Isu Bangkitnya PKI, Bukti Kita Tidak Benar – Benar Belajar dari Sejarah | Pranusa.ID

Isu Bangkitnya PKI, Bukti Kita Tidak Benar – Benar Belajar dari Sejarah


Ilustrasi : Okezone

PENULIS : KRISTOFORUS BAGAS ROMUALDI*

OPINI- Seorang filsuf kenamaan asal Jerman, George Wilhelm Fried rich Hegel pernah mengemukakan dalam pemikirannya tentang sejarah, yakni “Inilah yang diajarkan oleh sejarah dan pengalaman bahwa manusia dan pemerintah tidak pernah belajar apa pun dari sejarah atau prinsip – prinsip yang didapat darinya.”

Pemikiran Hegel tersebut kemudian kembali dirumuskan oleh negarawan Inggris Raya, Winston Churchill yang mengungkapkan “Satu – satunya hal yang kita pelajari dari sejarah adalah bahwa kita tidak benar – benar belajar darinya”. Pernyataan dari dua tokoh tersebut saat itu merupakan ungkapan kekecewaan terhadap para penguasa yang dinilai tidak mau belajar dari sejarah.

Meskipun ungkapan tersebut ditujukan oleh Hegel dan Winston kepada penguasa, namun sebenarnya juga sangat layak menjadi media pengingat dan pembelajaran bagi semua pihak. Belajar dari sejarah bukan hanya tugas penguasa, namun juga menjadi kewajiban bagi seluruh elemen masyarakat.

Dien Madjid dan Johan Wahyudhi dalam buku Ilmu Sejarah : Sebuah Pengantar yang mereka tulis mengatakan bahwa dari sejarah, kita dapat mempelajari apa saja yang memengaruhi kemajuan dan kejatuhan sebuah bangsa atau pun sebuah peradaban.

Dari semua itu, kita dapat menarik sebuah konklusi bahwa dengan mempelajari hal – hal apa saja yang terjadi di masa lalu, kita dapat membangun masa depan sebuah bangsa yang lebih humanis dan beradab.

Hanya saja, sampai hari ini, belajar dari sejarah yang benar – benar bermakna sepertinya masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi bangsa ini. Apa yang terjadi di masa lalu, utamanya peristiwa – peristiwa tragedi berdarah acap kali diabaikan karena masih ada sekelompok orang yang mengedepankan sensifitas dan nafsu politik.

Akhirnya sejarah yang semestinya menjadi sarana memanusiakan manusia di masa kini, justru berubah esensi menjadi alat untuk menyerang orang yang memiliki pandangan politik berbeda. Contoh aktual saat ini adalah begitu kencangnya isu komunisme bangkit didengungkan.

Isu yang hingga hari ini menjadi komoditas politik tersebut pun sukses membuat jagad media sosial riuh dengan perdebatan – perdebatan. Berbagai ujaran kebencian dengan menuding orang yang memiliki pandangan politik berbeda sebagai oknum PKI begitu massif terjadi.

Kebijakan – kebijakan dari elemen pemerintah yang disorot keliru atau tidak tepat pun kemudian dituding sebagai agenda terselubung dari PKI. Apa pun, hal yang dianggap berbeda dan muncul dari sosok atau kelompok yang tidak disukai kemudian dikaitkan dengan komunisme.

Permainan stigma/label seperti itu pada akhirnya juga membuat habit kritis justru bergeser ke hal – hal yang tidak berisi namun berbahaya. Hal itu juga membuktikan bahwa kita tahu sejarah tapi tidak benar – benar mempelajarinya. Karena, jika kita benar – benar belajar, kita pasti mengerti bahwa tidak layak apabila isu yang bisa memicu pertumpahan darah di negeri ini terus dihidupkan.

Kita bisa berkaca pasca Tragedi 1965, dimana atas dasar pembersihan komunisme, kemudian banyak pihak yang mengalami kekerasan hingga pembunuhan. Dari beberapa laporan, disebutkan bahwa jumlah korban saat itu menyentuh angka 500 ribu hingga 3 juta orang.

Komnas HAM menyebutkan bahwa dari tragedi tersebut, diduga setidaknya terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan dan masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat yang meliputi pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran secara paksa, perampasan kebebasan fisik, penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa. Sisi buruk lainnya, para korban sendiri banyak yang belum terbukti secara hukum sebagai simpatisan PKI.

Tentu saja hal tersebut menjadi pertanyaan reflektif bagi kita; apakah hanya karena kebencian dan kepentingan politik kemudian kita sampai hati menghidupkan isu yang bisa menyebabkan kekerasan massal kembali terjadi?

Sekali lagi, mari kita sungguh – sungguh belajar dari sejarah. Mari menjadikan peristiwa masa lalu sebagai sarana untuk memperjuangkan tegaknya nilai – nilai kemanusiaan di masa sekarang. Bukan justru menjadikannya sebagai komoditas politik yang justru menjadi ancaman pergolakan dan disintegrasi bangsa.

*) ALUMNI FKIP SEJARAH UNIVERSITAS SANATA DHARMA

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top