Menelaah Kembali Pesan Gus Dur Soal Hubungan Diplomatik dengan Israel
KOLOM/PRANUSA.ID– Sebenarnya, terkait dengan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel, argumen Gus Dur sulit dibantah. Mustahil Indonesia bisa ikut terlibat aktif dalam perdamaian Timur Tengah, terutama Israel dan Palestina, jika Indonesia tak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
Bagaimana mungkin Indonesia bisa berdiri sebagai mediator, jika Indonesia sedari awal telah memihak dan menutup diri terhadap salah satu pihak. Dan bagaimana mungkin perdamaian diinisiasi, jika komunikasi tidak diintensifkan. Dan bagaimana mungkin komunikasi intensif bisa dibangun, jika hubungan diplomatik tidak dibuka.
Begitulah kira-kira argumen logis Gus Dur saat di masa lalu menggagas keinginan membuka hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel, selain soal pertimbangan dari George Soros, salah satu kambing hitam krisis Asia 1997, yang adalah orang Yahudi.
Jika Indonesia ingin terlibat aktif dalam proses perdamaian, bahkan menjadi salah satu inisiatornya, maka Indonesia harus mempunyai hubungan diplomatik dengan keduanya, sehingga Indonesia bisa mendapat insight yang adil atas kedua pihak, yang bisa dijadikan landasan untuk membangun mutual understanding di antara keduanya.
Artinya, terlepas dari Indonesia setuju atau tidak setuju dengan salah satu pihak, tidak berarti Indonesia harus menutup hubungan diplomasi dengan salah satunya. Justru dengan cara menutup hubungan dengan Israel itu, Indonesia akan kehilangan peran untuk terlibat lebih aktif dalam proses perdamaian kedua negara. Dan setelah Indonesia menolak logika Gus Dur tersebut, justru kini Maroko memakainya.
Maroko memang melakukan aksi take and give dengan Israel dan Amerika, di mana kedua negara mengakui kedaulatan Maroko atas daerah bersengketa Western Sahara, lalu Maroko bersedia membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Tapi menariknya, Maroko tidak pernah menarik komitmennya atas Palestina. Sebagaimana berulang kali dinyatakan, Maroko tetap berkomitmen atas kedaulatan Palestina. Bagi Maroko, normalisasi hubungan diplomasi dengan Israel tidak berarti menafikan perjuangan Palestina, tapi justru menjadi langkah yang paling masuk akal untuk menyuarakan aspirasi kemerdekaan Palestina kepada Israel dan Amerika. Sejatinya, langkah Maroko inilah yang dimaksud oleh Gus Dur 20 tahun lalu, yang sampai hari ini ternyata masih belum dipahami oleh Indonesia.
Pertanyaan sederhananya, apa yang telah dilakukan oleh Indonesia untuk membantu Palestina selama manafikan kemungkinan hubungan diplomatik dengan Israel? Jawabannya, selain donasi-donasi sukarelawan, hanya sebatas menutup diri dari hubungan diplomasi dengan Israel, yang juga berarti Indonesia kehilangan peran untuk menjembatani kedua pihak yang bersengketa karena Indonesia memutus tali silahturahmi dengan salah satunya. Hanya sebatas itu.
Sementara, niatan Gus Dur sangat jelas. Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Sangat masuk akal bagi Indonesia untuk terlibat aktif dalam inisiatif-inisiatif perdamaian di Timur Tengah, sebagai bentuk solidaritas.
Tapi itu tak akan pernah bisa dilakukan jika Indonesia memilih menutup diri terhadap salah satu pihak. Karena itulah Indonesia pun tak punya peran di sana, sampai hari ini.
Sebenarnya logika yang sama juga dipakai oleh UEA, Bahrain, dan Sudan. Hanya saja, faktor Iran yang sangat berpengaruh terhadap Hamas, membuat UEA dan Bahrain, termasuk Saudi Arabia, enggan berbicara terbuka soal Palestina, selain klaim sejarah Palestina yang juga tidak terlalu kuat.
Jika masih memungkinkan dan masih ada opsi untuk membuat Palestina lebih berdaulat, selama Palestina juga bersedia mengikuti prasyarat dari negara- negara Arab yang memilih berkawan dengan Israel, maka saya cukup yakin, Saudi dan UEA juga akan menunjukkan komitmen mereka terhadap Palestina.
Masalahnya, Hamas memilih jalur kebencian yang tak ternegosiasikan. Hamas memilih jalur peperangan, bukan jalur diplomasi. Israel bukan tak bersedia menerima logika diplomasi Land for Peace sebagaimana diamanatkan Arab Initiative 2002. Tahun 2005, Israel mengosongkan jalur Gaza. Sekitar 100 ribu warga Isreal dipaksa keluar.
Tapi apa yang terjadi? Jalur Gaza dijadikan oleh Hamas sebagai titik-titik peluncuran misil yang diarahkan kepada Israel. Atas pengalaman tersebut, kini Israel membayangkan bagaimana jika itu terjadi di Westbank(Tepi Barat)? Otomatis Westbank akan berubah menjadi ladang peluncur misil Hamas, yang bisa menjangkau seluruh wilayah Israel.
Jadi saya kira, logika dasar Gus Dur dan preseden dari Maroko layak menjadi pertimbangan Indonesia. Selain temtunya berbagai keuntungan ekonomi, pertahanan, ataupun teknologi yang bisa didapat Indonesia dari Israel dan Amerika, normalisasi hubungan dengan Israel memberi ruang yang lebih besar kepada Indonesia untuk mengambil peran intermediasi perdamaian di Timur Tengah, khususnya antara Israel dan Palestina.
Sangat tidak mungkin untuk ikut menginiasi perdamaian di sana, berteman saja Indonesia tak bersedia. Jika Saudi, UEA, Bahrain, Sudan, dan Maroko yang suni saja bersedia melakukan normalisasi diplomatik dengan Israel, padahal semuanya pernah terlibat aktif dalam Arab Initiative 18 tahun lalu, lantas masihkah Indonesia menganggap ide Gus Dur dan preseden dari Maroko sebagai sebuah kemustahilan yang irasional?
Penulis: Dr Jannus TH Siahaan
(Pengamat Pertahanan dan Geopolitik)