Perjanjian Paris dan Peta Jalan Indonesia
Penulis adalah Yohanes Tola. Mahasiswa Program Studi Teknik Sistem Energi di Institut Teknologi Yogyakarta dan Ketua PMKRI Yogyakarta St. Thomas Aquinas.
KOLOM– Ancaman pemanasan iklim dunia nampaknya menjadi atensi dari berbagai negara di belahan dunia sejak sepuluh tahun terakhir ini. Kenaikan suhu bumi setiap tahunya mendorong berbagai negara untuk berpikir kolaboratif dalam menghadapi ancaman besar yang berpotensi merubah tatanan kehidupan seluruh mahluk hidup.
Bagaimana tidak, Badan Meteorologi Britania Raya (Met Office) memprediksi ada peluang sekitar 50 persen pemanasan global meningkat di atas 1,5 derajat Celsius dalam lima tahun ke depan.
Prediksi kenaikan suhu ini tentunya harus menjadi perhatian bagi semua negara di dunia untuk segera memikirkan jalan Bersama dalam mempersiapkan pencegahan kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius sebagaimana yang telah diprediksi para ilmuan Met Office.
Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi. Fenomena ini dipicu oleh kegiatan manusia, terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan fosil dan kegiatan alih guna lahan.
Jika mencoba melihat kembali korelasi kenaikan suhu dengan perilaku masyarakat dunia terhadap upaya mencegah pemanasan gelobal, penulis melihat ada yang perlu dibenahi dan dikritisi mengenai ketimpangan masyarakat dunia dalam menerapkan perilaku green society terhadap harapan bersama dalam menangai naiknya suhu bumi.
Sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca. Hal ini tentu diharapkan menjadi fenomena penyebab pemanasan global yang dapat dipahami secara kolektif oleh masyarakat maupun negara sebagai perumus peta jalan kebijakan ekonomi hijau atau Green Economy.
Pemanasan global yang terjadi menimbulkan berbagai dampak diseluruh belahan dunia yang mendesak negara-negara untuk segera merumuskan cita cita kolektif menekan kenaikan suhu bumi yang terus menimbulkan ketakutan terlebih lagi diiringi dengan hasil penelitian berbagai lembaga peneliti internasional dengan hasil yang memperihatinkan.
Latar belakang ini keliatanya begitu cepat menciptakan pergerakan negara-negara dunia untuk membicarakan tantangan bersama ini. Pada 2015, seluruh pimpinan negara berkumpul dalam sebuah konferensi bergengsi, bernama Konferensi COP 21 Paris. Konferensi ini berada di bawah naungan Dewan UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Dalam konferensi ini, perhatian utama tertuju pada kondisi iklim dunia yang dikhawatirkan akan semakin memburuk.
Melalui Konferensi COP 21 Paris, seluruh pimpinan negara berdiskusi dan bernegosiasi, guna membentuk kesepakatan untuk menjalankan misi pengurangan emisi gas, demi memerangi perubahan iklim. Hingga saat ini kesepakat pertemuan berbagai pimpinan negara ini disebut sebagai Paris Agrement atau Perjanjian Paris.
Perjanjian internasional ini mulai ditandatangani berbagai negara, sejak April 2016 hingga April 2017 tiap negara terbuka untuk saling mendukung dan memberi fasilitas yang dibutuhkan, demi kelancaran program kerja Paris Agreement.
Bantuan finansial oleh negara maju kepada negara terbelakang, transfer teknologi yang lebih efektif dan efisien untuk mengurangi intensitas emisi gas rumah kaca, peningkatan kapasitas (capacity building) di sejumlah negara berkembang. Perjaian paris juga menghasilkan beberapa kesepakatan atau komitmen negara-negara di dunia mengenai rencana kolektif penekanan kenaikan suhu bumi.
Gerakan yang dibangun dalam perjanjian paris secara moral sungguh diapresiasi sebagai bentuk relevansi dan pertanggungjawaban bersama atas situasi ekologi yang mengalami kerusakan dimana-mana.
