Paralelisme Sepak Bola dan Politik di Indonesia | Pranusa.ID

Paralelisme Sepak Bola dan Politik di Indonesia


Penulis adalah Christian A. D. Rettob.
*Sekretaris Jenderal PP PMKRI Periode 2022-2024, Aktivis dan Mahasiswa.

KOLOM– Indonesia hari-hari ini diselimuti ragam komentar dan polemik akibat penolakan kedatangan Timnas Israel dalam ajang Piala Dunia U20 hingga bertajuk sanksi FIFA.

Seharusnya Sepak Bola tidak perlu dihubungkan dengan politik. Masuknya politik dinilai telah menodai olahraga yang kita cintai dan seharusnya kita dapat menikmati sepakbola tanpa keterlibatan unsur politik.

Sepak Bola dan Politik, hakikatnya tidak jauh berbeda. Keduanya sama-sama merupakan game, pertarungan, laga, kompetisi yang merujuk pada kekuasaan dan mempunyai nilai intrinsik yang tinggi. Dalam kontestasi politik, kursi yang menjadi target sama halnya Sepak Bola yang mana trofi yang menjadi sasaran utama kompetisi.

Kemudian siapa saja yang tidak matang menentukan formasi, strategi dan taktik maka tentu akan gameover dan dinyatakan kalah

Hingga hari ini tidak banyak yang menyadari bahwa sepak bola dan politik mempunyai banyak persamaan, di samping perbedaan prinsip parsialnya. Keduanya sama-sama mengejar sesuatu yang memiliki nilai tinggi, bahkan nilai tertinggi dalam kehidupan manusia; Supreme good, istilah yang dipakai Aristoteles seperti dikutip oleh Durant.

Bola dan Politik, sesungguhnya sama-sama bertujuan menggapai kebahagiaan (happiness), karena semua insan berusaha keras mencapai kebahagiaan, kekayaan, popularitas hingga kejayaan dalam kehidupannya untuk berkuasa.

Dalam hal sepak bola, yang dikejar adalah gol sebanyak mungkin untuk memenangkan laga serta gol secara personal kepentingan popularitas, kekayaan. Lantas baimana dengan politik?. Setiap kegiatan politik selalu mekat pada kedudukan dan kekuasaan.

Konsep ini sengaja diurai lewat opini seagai wujud responsifitas publik dalam menengok perkembangan Sepak Bola Indonesia. Dengan mempunyai hubungan kausalitas yang cukup empiris.

Eksperimen Profesor Tjipta Lesmana dalam bukunya yang berjudul “Bola Politik dan Politik Bola; Ke mana Arah Tendangannya ?”(2013) relatif telah menghubungkan variabel Sepak Bola dan Politik dan secara empiris cukup menceritakan banyak hal yang terjadi dalam sepak bola; Strategi, Pemain Bintang Glamor/Selebritas, Gaji Besar/Biaya Besar, Mafia, Skandal dan beberapa unsur lainnya.

Jika politik haus akan kekuasaan, maka sepak bola profesional haus akan prestise, fame, uang yang tentu berujung kekuasaan dalam arti luas.

Dari perspektif tujuan (goal) sepak bola dan politik, pada akhirnya uang dan kekuasaan yang dikejar oleh kedua permainan ini. Memang dalam politik kemampuan “mengatur” dan “memerintah” kehidupan orang banyak merupakan kenikmatan setelah kita meraih kekuasaan.

Kemenangan laga politik dan laga sepak bola sama-sama merupakan hasil kerja kolektif (Team).

Dukungan semua pemangku kepentingan (stakeholders) menjadi syarat penting bagi keberhasilan sebuah kelompok (Team). Uang dan betul-betul menjadi hal utama dalam dunia sepak bola ptrofesional dan tidak berbeda dengan tabiat para politisi pada umumnya yakni memperkaya diri.

Kemudian dari sisi loyalitasnya tidak bisa dipegang karena sewaktu-waktu bisa “lompat pagar”. Untuk politisi, kalau ada partai politik yang mau mengakomodasi dan siap memberikan kekuasaan, maka mereka siap hengkang. Sedangkan untuk pemain bola profesional, kalau ada Team lain yang bersedia membayar mahar transfer dengan nilai tinggi maka persetan dengan team saat itu.

