Bung Karno, Israel, dan Presiden Jokowi | Pranusa.ID

Bung Karno, Israel, dan Presiden Jokowi


Penulis adalah Thom Sembiring
Direktur Eksekutif Gerakan Jangkar Nusantara, Mahasiswa Program Studi Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Universitas Indonesia.

PRANUSA.ID– Ada istilah anggur baru di kantung baru. Kalau anggur baru dimasukkan di kantung lama, maka koyaklah kantung dan tumpahlah anggur itu.

Perumpamaan Yahudi berusia ribuan tahun ini, cocok menggambarkan politik diplomasi Indonesia terhadap Palestina di era Bung Karno dan Presiden Jokowi di tengah isu sepakbola.

Ketika Bung Karno pada 1958 menolak tanding lawan timnas Israel dalam penyisihan Piala Dunia, situasi Palestina berbeda sama sekali. Negara itu bahkan belum memproklamasikan diri meski orang-orang Yahudi pendukung Zionisme sudah duluan memproklamasikan berdirinya negara Israel.

Orang banyak bilang faktanya Palestina sudah ada lama. Ya betul, namun bukan dalam bentuk negara merdeka sebagaimana kriteria PBB. Palestina setelah lepas dari kekuasaan Turki Utsmani pada 1917, masuk dalam tangan Inggris dan lalu wilayah Palestina terbagi pada beberapa negara seperti Yordania dan Mesir.

Dengan situasi masa itu, wajar bila Bung Karno sampai menolak menerbitkan visa tim Israel dalam Asian Games 1962 di Indonesia. Demi bela Palestina yang dicaplok bukan karena dalih agama melainkan karena imperialisme, Indonesia sampai pakai alasan tiadanya hubungan diplomatik kedua negara.

Dicecar dan dikritik habis-habisan, Bung Karno tak peduli. Ia makin kritis pada gelaran olahraga yang mengusung sikap politis, seperti olimpiade 1964 di Tokyo yang melarang kesertaan Republik Rakyat Tiongkok hanya karena komunisme. Karena sikap kritisnya, Indonesia juga dilarang ikut serta di Olimpiade Tokyo.

Dasar Bung Karno, bukan ciut, malah ia santai dan di tengah krisis ekonomi Indonesia, ia malah menggelar GANEFO. Olimpiade tandingan yang digelar bersama negara-negara berkembang dunia. Inilah yang bikin kagum banyak tokoh dan rakyat negara-negara berkembang pada si bung besar. Meski karena kegetolannya melawan imperialisme yang akut kala itu pula, Sukarno kerap dianggap tak becus mengurus ekonomi.

Bung Karno tumbang pada tahun 1967 di tengah berbagai upaya menurunkannya yang makin menggelora setelah peristiwa Gestok 1965. Dua dekade kemudian Yasser Arafat bersama Front Pembebasan Palestina mendeklarasikan kemerdekaan negerinya yang didukung berbagai elemen termasuk kalangan Kristen di sana.

Sejak proklamasi Palestina pada 1988, berbagai dinamika terjadi. Termasuk intrik dan konflik internal antara dua faksi kekuasaan Palestina, Hamas dan Fatah, yang tak kunjung tuntas. Dengan segala upaya, Palestina telah diakui kemerdekaannya oleh 135 negara di dunia.

Betul bahwa Palestina belum sepenuhnya “merdeka” dalam perspektif PBB yang masih didominasi kekuasaannya oleh Amerika dan sekutunya yang menyokong Israel. Tapi untuk mengatakan Palestina belum merdeka, juga tidak tepat karena dengan demikian mengingkari proklamasi bangsa itu sendiri.

Hari ini jauh setelah era Bung Karno, bahkan Duta Besar Palestina untuk Indonesia sendiri, paham situasi dunia yang berubah. Maka representasi rakyat Palestina di negara ini tak soal FIFA pakai regulasinya sendiri dalam urusan olahraga.

Ini juga pandangan Presiden Jokowi yang berharap ajang Piala Dunia U-20 jadi agenda mercusuar Indonesia merebut sorotan dunia. Tujuannya tentu bukan semata untuk sepakbola Indonesia yang masih begitu-begitu saja. Ia yang sebalik arah dengan posisi Bung Karno yang kala itu fokus pada perlawanan politik imperialisme, justru memikirkan dampak agenda ini untuk memperkuat ekonomi Indonesia pascapandemi.

Salahkah Bung Karno atau Presiden Jokowi yang kelihatan berbeda soal olahraga yang melibatkan Israel? Tentu saja tidak. Mereka hanya berada pada ruang dan dimensi waktu yang berbeda. Tapi tujuannya tetap sama menjaga nama besar Indonesia di mata dunia sehingga punya daya gedor. Bung Karno memilih daya gedor politik, Presiden Jokowi berharap punya daya gedor ekonomi.

Bagaimana pun situasi Bung Karno pada tahun 1960-an membela Republik Rakyat Tiongkok yang dikucilkan dalam Olimpiade Tokyo, terlihat sama seperti FIFA mengucilkan Rusia karena Ukraina, toh cara pandang rakyat yang gila bola sekarang sudah berbeda.

Maka tepatlah ungkapan ribuan tahun di atas soal anggur dan kantung yang sesuai. Dan kini, kita tunggu kemana bola panas Piala Dunia U-20 akan menggelinding setelah timnas Israel ditolak ormas, pemda, hingga partai.

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top