Menagih Janji Transformasi Pendidikan Tinggi Lewat RUU Sistem Pendidikan Nasional | Pranusa.ID

Menagih Janji Transformasi Pendidikan Tinggi Lewat RUU Sistem Pendidikan Nasional


Penulis: Jessica Cornelia Ivanny. Mahasiswa Hukum Tata Negara di Universitas Tanjungpura.

PRANUSA.ID Kebebasan akademik dan otonomi keilmuan di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Ini terutama pasca kriminalisasi terhadap Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang pada Agustus 2021 lalu berusaha mengungkap keterlibatan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam bisnis pertambangan di Papua (pengungkapan ini dilakukan dengan berbasis hasil riset) (Tempo.co, 2023). Sebelumnya, kriminalisasi juga sering dialamatkan kepada para sivitas akademika, misalnya Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar Ramsiah Tasruddin (2017) dan Dosen Statistika FMIPA Universitas Syiah Kuala Aceh Saiful Mahdi (2019). Selain kriminalisasi, represi atas kebebasan akademik juga dilakukan melalui pembubaran diskusi dan pelarangan seminar (Wiratraman, 2017). Keadaan ini mirip dengan intervensi/distorsi ala Orde Baru, yang dilaporkan United Nations Human Rights Watch turut mencakup pembatasan terhadap kegiatan ilmiah atau penyampaian pendapat.

Kriminalisasi-kriminalisasi yang tak jarang diiringi dengan serangan digital adalah potret nyata belum adanya jaminan dan perlindungan atas pelaksanaan kebebasan akademik dan otonomi keilmuan. Padahal, keduanya memiliki keterkaitan erat dengan hak asasi manusia (HAM) dan merupakan kunci esensial dalam menopang kehidupan perguruan tinggi (PT) yang sehat dan produktif (Surbakti, 2004). Hal ini karena kebebasan akademik pada dasarnya adalah kebebasan dosen dan mahasiswa pada jenjang pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh PT untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab, sementara otonomi keilmuan merupakan otonomi dosen dan mahasiswa pada suatu cabang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menemukan, mengembangkan, mengungkapkan, dan/atau mempertahankan kebenaran ilmiah menurut kaidah, metode keilmuan, dan budaya akademik (RUU Sisdiknas, 2022).

Di Indonesia, kebebasan akademik dan otonomi keilmuan diimplementasikan dalam kerangka sistem pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan diimplementasikan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Namun, kedua undang-undang a quo masih sangat terbatas untuk memberikan perlindungan hukum yang memadai kepada sivitas akademika, terutama saat mereka berhadapan dengan praktik-praktik security clearance dan digital authoritarianism (Wiratraman, 2022).

Atas dasar itu, menjadi urgen bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera memperbarui payung hukum pendidikan tinggi melalui Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang diajukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). RUU ini mengintegrasikan revisi terhadap UU Sisdiknas, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU Dikti dalam satu undang-undang yang diklaim Kemendikbudristek akan menjawab tiga permasalahan pokok dalam dunia pendidikan, yakni terkait kesenjangan pendidikan, dominasi kultur birokrasi, serta kesejahteraan dan kualitas guru (Antaranews.com, 2022). Meski dalam beberapa hal, terhadap klaim tersebut, masyarakat juga berpandangan sebaliknya, terutama saat Indra Charismiadji, pengamat pendidikan dari Vox Populi Institut, menemukan 10 problematika fundamental dalam RUU Sisdiknas (Kompas.com, 2022). Salah satunya adalah tidak komprehensifnya kajian akademis mengenai problematika pendidikan bangsa beserta solusi aktual yang ditawarkan dalam RUU Sisdiknas. Problematika ini yang kemudian penulis analisis lebih lanjut dalam relevansinya dengan konteks kebebasan akademik dan otonomi keilmuan di masa kontemporer.

Ada beberapa alasan mengapa fokus analisis dalam tulisan ini diarahkan pada kebebasan akademik dan otonomi keilmuan. Pertama, keberadaan kebebasan akademik dan otonomi keilmuan merupakan potret nyata penegakan HAM, sebagaimana diatur, dilindungi, dan dijamin dalam UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Hak-hak asasi tersebut secara garis besar meliputi hak asasi atas ekonomi, sosial, budaya, dan sipil-politik, karena jaminan atas kebebasan akademik dan otonomi keilmuan memiliki korelasi yang erat dengan pemenuhan hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak, serta hak atas kebebasan berekspresi.

