Sengketa Lahan Berujung Pemukulan Terhadap WNA Asal Tiongkok di Ketapang Kalbar | Pranusa.ID

Sengketa Lahan Berujung Pemukulan Terhadap WNA Asal Tiongkok di Ketapang Kalbar


Ilustrasi pengeroyokan. (FAJAR)

PRANUSA.ID- Sengketa lahan antara ahli waris dengan pihak perusahaan PT. Sultan Rafli Mandiri (SRM) di Dusun Muatan Batu, Desa Nanga Kelampai, Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat berbuntut panjang.

Ratusan orang dari empat desa yakni, Desa Kelampai, Desa Jungkal, Desa Pemuatan Jaya dan Desa Segar Wangi mendatangi lokasi penambangan dan berujung dengan kerusuhan pada Kamis siang (17/9) .

Kerusuhan tersebut terjadi karena rasa amarah warga setelah pihak perusahaan kembali mengoperasikan perusahaan setelah sebelumnya disepakati tidak akan mengoperasikan mesin-mesin sebelum ganti rugi dilakukan.

Selain itu, masyarakat juga kesal dengan ulah oknum perusahaan yang meminta mereka untuk menandatangani bukti pemberian bantuan yang diberikan oleh perusahaan, dan ternyata tanda tangan tersebut dijadikan sebagai legalitas oleh perusahaan untuk kembali mengoperasikan mesin-mesin.

Massa pun masuk secara paksa ke dalam perusahaan dengan merusak pintu gerbang. Mereka mencoba mematikan mesin tambang yang dioperasikan kembali oleh perusahaan dan kemudian melakukan sweping ke dalam perusahaan dan barak karyawan.

Emosi massa semakin menjadi – jadi ketika menemukan ratusan warga negara asing (WNA) asal Tiongkok yang berada dalam camp karyawan.

Warga kemudian merusak bangunan dan barang-barang di dalam kawasan perusahaan. Massa juga mengejar dan memukuli sejumlah WNA.

Aparat kepolisian yang berada di lokasi kejadian tidak dapat berbuat banyak, karena kalah jumlah. Polisi hanya mencoba menenangkan massa yang emosi serta mengamankan sejumlah WNA yang belum sempat melarikan diri.

Ratusan WNA itu pun akhirnya dapat dievakuasi dari lokasi pertambangan emas perusahaan SRM menggunakan empat truk, termasuk satu truk milik polres. Selanjutnya, para WNA tersebut ditempatkan di sejumlah hotel di Kota Ketapang di bawah penjagaan polisi (Kamis 17/9 malam).

Ahli waris lahan yang digunakan oleh PT. SRM, Imran, mengatakan sengketa lahan tersebut sudah berlangsung sejak lama.

“Sampai hari ini tidak ada penyelesaian. Kemarin sudah ada kesepakatan antara kami dengan perusahaan. Perusahaan tidak boleh beroperasi sebelum penyelesaian ganti rugi, tapi nyatanya perusahaan mengingkari itu,” kata Imran, kemarin (18/9).

Dia menjelaskan, ada sejumlah lahan milik keluarganya yang memiliki SKT terbitan tahun 1962. Namun, lahan tersebut dibeli oleh perusahaan melalui oknun warga desa dengan membuat SKT baru. Selain itu, banyak lahan yang sudah memiliki sertifikat, namun belum diganti rugi oleh perusahaan.

“Lahan yang kami persoalkan sesuai pengukuran sendiri ada sekitar 85 persen wilayah perusahaan masuk ke dalam lahan ahli waris,” jelasnya.

Imran menambahkan, sejak beroperasi pada Oktober 2018 lalu, pihak perusahaan sama sekali tidak memperkenankan pemilih lahan untuk masuk dalam areal pabrik.

Padahal di dalam aturan manajemen perusahaan, ada pembagian saham sebesar 25 persen milik ahli waris yang juga sampai saat ini tidak pernah diberikan.

Untuk itu, Imran berharap agar persoalan ini dapat diselesaikan secepat mungkin. Perusahaan diminta untuk melakukan kewajiban-kewajiban kepada ahli waris dan tidak lagi mengadu domba masyarakat dengan membuat spanduk yang mengatasnamakan masyarakat.

“Akibat perbuatan perusahaan, masyarakat menjadi marah. Ke depan kita minta agar masyarakat diberdayakan sebagai pekerja. Sejauh ini mayoritas pekerja adalah orang asing yang pekerjaannya bisa dilakukan oleh masyarakat lokal,” terangnya.

Sementara itu, terkait WNA di lokasi PT. SRM, Kepala Imigrasi Kelas III Ketapang, Rudi Adriadni, angkat bicara. Pihaknya membenarkan adanya WNA dan TKA di PT. SRM. Namun, jumlahnya tidak sampai ratusan. Berdasarkan data yang dimilikinya, hanya ada 80-an TKA di lokasi PT. SRM. “Yang terdata di kami itu hanya sekitar 80-an orang saja,” katanya, (18/9).

Rudi mengaku baru mengetahui ada ratusan WNA di PT. SRM setelah ada kerusuhan di perusahaan tersebut.

“Saya baru dapat informasinya tadi malam. Adanya 128 TKA yang diinapkan di Hotel Grand Zuri dan Aston. Saat ini kami sedang melakukan pendataan terhadap para TKA itu,” jelasnya.

Pihaknya belum memastikan apakah WNA selain yang terdata tersebut juga merupakan TKA atau bukan.

“Berdasarkan data yang dilaporkan oleh PT. SRM hanya 80 orang TKA saja. Selebihnya kita belum tahu statusnya. Makanya kita masih melakukan pendataan dulu untuk mencocokkan,” ungkapnya.

Rudi menambahkan, jika dari hasil pendataan nanti didapati WNA atau TKA tidak memenuhi dokumen, pihaknya akan mengambil tindakan tegas. WNA akan dideportasi ke negara asalnya.

“Sanksinya bisa berupa deportasi atau bahkan disidangkan. Tapi kita pastikan dulu dari hasil pendataan dan nanti kita akan periksa juga perusahaan yang mensponsori dan bertanggung jawab. Secara aturan, ketika ada TKA masuk, pihak perusahaan wajib melapor ke Kantor Imigrasi,” tegasnya.

Sementara itu, perwakilan PT. SRM, Lubis, saat dikonfirmasi Pontianak Post, enggan memberikan komentar terkait kerusuhan yang terjadi di lokasi PT. SRM. Dia hanya menyarankan untuk mengonfirmasi ke kuasa hukumnya. “Bapak kontak lawyer saja,” singkat Lubis melalui pesan WA.

Kuasa hukum PT. SRM, Restanto, saat dihubungi melalui sambungan telepon juga enggan memberikan komentar. Dia mengaku belum bisa memberikan keterangan karena sedang sibuk.

“Nanti saya kabari ya bang. Saya masih agak repot,” ujarnya melalui pesan WA. Hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan lebih lanjut dari pihak perusahaan terkait kerusuhan yang terjadi di PT. SRM.

 

(Kris/Pranusa)

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top