Sepak bola sebagai Alat Politik?

Timbul pertanyaan mendasar. Apakah Sepak bola dapat digunakan sebagai alat politik ?. Pada tingkat negara, pertandingan sepak bola dapat digunakan untuk menunjukkan kekuatan dan keunggulan dari suatu negara. Contohnya adalah ketika Brasil memenangkan Piala Dunia pada tahun 1970, yang membantu memperkuat identitas nasional Brasil dan memperkuat posisi politiknya di Amerika Selatan.

Selain itu, dalam beberapa kasus, pertandingan sepak bola dapat digunakan untuk memperkuat hubungan antara negara-negara yang memiliki hubungan politik yang rumit. Sebagai contoh, pertandingan persahabatan antara Israel dan Maroko pada tahun 2021 membantu memperbaiki hubungan antara dua negara tersebut. Di sisi lain, sepak bola juga dapat memperlihatkan ketidaksetaraan antara negara-negara.

Negara-negara yang kaya dan maju memiliki lebih banyak sumber daya untuk mengembangkan pemain sepak bola berkualitas tinggi dan memperkuat liga domestik mereka. Sementara negara-negara yang kurang berkembang mungkin kesulitan untuk menciptakan team sepak bola yang kompetitif. Dalam hal ini, sepak bola dapat menjadi simbol dari ketidaksetaraan ekonomi global.

Selain itu, sepak bola dapat menjadi wadah bagi isu-isu sosial dan politik. Banyak pemain sepak bola terkenal telah menggunakan platform mereka untuk mengadvokasi isu-isu sosial seperti HAM, rasisme, dan kesetaraan gender.

Sebagai contoh, Marcus Rashford, pemain tim nasional Inggris, menggunakan pengaruhnya untuk memperjuangkan hak makanan gratis bagi anak-anak miskin di Inggris.

Gerakan Black Lives Matter juga berdampak pada dunia sepak bola, dengan banyak pemain dan tim sepak bola mengambil tindakan untuk mendukung gerakan ini.

Namun, sepak bola juga dapat menjadi sumber konflik dan ketegangan politik. Banyak persaingan sepak bola memiliki sejarah panjang konflik antara tim dan pendukungnya. Ada banyak contoh di mana pertandingan sepak bola menyebabkan kekerasan antara pendukung tim yang berbeda.

Kekerasan antara pendukung sepak bola telah menjadi masalah sosial yang serius di beberapa negara. Di Indonesia konflik antar pendukung (suporter) kerap terjadi dan itu adalah hal yang lazim. Salah satu contoh ialah konflik yang menelan korban secara masal dengan akumulasi kematian sangat signifikan di Kanjuruhan Malang.

Sepak bola memiliki korelasi yang kompleks dengan politik global. Olahraga paling populer di dunia dapat digunakan sebagai alat politik untuk menunjukkan kekuatan nasional dan memperkuat hubungan antara negara. Namun, sepak bola juga dapat memperlihatkan ketidaksetaraan ekonomi global, menjadi wadah bagi isu-isu sosial dan politik, dan menjadi sumber konflik dan ketegangan politik.

Oleh karena itu, peran penting dari pemerintah dan organisasi sepak bola internasional dalam memastikan bahwa sepak bola digunakan sebagai alat positif untuk mempromosikan perdamaian dan persatuan, serta mendukung isu-isu sosial yang penting.

Dalam hal ini, FIFA sebagai organisasi sepak bola internasional harus memainkan peran yang lebih aktif dan bertanggung jawab dalam mempromosikan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan melalui sepak bola.

Selain itu, penting bagi pemerintah dan organisasi sepak bola di setiap negara untuk memastikan bahwa sepak bola dipandang sebagai kekuatan positif dalam masyarakat dan digunakan untuk mendukung keberlangsungan kehidupan sosial dan politik.

Dalam kesimpulannya, sepak bola adalah olahraga paling populer di dunia yang memiliki korelasi yang kompleks dengan politik global.