Kedua, kebebasan akademik dan otonomi keilmuan sejatinya adalah hakikat esensial dari suatu pendidikan tinggi. Ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UU 24/2003 tentang Sisdiknas yang menyatakan, “Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.” Ketentuan ini kemudian diakomodir lebih jelas dan rinci dalam UU 12/2012 tentang Dikti. Dalam UU ini, kebebasan akademik dan otonomi keilmuan disebutkan secara expressive verbis dalam Pasal 8, 9, 13 ayat (3), serta sanksi administratif dalam Pasal 92 ayat (1) dan (2) apabila tidak melaksanakan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di PT. Dengan demikian, tanpa keberadaan kebebasan akademik dan otonomi keilmuan, mustahil suatu PT mampu menjalankan fungsi dan perannya secara maksimal melalui Tridharma yang ditetapkan dalam statuta sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 58 UU 12/2012.

Ketiga, kebebasan akademik dan otonomi keilmuan dibutuhkan untuk mendorong transformasi pendidikan tinggi dalam rangka mencapai tujuan Indonesia emas 2045. Transformasi adalah suatu proses penciptaan suatu hal yang baru hasil dari ilmu pengetahuan dan teknologi (Salim, 2002). Sementara itu, pendidikan merupakan sarana humanisasi melalui produksi kesadaran yang mengembalikan manusia pada hakikat kemanusiaannya (Rinawati, 2015). Dalam konteks pendidikan tinggi, kebebasan akademik dan otonomi keilmuan mengembalikan hakikat manusia untuk secara merdeka berpikir—yang dalam proses meragu dan menemukan kebenaran itu, manusia dituntut untuk memanfaatkan teknologi sesuai perkembangan zaman. Sehingga melalui pelaksanaan kebebasan akademik dan otonomi keilmuan, transformasi pendidikan tinggi dapat turut diakselerasi.

Transformasi pendidikan tinggi ini penting apabila negara serius ingin merealisasikan cita-citanya sebagai Indonesia emas pada tahun 2045. Rumusan cita-cita Indonesia emas sendiri didasarkan pada tujuan bernegara dalam Pembukaan UUD 1945, visi-misi-arah pembangunan nasional dalam RPJPN 2005-2025, serta “Lima Arahan Presiden” dalam RPJMN 2020-2024 yang salah satunya memuat soal “Pembangunan Sumber Daya Manusia”. Arahan ini selanjutnya dijadikan pedoman dalam penyusunan rencana strategis (Renstra) Kemendikbudristek 2020-2024. Dalam Renstra ini, Kemendikbudristek menempatkan pendidikan tinggi sebagai sesuatu yang urgent untuk diakselerasi transformasinya. Ini terlihat jelas manakala Kemendikbudristek memprioritaskan penyelesaian revisi UU Sisdiknas, UU Dikti, dan UU Guru dan Dosen serta penyelarasannya dalam satu RUU Sisdiknas sebelum berakhirnya tahun 2022.

Meski akhirnya, draf RUU Sisdiknas sejak ditolak masuk dalam Prolegnas Prioritas Perubahan 2022, juga tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2023 dan 2024. Ini menandakan Renstra 2020-2024 tidak akan terealisasi secara sempurna. Jika Kemendikbudristek nantinya tetap berkomitmen untuk membenahi sistem pendidikan melalui RUU Sisdiknas, maka langkah ini baru dapat direalisasikan saat Prolegnas Prioritas 2025 atau saat Kemendikbudristek membuat renstra baru untuk periode 2025-2029 sembari menunggu diberlakukannya RUU RPJPN 2025-2045 yang kini sudah masuk dalam prolegnas prioritas 2024 dan dokumen RPJMN 2025-2029. Ada baiknya, sisa waktu setahun di periode 2020-2024 ini digunakan Kemendikbudristek untuk melakukan kajian secara teliti dan matang terhadap RUU Sisdiknas, juga membuka ruang meaningful participation bagi masyarakat.

