Soroti Transparansi Bupati, 17 Anggota DPRD Ende Ajukan Hak Interpelasi | Pranusa.ID

Soroti Transparansi Bupati, 17 Anggota DPRD Ende Ajukan Hak Interpelasi


FOTO: Bupati Ende, Yosef Badeoda.

ENDE – Ketegangan politik di Kabupaten Ende mencapai puncaknya. Sebanyak 17 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Ende resmi mengajukan Hak Interpelasi kepada Bupati Ende, Yosef Badeoda. Langkah politik ini diambil menyusul dugaan kekacauan pengelolaan keuangan daerah yang dinilai tidak transparan dan cacat hukum.

Kesepakatan pengajuan hak interpelasi tersebut dibuktikan dengan tanda tangan persetujuan para anggota dewan dalam Sidang Paripurna yang digelar pada Senin (1/12/2025).

Desakan ini muncul akibat sejumlah persoalan krusial dalam tata kelola anggaran. Salah satu pemicu utamanya adalah temuan utang belanja Tahun Anggaran 2024 sebesar Rp55,80 miliar yang baru terungkap saat memasuki tahun anggaran 2025. Kondisi ini memaksa pemerintah melakukan pergeseran belanja tahun 2025 demi melunasi utang tersebut.

Selain itu, DPRD menyoroti penggunaan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) 2024. Dari total Rp13,61 miliar, pemerintah diketahui menggunakan Rp1,99 miliar tanpa persetujuan DPRD.

Proyek “Siluman” dan Perbup Terlambat

Kekisruhan berlanjut pada tata cara penyesuaian struktur APBD 2025. DPRD menilai pemerintah tidak melibatkan legislatif dalam pelaksanaan instruksi pusat, baik Inpres maupun Surat Edaran Mendagri.

Sorotan tajam juga tertuju pada Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 10 Tahun 2025. Peraturan ini ditetapkan pada Juni 2025, namun baru diundangkan pada September, dan anehnya baru diberitahukan ke DPRD pada 20 Oktober 2025.

DPRD menemukan kejanggalan di mana pasca-penetapan Perbup tersebut, muncul sejumlah program baru yang tidak termuat dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 2025.

Salah satu kegiatan di luar RKPD yang menjadi sorotan adalah rehabilitasi Stadion Marilonga, yang bahkan dilaksanakan sebelum Perbup diundangkan dalam berita daerah.

Atas dasar dugaan pelanggaran UU Nomor 23 Tahun 2014 dan PP Nomor 12 Tahun 2018 tersebut, DPRD merasa perlu menggunakan hak bertanya mereka untuk meminta keterangan resmi Bupati.

Polemik Tanggal “Mundur” APBD 2026

Situasi semakin memanas ketika pemerintah absen dalam sidang penetapan nota persetujuan APBD 2026.

Melalui Plt Sekda, Bupati menyampaikan pesan tidak akan hadir jika penetapan tanggal penandatanganan bukan pada 30 November, padahal sidang digelar pada 1 Desember.

Anggota DPRD Fraksi PKB, Abdul Kadir Hasan, merespons keras sikap tersebut. Ia menilai permintaan itu sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan.

“Ini sudah salah menyalahgunakan kewenangan dan kita adalah mitra bukan bawahan Bupati. Jangan sampai ada konspirasi jahat di balik ini,” ungkap Abdul Kadir.

Hal senada ditegaskan Anggota Fraksi Golkar, Megy Siga Sare. Ia menyatakan DPRD menolak memalsukan tanggal dokumen karena bertentangan dengan regulasi, termasuk UU Administrasi Pemerintahan.

“Setiap dokumen tidak boleh direkayasa, harus dicantumkan sesuai fakta,” tegas Megy.

Megy memperingatkan, jika Bupati tidak menunjukkan itikad baik dengan tidak menghadiri agenda sidang resmi hingga tiga kali, maka DPRD wajib mengambil langkah politik tegas melalui penggunaan Hak Interpelasi.

Laporan: Marsianus N.N (Peci) || Editor: Arya

Berita Terkait

Top