep humanisme positif yang mengedepankan harkat, martabat, dan kedudukan manusia dalam mencari titik terang segala persoalan akan membuat negara selalu memprioritaskan kepentingan rakyat di atas kepentingan individu dan penguasa.

Misalnya, jika seseorang dibekali dengan pemahaman akan konsep humanisme
yang terkandung dalam nilai-nilai pancasila sebagai dasar falsafah dan filsafat bangsa, maka ia akan sulit terjerumus terhadap hal negatif dan selalu memperjuangkan kepentingan bersama sebagai prioritas.

Dengan begitu, segala bentuk pelanggaran HAM, perbuatan KKN yang merugikan
dan menyengsarakan rakyat, dan segala perbuatan melanggar hukum lainnya dapat
diminimalkan.

Pada akhirnya, revitalisasi nilai-nilai pancasila merupakan jawaban dan solusi tepat mengatasi segala problematika yang ada di kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.

 

Jessica Cornelia Ivanny

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top