Sanksi FIFA dan Quo Vadis Sepak Bola Indonesia

Sengaja diselipkan konsep ini sebagai sub bagian dalam penulisan ini untuk merespon problematika sepak bola Indonesia akhir-akhir ini. Sejak kemarin hingga tulisan ini dilayangkan, publik masih diperhadapkan dengan berbagai polemik sepak bola di Indonesia.

Pasca penolakan kedatangan Timnas Israel hingga sanksi FIFA atas batalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U20 Tahun 2023. FIFA telah mencabut status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20, menyusul rilis resmi pada Rabu (29/3/2023).

Kini sejumlah sanksi berpotensi ikut mengancam Indonesia, sebagai imbas pembatalan tuan rumah Piala Dunia U20 yang sedianya akan digelar pada bulan Mei-Juni mendatang.

Pengumuman terkait batalnya Indonesia sebagai tuan rumah seolah menjadi hantaman bola salju, yang memang telah bergulir deras jelang penyelenggaraan event dimaksud. Keikutsertaan Timnas Israel U20 menjadi momok utama pro-kontra ajang Piala Dunia U20 di Indonesia.

Gelombang penolakan tersebut tidak sejalan dengan agenda FIFA, yang memang sedari awal mengijinkan Israel berpartisipasi dalam seluruh turnamen di bawah FIFA.

Sementara Indonesia yang ditunjuk sebagai tuan rumah mengemban amanat dari sisi penyelenggaraan, dengan menerima seluruh peserta putaran final tanpa kecuali. Di sisi lain, status Indonesia sebagai tuan rumah diawali dari proses bidding atau mengajukan diri pada 2019 silam.

Pasca menang biding pada 2019, dengan mengungguli Brasil dan Peru. Status tuan rumah Indonesia lantas dicabut oleh FIFA, terkait kondisi yang dianggap tidak memungkinkan jelang penyelenggaraan.

Penolakan Timnas Israel salah satunya dinyatakan Gubernur Bali, Wayan Koster bahkan telah bersurat kepada pemerintah pusat, terkait sikap penolakan kehadiran Israel sebagai salah satu peserta, melalui surat bernomor T.00.426/11470/SEKRET per-14 Maret 2023.

Penolakan itu jelas menjadi salah satu faktor krusial, mengingat Bali bersama lima Provinsi lain; Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, dan Jawa Timur yang mana ditunjuk sebagai tuan rumah. Lebih lagi, Bali juga menjadi tuan rumah drawing.

“Berkenaan dengan keikutsertaaan Timnas Israel, Kami menyampaikan sudut pandang bahwa kebijakan politik Israel terhadap Palestina yang tidak sesuai dengan kebijakan politik Pemerintahan Republik Indonesia, yang sampai saat ini masih menjadi masalah serius politik regional,” Tulis penggalan surat Gubernur Provinsi Bali kepada Menteri Pemuda dan Olahraga RI.

“Sehubungan dengan hal tersebut, kami mohon agar Bapak Menteri mengambil kebijaakan mengambil kebijakan untuk melarang Tim dari Negara Israel ikut bertanding di Provinsi Bali,” tegas Wayan Koster melalui suratnya sembari Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang beberapa hari kemudian juga menyatakan pernyataan serupa.

Ganjar secara terang-terangan menyampaikan sejumlah alasan terkait penolakan tersebut, terutama ihwal sikap politik Indonesia-Israel. (Sumber: amp. Tirto. id )

Penolakan kedua pimpinan daerah ini bukan menjadi pertama kali, sebab sebelumnya riuh rendah penolakan juga terdengar dari berbagai kalangan dan ormas. FIFA kemudian merespon dengan membatalkan drawing 31 Maret 2023, yang diumumkan per-Minggu (26/3/2023) lalu.

Terkait hal itu, FIFA juga secara tersirat merespon kembali dengan menghapus lagu sountrack Piala Dunia U20 2023 berjudul “Glorious” melalui laman resmi mereka pada 28 Maret 2023.

Adapun sebelum FIFA bersikap soal penolakan, pemerintah Indonesia melalui sejumlah kementrian juga telah mencoba berupaya menanggani masalah. Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia menegaskan bahwa keikutsertaan Israel tak mempengaruhi posisi Indonesia di belakang Palestina.

