Radikalisme dan Tanggung Jawab ASN

Penulis : Jessica Cornelia Ivanny, S.H.
Radikalisme bukan lagi isu pinggiran. Ia telah menjadi salah satu tantangan kontemporer paling nyata yang dihadapi bangsa Indonesia hari ini. Jika dulu radikalisme hanya muncul lewat aksi kekerasan dalam bentuk ekstrem seperti teror dan pengeboman, kini ia telah menyusup dalam berbagai bentuk yang jauh lebih halus, seperti lewat narasi-narasi kebencian yang dikemas dengan dalih agama, nasionalisme sempit, atau ketidakpercayaan terhadap negara. Bahkan, dalam dunia digital saat ini, media sosial pun ikut menjadi ladang subur tumbuhnya bibit-bibit intoleran dan radikal.
Pada awal Agustus 2025 lalu, dua aparatur sipil negara (ASN) masing-masing berinisial MZ (40) yang berasal dari lingkungan Kementerian Agama dan ZA (47) yang berasal dari lingkungan Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh ditangkap oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri karena diduga terlibat dalam jaringan terorisme.[1] Kasus ini mengingatkan kita akan kasus-kasus serupa beberapa tahun sebelumnya dimana Densus 88 juga menangkap seorang ASN berinisial TO (46) di Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Tangerang pada Maret 2022, seorang pegawai Satpol PP Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara bernama Mujakir (37) pada Desember 2017, pegawai Dinas Perhubungan Kabupaten Malang bernama Achmad Ridho Wijaya pada Februari 2016, dan seorang ASN Kabupaten Luwu Utara berinisial RY pada September 2015 karena terlibat terorisme.[2] Deretan kasus ini menunjukkan bahwa paparan paham radikal telah lama merambah masuk dan menumbuhkan bibit-bibitnya dalam institusi pemerintahan dan kalangan ASN.
Ini tentu saja bukan lagi sekadar persoalan keamanan, melainkan menyangkut masa depan ideologis bangsa. Jika ASN yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan negara, pelayan publik, dan perekat-pemersatu bangsa itu sendiri sudah tercemar paham yang anti-Pancasila, maka keruntuhan sistem bangsa dan negara kita bisa terjadi secara senyap dari dalam.
Radikalisme: Wajah Baru dari Bahaya Lama
Selama ini, istilah radikalisme kerap dipersempit maknanya menjadi identik dengan fanatisme agama atau ekstremisme keagamaan belaka. Pandangan ini tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak cukup tepat dan terlalu menyederhanakan persoalan. Radikalisme sejatinya lebih luas dari sekadar persoalan tafsir agama. Ia adalah sikap atau ideologi yang menolak nilai-nilai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk menentang sistem konstitusional, memusuhi keberagaman, dan menginginkan perubahan radikal terhadap tatanan sosial, politik, dan ideologis yang sah.
Radikalisme bisa lahir dari berbagai latar belakang: agama, ideologi politik, etnonasionalisme, bahkan sentimen ekonomi dan sosial. Dalam konteks Indonesia, bentuk paling kentara dari radikalisme belakangan ini memang berbalut simbol-simbol keagamaan. Namun, akar masalahnya tidak sesederhana persoalan iman. Radikalisme pada dasarnya berakar pada narasi eksklusif yang membelah masyarakat menjadi “kita vs mereka” atau “muslim vs kafir”. Pola pikir biner inilah yang membentuk bibit radikalisme, bahkan sebelum ia menjelma menjadi aksi nyata.
Radikalisme sendiri memiliki hubungan yang erat dengan terorisme, meskipun keduanya tidak identik. Radikalisme adalah ideologi yang menjadi dasar justifikasi, sedangkan terorisme adalah manifestasi ekstrem dari ideologi tersebut dalam bentuk kekerasan sistematis dan terencana. Dengan kata lain, tidak semua radikal menjadi teroris, tetapi hampir semua aksi terorisme modern berakar pada pandangan radikal yang menghalalkan kekerasan sebagai alat perubahan sosial-politik. Terorisme hanyalah puncak gunung es dari proses panjang indoktrinasi, dehumanisasi, dan politisasi keyakinan yang dimulai dari sikap intoleran sehari-hari.
