Kemelut Kekuasaan: Belajar dari Kisah Salome hingga Hitler | Pranusa.ID

Kemelut Kekuasaan: Belajar dari Kisah Salome hingga Hitler


Thom Sembiring
Direktur Eksekutif Gerakan Jangkar Nusantara.

PRANUSA.ID– Suatu kali seorang raja berulang tahun. Pada pesta kemuliaannya, putri tiri yang adalah anak dari istri barunya, menari dengan penuh pesona.

Karena begitu gembira, ia menjanjikan pemenuhan apapun permintaan si putri tiri. Si putri tiri pun lalu bertanya pada ibunya, ask a friend. Tanya apa yang harus diminta?

Ibunya yang punya dendam pada seorang tukang kritik yang mengingatkan pernikahan memalukannya dengan raja, lalu berpikir. Ia mau membunuh orang itu yang berani mengkritiknya karena ia menikahi abang iparnya yang adalah seorang raja.

Akhirnya si ibu pun minta anaknya meminta pada raja, kepala si tukang kritik. Raja yang mendengar permintaan itu kaget. Sebab meski ia sudah memenjarakan si tukang kritik, toh ia sadar orang itu tidak keliru dan dipercaya banyak orang sebagai orang benar.

Kepalang berjanji, dengan bersedih, si Raja memenuhi permintaan anak tiri yang dibisiki ibunya itu. Ia memerintahkan algojo mengeksekusi si tukang kritik. Sejarah kekristenan mengenal orang yang dipenggal kepalanya itu bernama Yohanes Pembabtis.

Ia dikenal kritis pada pelanggaran moral dan etika raja Herodes yang meninggalkan istrinya, lalu dengan perasaan berkuasa mengambil istri adiknya sendiri yang dikenal sebagai Herodias. Sementara anak tiri yang polos dan terlihat mempesona di panggung istana dengan tariannya adalah Salome.

Bisikan seorang ibu yang mendendam, menyeret Herodes pada dosa yang lebih besar. Membuatnya mesti melawan nuraninya sendiri yang sadar kalau Yohanes Pembabtis adalah orang benar.

Jangan sepelekan suara satu orang, apalagi suara berpengaruh. Satu orang hebat pun bisa jatuh dan tersesat karena merasa hebat.

Ini kisah ribuan tahun lalu. Tapi dalam sejarah dunia, kisah serupa banyak terjadi. Khususnya pada negara monarki dengan sistem dinasti. Kelaliman terjadi akibat kekuasaan tak terkendali. Itu sebabnya sejarah lalu mencatat lahirnya demokrasi untuk mencegah kekuasaan yang membahayakan orang-orang kecil.

Dalam demokrasi, salah satu elemen kunci agar sistemnya memberi dampak bagi lebih banyak orang adalah dengan pembatasan kekuasaan. Itu sebabnya demi tegaknya demokrasi, di Indonesia suatu kali pernah terjadi reformasi yang diwarnai peristiwa-peristiwa keji dan berdarah. Mulai dari perkosaan massal, kerusuhan, hingga penculikan dan penembakan sembarangan.

Penguasa dalam negara demokrasi yang coba mengotak atik aturan demi berkuasa lagi, juga ceritanya banyak. Demokrasi, sebagaimana sistem lain, bukanlah tanpa kelemahan. Negara demokrasi dengan rakyat yang punya kesadaran naif, mudah diprovokasi dan disesatkan.

Sejarah mencatat, demokrasi juga pernah melahirkan Hitler yang bisa bikin dunia makin kacau. Pasca kematian pimpinan Jerman, Paul von Hindenburg, Hitler dan partainya NAZI dapat kesempatan berkuasa. Lewat referendum pada Agustus 1934, ia memperoleh dukungan, approval rate, hingga 90 persen. Membuatnya kokoh jadi penguasa, Fuhrer.

Si Fuhrer baru lalu mengotak-atik kebijakan lawas. Membangun sentimen dengan narasi politik baru seolah Jerman mesti bangkit dan jadi negara hebat. Akibat ambisi berkuasanya, Hitler sukses membawa Jerman mencaplok Austria, lalu menyerang Cekoslovakia, hingga akhirnya merangsek masuk wilayah Polandia. Perilaku agresifnya melahirkan tindakan yang memicu Perang Dunia II.

Menurut Kompas.com (2022), lebih dari 60 juta jiwa di sekitar 50 negara jadi korban akibat ambisi kuasa seorang agresif bernama Hitler yang dapat dukungan rakyat Jerman mula-mula. Hari ini, segala yang berbau Hitler dan NAZI seperti aib di negara panzer itu.

Kita mesti banyak membaca dan belajar. Apalagi menyangkut politik kekuasaan.

Herodias, Salome dan tariannya yang memikat, hingga Hitler yang dipandang pendukungnya hebat, sejatinya hanya satu pribadi. Tapi satu orang yang tersesat dalam rimba kekuasaan, bisa membahayakan tak cuma sebuah kerajaan atau negara, tapi begitu banyak orang bahkan dunia.

Hati-hati dengan kekuasaan.

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top