Pemerintah sendiri juga berupaya menyiapkan teknis penyelenggaraan Piala Dunia U20, termasuk melalui jalur politik, diplomatik, dan kemananan sebagai antisipasi pro-kontra kehadiran Israel.

“Posisi pemerintah Indonesia terkait isu palestina tidak akan pernah berubah dan sangat konsisten. Indonesia termasuk dari sedikit negara yang terus konsisten mendukung perjuangan rakyat Palestina,” seperti yang dikatakan Teuku Faizasyah selaku juru bicara Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia.

Demikian pula dengan sikap Palestina. Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zubair Al-Shun menegaskan bahwa dengan kemungkinan Indonesia menerima Israel sebagai tuan rumah, tak melunturkan kepercayaan pemerintah Palestina terhadap Indonesia.

Tentu ini adalah upaya memupus keraguan di antara banyak pihak, dan ingin menegaskan bahwa berdasarkan apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan, saya meyakini bahwa dukungan Indonesia terhadap isu Palestina tidak pernah berubah.

Mengacu pada hubungan bilateral sejak dahulu hingga kini antara Israel dan Palestina. Kedua negara ini tidak punya hubungan diplomatik resmi, tetapi memiliki hubungan yang meliputi hubungan dagang, pariwisata, dan keamanan.

Pada tahun 2012, Indonesia sepakat menaikkan status hubungannya dengan Israel dan membuka konsulat kehormatan di Ramallah yang dipimpin seorang diplomat sederajat duta besar. Diplomat tersebut juga bertugas secara tidak resmi sebagai perwakilan Indonesia saat membina hubungan dengan Israel.

Namun, karena permasalahan politik di kedua belah pihak, perjanjian ini tidak pernah terwujud dan sampai sekarang tidak ada delegatus Indonesia di Israel atau otoritas Palestina

Penolakan terhadap timnas israel ini, bukan suatu hal yang baru sebab, dari era Presiden Soekarno juga terjadi hal yang sama terhadap timnas Israel. Sejak melaju kencang dikualifikasi piala dunia swedia 1958 dengan menyingkirkan China dan tinggal selangkah lagi maka Timnas Indonesia akan lolos ke piala dunia untuk pertama kalinya sebagai sebuah negara yang merdeka.

Tetapi Indonesia menghentikan langkah terakhir tersebut, karena menolak berhadapan dengan timnas Israel yg jg lolos sebagai juara dari zona Asia barat. Peluang untuk meraih tiket menuju swedia pun lenyap. Bahkan sempat terselip dalam lembaran sejarah Indonesia bahwa terjadi insiden besar yang melibatkan kedua negara ini.

Penolakan delegasi Israel dalam ajang Asian Games 1962 di Jakarta itu benar terjadi sejak silam. Atas desakan negara-negara Arab dan Republik Rakyat Tiongkok pemerintah Indonesia menolak menerbitkan visa untuk Israel karena Soekarno mempunyai komitmen akan posisi politik Indonesia terhadap Palestina.

Pembatalan drawing grup Piala Dunia U20 2023 menjadikan posisi duduk Indonesia sebagai tuan rumah kian kritis. Harapan kalangan pecinta sepak bola Tanah Air yang sempat mencuat usai keterangan Presiden dan Ketum PSSI, akhirnya benar-benar kandas.

FIFA resmi mencabut status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20 2023 usai pertemuan FIFA dengan PSSI. “FIFA telah memutuskan, karena keadaan saat ini untuk mengapus Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20.

Tuan rumah baru akan diumumkan sesegera mungkin, dengan tanggal turnamen saat ini tetap tidak berubah,” tulis FIFA melalui laman resminya, Rabu pukul 22.00 WIB.

Erick Thohir telah berupaya maksimal untuk tetap mempertahankan posisi Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20. semua pihak legowo dan semua pecinta sepak bola tetap menegakkan kepala atas keputusan berat FIFA ini.

Sebab saya berpendirian, karena itu, ini saatnya kita harus membuktikan kepada FIFA untuk bekerja lebih keras melakukan transformasi sepak bola menuju sepak bola bersih dan berprestasi.

Potensi sanksi terhadap PSSI juga dapat diputuskan di kemudian hari dan tentu tidak terlalu berdampak terhadap hubungan FIFA dengan PSSI dan Pemerintah RI.

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top