Saat ini sepertinya kita hanya perlu memastikan perjanjian itu lahir sebagai narasi-narasi konkret melalui kebijakan dan pola pembangunan pemerintah atau negara yang memberi keseriusan pada pengembangan teknologi hijau atau lebih khusus dalam pengembangan pemenuhan listrik melalui Energi Baru Terbarukan atau EBT.
Komitmen Indonesia sebagai salah satu negara yang terlibat dan berpatrisispasi aktif dalam lahirnya Perjajian Paris rasa rasanya perlu diperiksa kembali hari ini setelah ide atau gagasan bersama negara-negara didunia ini lahir tujuh tahun lalu.
Peta Jalan Indonesia
Setelah kesepakatn Paris Agrement (PA) terjadi, Indonesia rasa rasa nya mulai menujukan langkah kebijakanya dalam usaha penurunan pemanasan suhu global melalui pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT). Pola dan komitmen Indonesia perlu memperhatikan komitmen negara negara dunia yang dituangkan dalam Paris Agrement terkhusunya rencana besar untuk mewujudkan Net Zero Emition (NZE) pada tahun 2060. Berikut ini empat kesepakatan yang perlu diketahui dari Paris Agrement (PA) :
- Berupaya membatasi kenaikan suhu global sampai di angka minimum 1,5º Celcius, dan di bawah 2º Celcius untuk tingkat praindustri.
- Mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca dan aktivitas serupa, guna meminimalkan emisi gas serta mencapai target emisi net zero atau nol bersih.
- Seluruh negara wajib memiliki dan menetapkan target pengurangan emisinya. Target ini akan ditinjau tiap lima tahun sekali, agar meningkatkan ambisi pengentasan perubahan iklim.
- Negara maju membantu negara miskin dalam pendanaan atau pembiayaan iklim, mendukung implementasi energi terbarukan yang lebih efektif, serta beradaptasi dengan perubahan iklim.
Indonesia memiliki potesi Sumber Daya Alam (SDA) yang cukup memberi jaminan dalam menunjukan komitmen serius terhadap perwujutan Paris Agrement secara konkret. Energi matahari, air, angin, biomasa, panas bumi dan sumber energi lainya telah menunjukan jaminan yang dapat dikembangkan dalam menekan pemanasan global disektor energi baru terbarukan. Setelah kesepakatan Paris Agreement (PA) terjadi melalui negara negara peneken-nya, Indonesia sendiri mulai menunjukan sikap dan rencana pembangunan negara dalam rangka menekan pemanasan global.
Panel antara pemerintah tentang perbahan iklim atau IPCC mencatat selama kurun waktu 15 tahun yaitu sejak 1990 hingga 2005 telah terjadi peningkatan suhu diseluruh bagian bumi sebesar 0,15 sampai 0,3 derajat celcius, dari hal tersebut IPCC memprediksi bahwa suhu bumi akan meninkat sampai 4,2 derajat celcius hingga tahun 2050 atau 2070. Situasi ini tentu menantang berbagai negara peneken Paris Agrement (PA) untuk menunjukan komitmen bersama dalam merumuskan kebijakan masing-masing negara secara terintegrasi.
Dalam beberapa tahun terakhir masyarakat disuguhi pemberitaan kerja kerja negara dalam menjalankan Paris Agreement. Salah satunya melalui upaya meratifikasi perjanjian ini di New York Amerika Serikat pada 22 April 2016.
Pemerintah pun menempuh strategi upaya menekan emisi melalui pembentukan regulasi yang diarahkan pada pengaturan gas emisi karbondioksida melalui Undang-Undang (UU) nomor 16 tahun 2016 tentang ratifikasi Perjajian Paris.
Hal ini menjadi salah satu komitmen yang dipilih Indonesia menuju arah pembangunan yang rendah karbon dan berketahanan iklim serta memperioritaskan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Komitmen inilah juga yang melatarbelakangi lahirnya dokumen National Determined Contibution (NDC) yang telah disampaikan kepada konfesi kerangka kerja perubahan iklim PBB pada November 2016.
