KontraS Nilai Kejagung Tak Serius dalam Kasus HAM Paniai Papua
PRANUSA.ID — Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyoroti hasil sidang kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Paniai, Papua yang membebaskan terdakwa tunggal, Mayor Inf (Purn) Isak Sattu dari segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Sebagai informasi, Isak yang merupakan perwira penghubung saat tragedi Paniai Berdarah pada 2014 silam, telah dijatuhi vonis bebas oleh majelis hakim HAM dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (8/12).
“Jadi memang diakui dan dibuktikan adanya pelanggaran HAM berat Paniai tapi sayangnya rantai komando itu tidak bisa dibuktikan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, terdakwa IS sebagai pangkat tertinggi saat itu tapi tidak bisa dinyatakan bersalah,” kata Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti, Jumat (9/12).
Menurut Fatia sejak awal penanganan kasus ini terlihat tak serius saat berada di tangan Kejaksaan Agung (Kejagung). Kasus yang semula telah dinyatakan pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM itu kemudian ditetapkan Kejagung hanya ada satu tersangka yang kemudian diseret sebagai terdakwa di meja hijau, yakni Isak.
“Dalam pelanggaran HAM berat mustahil dilakukan hanya satu orang dan hanya memperhatikan satu unsur komando saja. Sedangkan kita tahu dalam prakteknya ada pelaku lapangan yang tidak diadili dalam sidang ini,” kata Fatia.
“Nah itu memperlihatkan bagaimana dari awal proses Paniai ini, dari proses penyidikan hingga peradilan ini tidak berjalan cukup maksimal, karena investigasi atau penyelidikan menyeluruh di Kejagung yang menyebabkan proses pembuktian dan proses pengadilannya ‘seadanya dan formalitas’ yang sangat berbahaya bagi masa depan penyelesaian pelanggaran HAM berat ke depannya,” imbuhnya.
Anggota Divisi Pemantauan Impunitas KontraS Ahmad Sajali mengatakan permasalahan utamanya berada pada kinerja Kejagung. Sebab, tuntutan jaksa penuntut umum menjadi salah satu acuan dari persidangan.
Pasalnya, Kejagung menetapkan terdakwa tunggal. Sementara, pihaknya menduga, aktor lapangan dan pemberi komandonya masih dibiarkan.
“Kalau mau menilai vonis hakim, landasannya adalah dakwaan dan tuntutan dari jaksa penuntut umum yang menurut saya dan teman-teman memang itu sumber dari ini semua, yakni gagalnya ada pertanggungjawaban bagi pelaku dari Peristiwa Paniai 2014,” kata pria yang akrab disapa Jali.
“Bagi kita yang mengikuti proses pengadilan HAM, kan baru kali ini akhirnya ada persidangan yang menyidangkan satu orang terdakwa. Dari awal kita sudah nilai, ini satu hasil penyidikan yang ngaco banget,” imbuhnya.
Dikutip dari CNN Indonesia, belum ada pernyataan resmi Kejagung perihal tudingan KontraS soal ketidakseriusan. Meskipun demikian, pada Kamis lalu, Kejagung lewat Kasipenkum Ketut Sumedana mengatakan pihaknya akan mengajukan kasasi atas vonis majelis hakim HAM di PN Makassar itu.
“Kejaksaan pasti melakukan upaya hukum kasasi. Tapi kita pelajari dulu putusan lengkapnya ya,” ujar Ketut ketika dikonfirmasi menanggapi vonis majelis hakim HAM di PN Makassar, Kamis (8/12).
Sementara itu, di Makassar kemarin, Isak yang merupakan pensiunan mayor TNI itumengucapkan terima kasih kepada tim penasihat hukumnya yang telah berusaha membuktikan dirinya tidak bersalah dalam kasus pelanggaran HAM berat di Paniai.
“Yang mulia majelis hakim yang diberkati oleh Tuhan yang memimpin sidang sehingga saya bisa dibebaskan dari tuduhan dan tuntutan dalam kasus ini,” kata Isak Sattu.
Usai sidang, dia berharap menyebut ke depan agar tak ada lagi jaksa menuntut ke yang tak sepantasnya dituntut.
“Kiranya ke depan tidak terjadi yang kemarin, yang menuntut tidak sepantasnya,” ujarnya.
Sebagai informasi, kasus HAM Paniai Papua terjadi pada 8 Desember 2014 silam. Kala itu warga sipil sedang melakukan aksi protes terkait pengeroyokan aparat TNI terhadap sekelompok pemuda di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Paniai.
Empat pelajar tewas di tempat usai ditembak oleh pasukan gabungan militer. Lalu, satu orang lain tewas setelah mendapat perawatan di rumah sakit beberapa bulan kemudian. Dalam peristiwa itu, 17 orang lainnya luka-luka.
Komnas HAM yang terjun ke Papua kemudian menyimpulkan peristiwa itu sebagai Pelanggaran HAM Berat karena memenuhi unsur penganiayaan dan pembunuhan yang terstruktur dan sistematis. (*)
Sumber: CNN Indonesia