Merdeka dari Intoleransi | Pranusa.ID

Merdeka dari Intoleransi


KOLOM- Kemerdekaan Indonesia diraih dengan perjuangan yang tidak mudah namun penuh makna. Pada saat itu, seluruh elemen masyarakat tanpa sekat berusaha dengan mempertaruhkan jiwa raganya meraih dan mempertahankan kemerdekaan yang menjadi mimpi besar bangsa Indonesia.

Kesadaran akan pentingnya persatuan itu memang pada akhirnya menghantarkan bangsa ini ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Hal yang mustahil diraih apabila semuanya berjuang untuk kepentingan kelompok atau golongannya sendiri.

Hal tersebut setidaknya terlihat sebelum tahun 1908, rakyat bergerak dalam konsep kedaerahan dan golongan (terkotak – kotak) sehingga akhirnya mudah dipukul mundur oleh penjajah. Apalagi dengan sistem terkotak – kotak tersebut memudahkan pihak penjajah untuk melakukan politik adu domba sehingga dalam catatan sejarah bangsa ini, terlihat ada yang justru bertikai antar sesamanya sendiri.

Namun, setelah tahun 1908, kesadaran nasional perlahan tapi pasti mulai muncul dan menguat melalui ragam organisasi. Kesadaran tersebut kemudian termanifestasikan dalam ikrar Sumpah Pemuda tahun 1928 dimana banyak elemen akhirnya menggelorakan semangat persatuan dalam bingkai Indonesia.

Arah perjuangan pun berubah, banyak yang bersatu padu untuk kepentingan yang lebih besar di atas kepentingan kelompok atau golongan. Hal ini yang menyebabkan bangsa ini dalam perjalanannya merebut dan mempertahankan kemerdekaan semakin lebih berarti dan membentuk nilai abadi tentang persatuan itu sendiri.

Namun, belakangan nilai persatuan itu terus menghadapi tantangan bahkan sampai tahun 2020 ini. Celakanya, tantangan tersebut juga tidak datang dari bangsa luar melainkan dari dalam bangsa ini sendiri. Tantangan tersebut adalah keberadaan kelompok intoleransi yang mengatasnamakan kepentingan agama tertentu.

Kelompok tersebut senantiasa membatasi ruang beribadah atau adat istiadat masyarakat yang dianggap tidak sejalan dengan pandangan keagamaan yang mereka pahami.

Misalnya saja, masyarakat penganut kepercayaan Sunda Wiwitan yang beberapa waktu lalu harus rela makam adatnya disegel pemerintah setempat atas desakan dari kelompok keagamaan.

Terbaru, terjadi kasus intoleransi di Solo saat ratusan warga menyerang kediaman almarhum Segaf Al Jufri yang sedang menggelar acara Midodareni, sebuah tradisi masyarakat Jawa untuk mempersiapkan hari pernikahan.

Kasus – kasus tersebut menggambarkan bahwa intoleransi masih bersamayam dan mengancam kehidupan masyarakat Indonesia. Dan tentu saja, intoleransi adalah bentuk pengkhianatan terhadap sejarah integrasi bangsa Indonesia.

Intoleransi adalah tindakan yang bertentangan dengan nilai dalam semangat kemerdekaan Indonesia. Sehingga, harus ada tindakan yang tegas untuk mengatasi sekaligus mencegah persoalan intoleransi ini muncul kembali di kemudian hari.

Pertama, pemerintah baik di level daerah hingga pusat dan aparat harus tegas melawan bentuk – bentuk intoleransi yang dilakukan oleh kelompok atau ormas tertentu.

Jangan sampai lemah apalagi karena alasan kepentingan politik praktis seperti menjaga suara pemilih, justru mendukung tindakan intoleransi dan mengabaikan hak – hak masyarakat minoritas.

Bahkan ada beberapa politikus yang menggunakan cara memecah belah masyarakat dengan mengedepankan kampanye terselubung berbasis SARA. Hal – hal seperti itu tentu tidak bisa terus dibudayakan dan harus menjadi perhatian serius guna memutus rantai intoleransi.

Kedua, melalui pendidikan, lembaga sekolah terkhusus guru harus senantiasa menanamkan nilai – nilai toleransi dan persatuan. Membuka pikiran bahwa kebersamaan merupakan kunci untuk melahirkan hidup yang aman dan nyaman.

Ini merupakan sarana pencegahan sejak dini sekaligus sebagai media untuk melahirkan bibit – bibit masyarakat yang toleran di masa sekarang dan yang akan datang.

Hal di atas penting, mengingat, perilaku intoleran pada umumnya lahir dari penolakan atas ketidakpahaman dalam menyikapi perbedaaan budaya dan  agama yang diajarkan oleh lingkungan tempat tinggal bahkan dalam beberapa kasus diajarkan oleh keluarga. Ketidakpahaman ini kemudian menggiring individu untuk bersikap melebih – lebihkan diri atau kelompoknya.

Terakhir, memupuk kesadaran dalam diri sendiri. Sama halnya ketika proses integrasi perjuangan bangsa Indonesia yang dimulai dengan menumbuhkan kesadaran dalam diri, hal serupa juga perlu dilakukan ketika ingin memutus intoleransi.

Menyadari bahwa keberagaman merupakan keniscayaan dan anugrah indah dari Tuhan untuk bangsa Indonesia. Hal tersebut kemudian diwujudkan melalui peran masing – masing dimulai dari lingkungan keluarga, tempat tinggal, hingga tempat kerja, dimana semuanya senantiasa saling bersinergi bahu membahu tanpa melihat sekat agama dan suku.

Perlu juga yang namanya menghentikan kebiasaan untuk saling curiga terhadap yang berbeda keyakinan di lingkungan keluarga maupun tempat tinggal.

Komitmen menjaga persatuan dan sikap toleran merupakan modal penting untuk terus menjaga semangat kemerdekaan Republik Indonesia. Persatuan adalah sarana menuju kemajuan, sikap toleran adalah wadah untuk merawat perdamaian.

Oleh karena itu, mari dengan kesadaran dan kesungguhan bersama, wujudkan asa Indonesia merdeka dari intoleransi, Indonesia yang maju atas asas persatuan, Indonesia yang hebat karena saling melindungi antara satu dan yang lain.

*Penulis adalah Kr. Bagas Romualdi. Guru di SMA Kolese De Britto Yogyakarta.

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top