Radikalisme tumbuh subur bukan hanya karena doktrin, tetapi juga karena sejumlah faktor struktural dan kultural. Ketimpangan sosial-ekonomi, krisis identitas, lemahnya pendidikan karakter, maraknya hoaks di media sosial, dan pudarnya literasi kebangsaan menciptakan ruang kosong yang mudah diisi oleh ideologi transnasional. Mereka yang merasa terpinggirkan—baik secara ekonomi, sosial, maupun psikologis—mudah dipengaruhi oleh narasi radikal yang menawarkan solusi instan, simplistik, dan menggugah emosi.
Dalam konteks Indonesia, pertarungan ini bukan sekadar soal ekstremisme melawan moderasi, tetapi perang ideologis antara paham transnasional dan nilai-nilai luhur Pancasila. Pancasila menjunjung tinggi keberagaman, keadilan sosial, dan kehidupan bernegara yang inklusif. Sebaliknya, radikalisme justru menolak pluralitas dan kedaulatan nasional, serta mengganti struktur negara dengan sistem yang dianggap lebih “suci” atau “murni” menurut tafsir sempit mereka. Di sinilah pentingnya membentengi ideologi bangsa dari infiltrasi paham destruktif yang perlahan tapi pasti menggerogoti persatuan nasional.
Tanggung Jawab ASN di Tengah Ancaman Ideologis
Bagi para ASN, pemahaman terhadap bahaya laten radikalisme bukanlah wacana akademis semata, melainkan realitas yang harus disikapi dengan kesadaran dan keberanian. ASN bukan hanya pelaksana kebijakan negara, tetapi juga penjaga nilai-nilai ideologis bangsa. Oleh karena itu, setiap ASN harus membekali diri dengan wawasan kebangsaan yang kuat, memahami hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka yang menjamin kebhinekaan, dan berkomitmen untuk tidak memberi ruang sedikit pun bagi berkembangnya narasi-narasi radikal—baik dalam bentuk ujaran, tindakan, maupun sikap diam yang permisif.
Sebagai generasi muda yang akan menempati posisi strategis dalam birokrasi negara, ASN muda harus menjadi garda terdepan dalam menjaga Indonesia dari infiltrasi ideologis yang membahayakan keutuhan NKRI. Perjuangan melawan radikalisme bukan hanya tugas aparat keamanan atau tokoh agama, melainkan tanggung jawab seluruh komponen bangsa, dan itu dimulai dari diri sendiri, dari kesadaran bahwa menjadi ASN berarti menjadi benteng pertahanan ideologi Pancasila.
Pentingnya Wawasan Kebangsaan untuk Membaca Indonesia Secara Utuh
Di tengah arus globalisasi dan banjir informasi digital, banyak orang—termasuk ASN mengalami disorientasi dalam memaknai kebangsaan. Padahal, wawasan kebangsaan adalah fondasi utama untuk memahami Indonesia secara utuh, bukan hanya sebagai negara hukum, tetapi juga sebagai rumah besar bagi beragam suku, agama, budaya, dan identitas yang berbeda-beda. Tanpa pemahaman ini, seseorang mudah tergelincir dalam pandangan sempit yang hanya melihat kebenaran dari sudut kelompoknya sendiri.
Wawasan kebangsaan adalah kemampuan untuk melihat Indonesia secara makro, melampaui batas-batas identitas sempit, serta memahami dinamika sosial-politik dalam kerangka keutuhan bangsa. ASN yang memiliki wawasan kebangsaan tidak akan mudah terpancing narasi sektarian, tidak mudah terprovokasi oleh propaganda ideologis asing, dan tidak tergoda untuk mengganti dasar negara dengan sistem yang asing terhadap nilai-nilai lokal.
