Omnibus Law, DPD RI, Komite I DPD RI, Teras Narang, RUU Cipta Kerja, Pancasila | Pranusa.ID

Bencana Nasional Covid-19, DPD RI Minta Pembahasan RUU Cipta Kerja Ditunda


Teras Narang, Ketua Komite I DPD RI dalam sebuah kunjungan ke desa di Kalimantan Tengah (Dok. Istimewa)

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) menyampaikan pandangan terkait pembahasan RUU Cipta Kerja yang mesti melibatkan lembaga tersebut sebagaimana amanat konstitusi. Merujuk pada Pasal 22D UUD NRI 1945 ayat (2), pembahasan sebuah RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah mesti melibatkan peran DPD RI sebagai lembaga perwakilan daerah. Dengan kata lain, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah mesti memperhatikan serta mengikutsertakan DPD RI dalam pembahasan RUU yang banyak dikritik publik karena dibahas dalam masa pandemi.

Situasi ini juga direspon oleh DPD RI dengan menyatakan keberatan terhadap pembahasan RUU tentang Cipta Kerja yang berlangsung di tengah pandemi Covid-19. Apalagi pandemi ini telah ditetapkan sebagai bencana nasional dan membuat banyak pihak harus mengikuti Pembatasan Sosial Skala Besar. DPD RI pun mengusulkan agar pembahasan RUU tersebut ditunda hingga masa darurat kesehatan ini dinyatakan berakhir dan pandemi tak lagi menjadi momok masyarakat.

“Komite I DPD RI berkeberatan terhadap dilakukannya pembahasan RUU tentang Cipta Kerja disaat pandemi Covid-19, yang oleh Pemerintah sudah dinyatakan sebagai Bencana Nasional” dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 dan mengusulkan agar Pembahasan RUU tentang Cipta Kerja ditunda terlebih dahulu sampai masa pandemi covid 19 dinyatakan telah berakhir oleh Pemerintah” ujar Teras Narang, Ketua Komite I DPD RI melalui sikap resmi pimpinan Komite I DPD RI, Kamis (16/04) di Jakarta.

Teras pun menyampaikan bahwa secara resemi pihaknya telah menyarankan agar pada saat pandemi Covid-19 berlangsung, Pemerintah bersama DPR RI dan DPD RI membuka kesempatan pada publik untuk terlibat memberi masukan. Publik dinilai perlu untuk mengetahui dan memberi masukan terhadap muatan RUU tersebut. Sehingga dalam kondisi saat ini dimana pemerintah mendorong social dan physical distancing, aspirasi publik dapat diserap secara daring.

Pihak DPD RI sendiri dalam sikapnya memberi catatan tersendiri terhadap RUU ini yang dinilai justeru berkebalikan dari semangat awal untuk melakukan penyederahanaan aturan. Sebab peraturan pelaksana yang diamanatkan pembentukannya oleh RUU tentang Cipta Kerja sendiri tidak sensitif atas kondisi regulasi di Indonesia yang dianggap hyper regulasi. Setidaknya dari RUU itu akan ada 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden dan 4 Peraturan Daerah yang diperlukan.

Belum lagi substansi pengaturan RUU tentang Cipta Kerja dinilai bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dalam RUU itu terdapat 2 (dua) pasal yang disebut bertentangan dengan ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan dan Putusan MK.

Misalnya dalam Pasal 170 yang menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah dapat digunakan untuk mengubah UU. Hal tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2011 yang menyebut PP memiliki kedudukan lebih rendah dibanding UU, sehingga PP tidak bisa membatalkan/mengubah UU. Selain itu, dalam Pasal 166 disebutkan bahwa Peraturan Presiden bisa membatalkan Perda. Hal itu bertentangan dengan Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 terkait pengujian beberapa pasal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan pengujian/pembatalan Perda menjadi kewenangan konstitusional Mahkamah Agung;

Lebih jauh Komite I DPD RI mencermati bahwa RUU tentang Cipta Kerja banyak memuat frasa yang melakukan perubahan dan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. RUU tentang Cipta Kerja ini disebut akan menimbulkan terjadinya sentralisasi pemerintahan/perijinan yang berpotensi merugikan daerah serta berdampak pada hilangnya semangat otonomi daerah.

“Padahal otonomi daerah merupakan tuntutan reformasi 1998 yang berakibat terjadinya amandemen UUD NRI tahun 1945” jelasnya.

Hal ini juga disebut berpotensi menghilangkan makna Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam Pasal 91 pada ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda, mengingat berbagai kewenangan banyak ditarik kembali ke pemerintah pusat.

Mengingat hal ini memiliki dampak luas pada kepentingan publik, pihaknya pun mendorong agar publik memberikan masukan serta alternatif pandangan terhadap muatan RUU tersebut. DPD RI disebut siap menerima berbagai aspirasi publik terutama menyangkut masukan yang berkaitan dengan kepentingan daerah secara nasional.

Sebelumnya pada Selasa (14/4/2020), Badan Legislasi DPR mengundang para menteri yang telah diberi tugas Presiden Joko Widodo untuk membahas RUU Cipta Kerja dalam rapat kerja di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta. Ada 11 menteri yang ditunjuk Jokowi membahas RUU Cipta Kerja, yaitu Menko Perekonomian, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kemudian, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri ESDM, Menteri Koperasi dan UKM, Menteri PUPR, dan Menteri Pertanian.

Rapat yang disiarkan langsung  TV Parlemen melalui akun youtube DPR RI itu pun dibanjiri kritik dari warganet yang menyaksikan siaran langsung rapat itu. Banyak netizen mengkritik langkah itu yang dinilai tidak sensitif terhadap situasi pandemi.

Aryanto Nugroho, salah satu netizen yang turut memberi komentar memberikan pandangan menarik. Ia menyebut bahwa pernyataan Airlangga Hartarto, Menko Perekonomian yang menyatakan pemerintah tidak akan mengubah draft RUU Cipta Kerja dalam rapat itu, mengindikasikan pasal-pasal bermasalah seperti pasal 170 bukan salah ketik.

“Pemerintah tidak akan mengubah Draft RUU Cipta Kerja dan masih bertahan dengan draft kemarin. Artinya, pasal-pasal bermasalah seperti pasal 170, bukan salah ketik”  tulis Aryanto.

Pihaknya pun menyebut DPR dan Pemerintah tidak mendengarkan suara masyarakat yang menolak pembahasan RUU Cipta Kerja di masa Pandemik Covid-19 ini. Lebih jauh ini menuding DPR lebih memprioritaskan Omnibus Law daripada korban Covid-19. Sementara netizen lain pun menggemakan hastag #TolakOmnibusLaw.

Sementara Wakil Ketua Baleg Achmad Baidowi yang diminta pandangannya setelah rapat tersebut, menolak anggapan bahwa DPR tak sensitif dengan situasi pandemi. Ia menyebut DPR RI memiliki banyak fungsi dan soal pandemi sudah disikapi elemen DPR lainnya. Sementara pihaknya mengaku DPR juga harus tetap menjalankan fungsi legislasi.

Ia pun berpandangan bahwa pro dan kontra suatu hal yang wajar dalam demokrasi. Pihaknya pun mengaku bahwa DPR selalu memantau berbagai pandangan dan komentar netizen di media sosial.

Bagaimana menurut para pembaca? Berikan tanggapan dan aspirasi anda pada kolom komentar.

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top