Dalam NDC tersebut, Indonesia menargetkan akan mengurangi emisisnya sebesar 29 hingga 41 persen pada tahun 2030. 29 persen dengan skenario tanpa persyaratan atau dengan upaya sendiri dan sampai degan 41 persen apabila dengan bantuan negara lain atau internasional.
Dalam NDC ini pemerintah menjelaskan upaya menurunkan gas rumah kaca sebanyak 29 persen, akan dilakukan dari aspek kehutanan sebanyak 17,2 persen, sektor energi 11 persen, sektor pertanian 0,32 persen, sektor industri 0,10 persen dan sektor limbah sebanyak 0,30 persen. Jumlah ini jika dihitung-hitung setara dengan 843 juta ton CO2e.
Dari data tersebut, pemerintah sepertinya harus mengakui bahwa sektor yang paling besar untuk menyumbang gas emisi adalah sektor energi. Dominasi pemenuhan sektor energi di Indonesia dipenuhi oleh energi fosil yang tidak ramah lingkungan.
Fenomena ini tentu menjadi realitas yang tidak dapat dipungkiri. Sebagai upaya membangun narasi konret dari Paris Agreement, pemerintah perlu mulai melakukan pembatasan penghasil karbon oleh industri dan memperjelas peta jalan pembangunan Energi Baru Terbarukan di Indonesia.
Energi Baru Terbarukan bagi penulis menjadi jalan yang menjanjikan untuk ditempuh dengan serius oleh negara dengan melihat potensi ketersediaan sumber daya yang dimiliki. Namun, harus diakui bahwa ketersediaan sumber daya ini tentu tidak selalu menjadi jaminan keberhasilan pemerintah mengembangkan EBT disatu sisi. Disisi yang berbeda kita melihat jalan lain yang perlu ditempuh untuk pengembangan EBT.
Pemerintah memiliki keterbatasan dalam memperoleh teknologi EBT yang mumpuni, sejauh ini teknologi pengembangan EBT dihasilkan dari tranfer teknologi negara negara maju sebagai bentuk kesepakatan Paris pin empat dinarasikan secara konkret oleh negara negara maju peneken.
Ketika merumuskan peta jalan, rasa-rasanya negara perlu membenahi banyak sektor dan disinergikan pada relevansi berbagai sektor tersebut dalam membantu mewujudkan semangat bersama yang telah dibangun ini. Negara perlu melihat dengan jeli hambatan selama ini dalam pengembangan EBT.
Misalnya belum mampunya negara menghasilkn teknolgi EBT sendiri. Ini menjadi peran dunia pendidikan yang setiap saat selalu perlu dikoreksi berbagai pihak sebagai bentuk kecintaan pada kehidupan bersama yang lebih baik atau bonum commune. Pendidikan dapat menjadi lengkah pertama negara dalam memulai peta jalan atau kerangka pengembangan EBT.
Melalui pengembangan sumber daya manusia yang baik, negara dapat secara perlahan mewujudkan kerangka kerangka pembangunan EBT secara pasti. Pendidikan yang maju didorong nntuk memechkan masalah dan realitas sosial kenegaraan yang membutuhkan inovasi dari ruang ilmiah yang nyata.
Perguruan tinggi perlu diperhatikan dengan serius prospek keilmiahanya dalam menciptakan inovasi EBT dan didukung pekerjaannya melalui upaya pendanaan dan legitimasi karya yang diakui serta dipasarkan agar mendorong daya saing lembaga pendidikan untuk menciptakan inovasi baru. Jika dilihat kembali, kita tentu terlampau terlambat dalam memulai narasi dan pengembangan EBT.
Negara negara maju seperti Jerman, Belanda, Jepang, dan Cina telah memulai gerakan ini melalui kebijakan negara sejak 30 tahun terakhir. Keadaan ini tentu menjadirealitas bagaimana pendidikan dinegara-negara tersebut bekerja.
Pendidikan mengarahkan masyarakat untuk melihat masa depan dan memperediksi kebutuhan bersama sebagai bentuk diskusi ilmiah yang dibiasakan.