Lebih dari itu, wawasan kebangsaan membekali ASN dengan kesadaran historis dan konstitusional—bahwa Indonesia tidak dibangun oleh satu agama, satu etnis, atau satu golongan, melainkan oleh kesepakatan kolektif untuk hidup bersama dalam keberagaman. Ini penting karena banyak narasi radikal hari ini bekerja dengan cara memisahkan individu dari narasi kebangsaan, dan menyusupkan ideologi lain sebagai “alternatif” yang lebih suci, padahal sesungguhnya destruktif.
Pancasila sebagai Kompas Moral ASN
Pancasila bukan hanya merupakan dasar negara, melainkan juga kompas moral yang menuntun perilaku ASN dalam bekerja dan melayani masyarakat. Lima sila dalam Pancasila mencerminkan nilai-nilai universal yang tetap relevan dalam menjawab tantangan zaman: ketuhanan yang inklusif, kemanusiaan yang adil, persatuan dalam kebhinekaan, demokrasi yang partisipatif, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bagi ASN, Pancasila bukan sekadar hafalan dalam upacara atau bagian dari sumpah jabatan. Ia adalah nilai hidup yang harus diinternalisasi dalam setiap kebijakan, pelayanan publik, dan sikap profesional. ASN yang benar-benar Pancasilais akan menolak segala bentuk diskriminasi, tidak tergoda politik identitas, serta mampu menjadi teladan integritas dan keberpihakan pada kepentingan rakyat.
Lebih penting lagi, Pancasila berfungsi sebagai filter ideologis di tengah gempuran paham-paham transnasional. Saat ideologi luar menyusup dengan berbagai kemasan, Pancasila hadir sebagai penjaga identitas bangsa yang berakar kuat pada budaya dan sejarah lokal. ASN yang berpegang pada Pancasila tidak hanya akan kebal terhadap pengaruh radikalisme, tetapi juga mampu menjadi agen penguatan nilai-nilai kebangsaan di lingkungan sekitarnya.
Menjadi ASN yang Siaga Ideologi
Radikalisme hari ini bukan hanya tantangan keamanan, tetapi juga ujian terhadap kesetiaan kita pada nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa. Dalam kondisi ini, peran ASN tidak cukup hanya teknokratis, tetapi juga ideologis dan moral. ASN harus hadir sebagai pelindung konstitusi, penjaga nilai Pancasila, dan pelayan rakyat yang netral, adil, serta inklusif.
Bagi para CASN, mempersiapkan diri menjadi ASN yang tangguh berarti menanamkan wawasan kebangsaan dan bela negara sebagai fondasi berpikir dan bertindak. Dan ketika kita menyadari bahwa menjaga Indonesia tidak melulu soal senjata atau garis perbatasan, melainkan soal menjaga cara pandang, nilai, dan narasi, maka kita semua—sebagai ASN muda—memiliki tugas mulia untuk menjadi benteng ideologis terakhir bangsa. Sebab di tangan kita, masa depan Indonesia dipertaruhkan.
Catatan Kaki:
[1] Dialeksis.com, 7 Agustus 2025. “Radikalisme Menyusup ke Birokrasi, Pemuda Muhammadiyah Aceh Desak Audit Ideologi ASN”, diakses dari https://dialeksis.com/polkum/radikalisme-menyusup-ke-birokrasi-pemuda-muhammadiyah-aceh-desak-audit-ideologi-asn/ pada 22 Agustus 2025.
[2] Tempo.co, 17 Agustus 2023. “9 Kasus Karyawan BUMN dan PNS Diduga Terlibat Jaringan Terorisme, Teranyar Pegawai PT KAI”. Diakses dari https://www.tempo.co/ekonomi/9-kasus-karyawan-bumn-dan-pns-diduga-terlibat-jaringan-terorisme-teranyar-pegawai-pt-kai-154837 pada 22 Agustus 2025.