RUU Sisdiknas sendiri pada dasarnya diinisiasi Kemendikbudristek untuk menyelaraskan ketentuan dalam UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, dan UU Dikti, serta menyesuaikannya dengan tuntutan perkembangan zaman. Sejauh ini, berdasarkan naskah akademik terakhir, Kemendikbudristek berhasil mengidentifikasi 29 permasalahan aktual dimana salah satunya berkaitan dengan transformasi pendidikan tinggi dalam konteks kebebasan akademik dan otonomi keilmuan: bahwa akselerasi transformasi pendidikan tinggi tidak mungkin terjadi jika PT tidak memiliki otonomi pengelolaan. Untuk itu, RUU Sisdiknas didorong untuk menciptakan perubahan fundamental terkait otonomi penyelenggaraan PT Negeri (lihat Pasal 40 ayat (3), Pasal 41, dan Pasal 141) dan PT Swasta (lihat Pasal 45); menghapus ketentuan Pasal 65 ayat (1) UU Dikti yang mengatur pemberian otonomi pengelolaan PT secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri; dan menyelaraskan pengaturan mengenai sanksi administratif dan ketentuan pidana antara tiga undang-undang a quo, misalnya perbedaan sanksi antara Pasal 70 UU Sisdiknas, Pasal 28 dan 90 UU Dikti, serta Pasal 77 dan 78 UU Guru dan Dosen. Ketentuan mengenai sanksi kemudian diintegrasikan dalam dua bab khusus RUU Sisdiknas, yakni pada Bab XIII tentang Sanksi Administratif dan Bab XIV tentang Ketentuan Pidana.

Meski secara substansi sudah cukup baik, namun demi penyempurnaan RUU Sisdiknas, ada beberapa catatan yang perlu penulis sampaikan. Pertama, RUU Sisdiknas harus membuka redefinisi atau ruang interpretasi yang lebih luas terhadap kegiatan apa saja yang tergolong sebagai kebebasan akademik. Ini penting karena akan berkorelasi dengan bagaimana sanksi-sanksi dalam Bab XIII dan Bab XIV diterapkan pada kasus-kasus pelanggaran kebebasan akademik. Dalam hal ini, Kemendikbudristek dapat meninjau 11 model pelanggaran yang ditemukan oleh Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), beberapa antaranya meliputi: serangan digital; represi terhadap aksi mahasiswa; pemidanaan kesaksian ahli dosen; transaksi gelap dalam penulisan jurnal; penundukan akademisi untuk melegitimasi proyek strategis nasional dan kebenaran pemerintah (KaltimPost.id, 2023).

Kedua, sasaran ketentuan sanksi dalam RUU Sisdiknas hanya berfokus pada PT sebagai pelaku pelanggaran. Padahal, jika melihat realita saat ini, pemerintah dan aparat hukum justru menjadi pihak yang paling sering menyalahgunakan kekuasaan untuk mendistorsi kebebasan akademik dan otonomi keilmuan. Dalil-dalil kriminalisasi yang sering digunakan adalah pengaturan kebebasan berekspresi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di ranah dunia digital. Berkaitan dengan ini, ada dua langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Pertama, perluasan subjek hukum pelanggar kebebasan akademik dalam RUU Sisdiknas. Kedua, akomodasi/integrasi ketentuan sanksi dalam KUHP, UU ITE, dan peraturan perundang-undangan terkait sebagai ketersediaan mekanisme pertanggungjawaban pelanggaran dalam RUU Sisdiknas.

Apabila catatan-catatan untuk menyempurnakan substansi mengenai kebebasan akademik dan otonomi keilmuan ini dipertimbangkan secara matang saat RUU Sisdiknas dikaji ulang dan diperbaiki, maka tentu dapat menjadi sebuah terobosan hukum yang progresif dari pemangku kebijakan untuk mentransformasi pendidikan tinggi di Indonesia. Harapannya, transformasi ini dapat membawa Indonesia selangkah lebih dekat dalam mencapai tujuan Indonesia emas 2045. Tinggal menunggu seberapa kuat political will dari pemerintah dan DPR (khususnya yang akan terpilih lewat Pemilu 2024 mendatang) untuk merampungkan naskah RUU Sisdiknas dalam waktu setahun ini sehingga siap masuk prolegnas 2025 dan disahkan menjadi undang-undang. Dan, menjadi tugas seluruh elemen sipil untuk berpartisipasi secara bermakna dalam setiap tahapan pembentukannya dan untuk mengawasi quo vadis RUU Sisdiknas tersebut. (*)

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top