Keadaan pendidikan seperti itu, menciptakan kepribadian masyarakat yang terbuka pada kemungkinan dan menganggap itu sebagai upaya memulai perencanaan pembangunan dimasa depan. Indonesia hari ini perlu memperhatikan realitas dan pengalaman ini sebagai pembelajaran berarti untuk menentukan arahnya sendiri dengan melihat bagaimana negara-negara yang telah lebih dahulu memulai pengembangan EBT.
Walaupun kita semua tentu tahu, bahwa dunia pendidikan yang maju tentu bukan jaminan utama agar peta jalan ini berhasil, namun upaya pengembangan EBT ini perlu dimulai dengan membangun kesadaran kolektif masyarakat yang besar dan itu dapat ditempuh sedini mugkin melalui upaya lembaga pendidikan memperkenalkan EBT sebagai energi masa depan anak muda saat ini.
Dalam tataran kehudupan sosial kenegaraan, pendidikan harus mampu meciptakan kesadaran kritis masyarakat, yaitu keadaan masyarakat yang sadar pada ambatan dan tantangan dan berupaya terlibat dalam memecahkan realitas tersebut.
Di Indonesia dominasi kesadaran yang tercipta dari ruang kelas adalah kesaran naif, kesadaran dimana masyarakat atau kaum terdidik menyadari hambatan dan masalah namun memilih diam dan befikir ada pihak lain yang akan menyelesakan hal tersebut, dalam hal ini adalah Negara. Kesadaran menjadi output dari pendidikan, sebagaimana disampaikan Paulo Frere dalam bukunya “Pendidikan Kaum Tertindas”.
Upaya penyadaran dirasa akan efektif ketika juga diiringi pemerintah dengan penambahan pendanaan pada sekolah-sekolah dalam mempelajari EBT, misalanya praktek pengenalan EBT dapat dilakukan secara merata bagi seluruh Lembaga Pendidikan.
Jika kita mencoba belajar dari sampel negara lain memulai peta jalan pengembangan ebt, Negara-negara maju seperti Jepang, Belanda, Jerman memulai rencana besar mereka dengan masuk dalam dunia pendidikan atau ruang kelas, mata kuliah ataupun mata pelajaran baru tentang EBT dikhususkan pada semua sekolah. Ini tentu tentang bagaimana negara menentukan kurikulum yang tepat dan berguna untuk mempersiapkan anak didik pada tantangan nya.
Jepang dalam 15 tahun tergolong berhasil melakukan proyek ini, sama halnya dengan Jerman dan Belanda yang mampu menciptakan masyarakat yang tertib dalam menerapkan tindakan ekologis dan cita masyarakat yang seragam dalam menanggapi pemanasan global yang hari ini terjadi.
Pengembangan Pendidikan yang efektif juga mengarahkan partisipatif masyarakat dalam terlibat dan menciptakan sinkronisasi kesepahaman dengan negara dalam melihat pemanasan global sebagai tantangan bersama yang perlu dijawab dengan tindakan yang konkret.
Target pembangunan pemerintah melalui presentase yang telah dirumuskan sebelumnya tentu tidak menjadi jaminan proyek atau peta jalan ini berhasil jika tidak diiringi dengan partispasi dan kesadaran masyarakat Indonesia.
Terakhir, bangsa kita memiliki segalanya untuk mengembangkan EBT. Potensi alam, biaya, bantuan negara maju, masyarakat, dan elemen lain yang mendukung adalah sebuah realitas anugrah yang dimiliki Indonesia hari ini. Soal rencana besar yang telah dimulai hari ini oleh pemerintah tentu perlu diapresiasi dan dikritisi masyarakat sebagai bentuk memulai kesadaran kritis perilaku ekologis yang pastisipatif.
Selanjutnya, terget besar menuju tahun 2060 tentang Net Zero Emition (NZE) perlu dimulai dengan memperkuat kerangka dan elemen negara yang mampu membantu menciptakan Indonesia hijau dimasa depan. Partisipasi masyarakat segala sektor dan pemerintah melalui political will diharapkan berorientasi pada politik ekonomi hujau yang nyata melalui kebijakan dan pendanaan yang tepat serta melihat masyarakat sebagai subyek pembangunan yang harus dilibatkan.
Editor: Jessica C.