Etnis Tionghoa dalam Sejarah Kepahlawanan Indonesia
10 November kemarin menjadi momentum bagi kita untuk kembali mengingat jasa para pahlawan yang mengorbankan jiwa dan raganya untuk bangsa Indonesia agar bisa merdeka dari belenggu penjajahan dan kemudian mempertahankan kemerdekaan itu sendiri. Bukan perjuangan yang mudah memang terlebih mengingat para pejuang kita yang memiliki keterbatasan terutama di sektor persenjataan, namun tetap gigih melawan hingga titik darah penghabisan.
Tak kalah penting untuk diketahui, bahwa perjuangan melawan penjajah dilakukan oleh seluruh rakyat yang memiliki latar belakang berbeda. Sehingga, tidak tepat apabila ada kelompok yang mengklaim bahwa perjuangan melawan penjajah hanya dilakukan oleh golongan tertentu saja. Setiap orang dari agama dan etnis melakukan perjuangan yang sama dan salah satunya adalah rakyat Indonesia dari kalangan etnis Tionghoa.
Etnis Tionghoa yang selama ini dituding oleh kelompok intoleran hanya sebatas pendatang nyata – nyatanya turut memberikan andil dalam perjuangan bangsa. Perjuangan mereka memang tidak banyak tercatat dalam buku sejarah karena diskriminasi rasial tersistematis di era Orde Baru yang menimpa mereka terlebih pasca Tragedi 1965. Apalagi orang-orang ketika berbicara etnis Tionghoa dalam perjalanan bangsa hanya mengingat Pao An Tui (Badan Pelindung Keselamatan). Organ keamanan masyarakat Tionghoa yang didirikan pada 28 Agustus 1947 tersebut memang memilih jalan berlawanan dengan pemerintah Republik dan secara tegas memihak Belanda.
Namun, kepingan perjalanan perjuangan etnis Tionghoa tetap tercatat manis oleh mereka yang peduli terhadap pelurusan dan kejujuran sejarah nasional. Kisah perjuangan mereka dapat dilihat saat di Surakarta, sekelompok pemuda Tionghoa mendirikan organ perjuangan pro Republik bernama BPRT (Barisan Pemberontak Rakjat Tionghoa) pada 4 Januari 1946. Organisasi tersebut secara konsisten melawan pemerintahan Hindia Belanda.
Selain itu, ada pula kisah heroik dari Laksamana Muda TNI (Purn) John Lie Tjeng Tjoan, atau yang lebih dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma. Ia secara rutin melakukan operasi untuk menembus blokade Belanda. Ia sering membawa karet atau hasil bumi lain ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang ia peroleh lalu diserahkan kepada pejabat Republik yang ada di Sumatera sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Pada tahun 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar pahlawan nasional atas jasa – jasa besar yang telah ia lakukan pada masa lalu.
Tidak hanya itu, sebelum era 1940-an pun, tepatnya pada masa Pergerakan Nasional, kalangan etnis Tionghoa juga memanifestasikan dukungannya terhadap kemerdekaan Indonesia melalui surat kabar seperti Sin Po yang menggunakan bahasa Melayu. Sin Po adalah surat kabar pertama yang menjadi pelopor penggunaan kata “Indonesia” untuk menggantikan “Nederlandsch Indie” maupun “Hindie Nederlandsch”. Selain itu, Sin Po juga disebut sebagai media yang mengganti penggunaan kata “inlander” yang dianggap sebagai penghinaan terhadap rakyat Indonesia, dan menggantinya dengan kata “Indonesia.” Koran ini juga menjadi koran pertama yang memuat syair lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh Wage Rudolf Supratman.
Dedikasi yang diberikan oleh kalangan etnis Tionghoa demi kemerdekaan Indonesia pada dasarnya tidak boleh dipandang sebelah mata. Mereka secara nyata bersama elemen masyarakat dari kalangan etnis lain turut memberikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia. Jadi, sudah saatnya kita memandang sejarah perjuangan bangsa sebagai milik bersama sehingga itu bisa menjadi modalitas penting untuk membangun Indonesia sebagai negara yang kuat dalam persatuan tanpa membeda – membedakan dan saling klaim paling berjasa. Selamat Hari Pahlawan.
Penulis adalah Kristoforus Bagas Romualdi. Guru di SMa Santo Paulus Pontianak.