Indonesia Belum Merdeka: Social Movement Institute Kenang Wiji Thukul di Tengah Kontroversi Gelar Pahlawan

YOGYAKARTA – Kontroversi pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dan Marsinah pada Hari Pahlawan, 10 November 2025, menjadi sorotan utama dalam peluncuran buku “Indonesia Belum Merdeka.”
Buku yang merupakan kumpulan esai dan puisi Wiji Thukul tersebut diluncurkan oleh Social Movement Institute (SMI) di Museum Omah Jayeng, Senin (10/11).
Acara ini secara implisit mempertanyakan status Wiji Thukul, pejuang yang hilang dan tak kunjung mendapat kejelasan, di tengah pemberian gelar pahlawan kepada Marsinah yang “bersanding dengan pembunuhnya sendiri.”
Diskusi peluncuran buku tersebut menghadirkan tiga pemantik kunci: Wahyu Soesilo (adik kandung Wiji Thukul), Wilson Obrigados (sahabat Wiji Thukul, eks aktivis PRD), dan Ellsa Tiara (aktivis Kamisan Jogja).
Ketiganya berbagi pengalaman mengenai semangat rela berkorban dan keberanian Wiji Thukul melawan tirani kekuasaan Orde Baru.
Puisi Sakral: Kemerdekaan Itu Nasi, di Makan Jadi Tai
Wahyu Soesilo mengungkap fakta yang jarang diketahui publik, bahwa keahlian Wiji Thukul dalam merangkai kata tak lepas dari pengalamannya sebagai jurnalis.
“Keahlian Wiji Thukul dalam merangkai kata saat menciptakan puisi didapatkan ketika Wiji bekerja selama enam bulan di tahun 1988 sebagai koresponden di beberapa media cetak di kota Solo,” ungkap Wahyu.
Pernyataan serupa diperkuat oleh Wilson Obrigados, yang mengenang konsistensi Wiji sebagai aktivis PRD (Partai Rakyat Demokratik).
Wilson menekankan bahwa tidak semua aktivis PRD dapat sekonsisten Wiji, banyak yang ditangkap dan kini “tetap berdamai dengan birokrat.”
Wilson mengutip salah satu puisi Wiji Thukul yang paling mengena: “Kemerdekaan Itu Nasi, di Makan Jadi Tai.”
Menurut Wilson, puisi itu mengisyaratkan bahwa hingga saat ini Indonesia belum merdeka seutuhnya, terbukti dari tingginya tingkat demonstrasi dan kekerasan yang masih terus terjadi.
Sementara itu, Ellsa Tiara dari generasi muda menambahkan bahwa Wiji Thukul adalah inspirasinya untuk terus memperjuangkan keadilan.
Diskusi yang dipandu moderator “Bung Melky” ini ditutup dengan jargon yang disambut pekikan peserta: “Pahlawan Rakyat, Wiji Thukul. Wiji Thukul, Pahlawan Rakyat.”
Melalui kegiatan ini, para peserta menegaskan bahwa yang terpenting adalah nilai-nilai perjuangan dan inspirasi dari pendahulu, bukan sekadar gelar.
“Biarlah Soeharto menjadi pahlawan bagi Presiden Prabowo saat ini, namun bagi kami Wiji Thukul menjadi pahlawan di hati rakyat Indonesia,” pungkas peserta diskusi.
Acara ini ditutup dengan pembagian 75 buku kumpulan esai dan puisi Wiji Thukul secara gratis kepada peserta yang hadir.
Laporan: Angga Riyon | Editor: Kristoforus




