Ditentang Buruh, Pemerintah Klaim UU Ciptaker Memberikan Manfaat bagi Masyarakat
PRANUSA.ID- DPR dan pemerintah akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di tengah gelombang protes buruh dan aktivis lingkungan, Senin (5/10/2020). Rapat paripurna pengesahan ini maju tiga hari dari rencana dengan alasan meningkatnya kasus Covid-19 di DPR.
Pasca pengesahan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyebutkan bahwa ada manfaat yang dapat dirasakan setelah berlakunya UU Cipta Kerja, antara lain bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berupa dukungan dalam bentuk kemudahan dan kepastian
dalam proses perizinan melalui OSS (Online Single Submission).
Disebutkan juga bahwa ada kemudahan dalam
mendaftarkan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), kemudahan dalam mendirikan Perseroan Terbuka (PT) perseorangan, hingga kemudahan dengan persyaratan yang mudah dan juga biaya yang
murah, sehingga ada kepastian legalitas bagi pelaku usaha UMKM.
RUU CK juga diklaim menawarkan kemudahan dalam pendirian koperasi, dengan menetapkan minimal jumlah pendirian hanya oleh 9 (sembilan) orang.
Koperasi juga diberikan dasar hukum yang kuat
untuk melaksanakan prinsip usaha syariah, selain juga kemudahan dalam pemanfaatan teknologi. Untuk Sertifikasi Halal, RUU CK menjamin percepatan dan kepastian dalam proses sertifikasi halal.
Bagi pelaku UMK, pemerintah meyakinkan akan diberikan kemudahan tambahan berupa biaya sertifikasi yang ditanggung
pemerintah. Lembaga Pemeriksa Halal juga diperluas lingkupnya, kini dapat dilakukan oleh Ormas Islam dan Perguruan Tinggi Negeri.
Terkait keberadaan perkebunan masyarakat yang terlanjur masuk kawasan hutan, pemerintah menyebutkan bahwa masyarakat akan dapat memiliki kepastian pemanfaatan atas keterlanjuran lahan dalam kawasan hutan, di mana untuk lahan masyarakat yang berada di kawasan konservasi, masyarakat tetap dapat memanfaatkan hasil perkebunan dengan pengawasan dari pemerintah.
Bagi nelayan juga diatur penyederhanaan perizinan berusaha untuk kapal perikanan.
Kini perizinan hanya cukup satu pintu melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Kementerian Perhubungan disebut tetap memberikan dukungan melalui standar keselamatan. RUU CK juga akan mempercepat pembangunan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), yang dikelola khusus oleh Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3).
Percepatan reformasi agraria dan redistribusi tanah juga akan dilakukan oleh Bank Tanah.
Terkait peningkatan perlindungan kepada Pekerja, melalui RUU CK, pemerintah menjamin adanya kepastian dalam pemberian pesangon, di mana dalam pemberian pesangon pemerintah menerapkan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dengan tidak mengurangi manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP), serta tidak menambah beban iuran dari pekerja atau pengusaha.
“Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) merupakan bentuk perlindungan terhadap Pekerja yang terkena PHK, dengan manfaat berupa cash-benefit, upskilling dan upgrading, serta akses ke pasar tenaga kerja, sehingga bisa mendapatkan pekerjaan baru atau bisa membuka usaha”, ujar Menko Airlangga.
Mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pemerintah mengatakan juga tetap mengikuti persyaratan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Selain itu, RUU Cipta Kerja tidak menghilangkan hak cuti haid dan cuti hamil yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Sedangkan bagi Pelaku Usaha, RUU Cipta Kerja diklaim pemerintah akan memberi manfaat yang mencakup kemudahan dan kepastian dalam mendapatkan perizinan berusaha dengan penerapan perizinan berbasis risiko (risk based approach) dan penerapan standar.
Selain itu, dengan adanya pemberian
hak dan perlindungan pekerja/ buruh yang lebih baik, akan mampu meningkatkan daya saing dan produktivitas usaha.
Pemerintah juga meyakinkan bahwa pelaku usaha juga mendapatkan insentif dan kemudahan, baik dalam bentuk insentif fiskal maupun kemudahan dan kepastian pelayanan dalam rangka investasi, di samping adanya bidang kegiatan usaha yang lebih luas untuk dapat dimasuki investasi, dengan mengacu kepada bidang usaha yang diprioritaskan Pemerintah (Daftar Prioritas Investasi).
Jaminan perlindungan hukum yang cukup kuat juga dikatakan pemerintah kini dimiliki pelaku usaha, dengan penerapan ultimum remedium yang berkaitan dengan sanksi, dimana pelanggaran administrasi hanya
dikenakan sanksi administrasi, sedangkan pelanggaran yang menimbulkan akibat K3L
(Keselamatan, Keselamatan, Keamanan, dan Lingkungan) dikenakan sanksi pidana.
Menko Airlangga menambahkan, “RUU Cipta Kerja juga menegaskan peran dan fungsi Pemerintah Daerah sebagai bagian dari sistem pemerintahan, di mana kewenangan yang telah ada, tetap dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, sesuai dengan NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, sehingga akan tercipta adanya suatu standar pelayanan yang baik untuk seluruh daerah”.
RUU Cipta Kerja disebut juga mengatur dan menerapkan kebijakan satu peta (one map policy) yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dengan mengintegrasikan tata ruang darat, tata ruang pesisir dan pulau-pulau kecil, tata ruang laut, serta tata ruang kawasan terutama kawasan hutan, sehingga ada aspek kepastian hukum bagi pelaku usaha yang telah memenuhi
kesesuaian tata ruang dalam RTRW. Pemerintah Pusat bersama dengan Pemerintah Daerah akan mempercepat penetapan RDTR dalam bentuk digital.
Buruh Melawan
RUU Cipta Kerja sejak awal memang ditentang buruh karena dinilai merugikan mereka. Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos mengatakan, aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) serta Jaringan Aliansi Tingkat Provinsi-Kota akan melakukan aksi demo dan mogok kerja di berbagai daerah pada 6 sampai 8 Oktober 2020 untuk menolak pengesahan RUU Cipta Kerja.
Menurutnya keputusan aksi di tengah situasi pandemi Covid-19 ini diambil lantaran tidak adanya itikad baik dari pemerintah maupun DPR RI terkait Omnibus Law. “Wakil rakyat dan pemerintah sudah tidak lagi peka terhadap persoalan yang dihadapi rakyat. Mau tidak mau di masa pandemi, saat rakyat khawatir masalah kesehatan dan keselamatan tetapi kita dipaksakan untuk turun ke jalan. Dipaksa harus melawan karena tidak ada itikad baik,” ujarnya.
Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilhamsyah mengatakan, meski situasi pandemi ini menyulitkan untuk melakukan aksi, tetapi menurutnya sudah tak ada lagi cara lain yang bisa dilakukan untuk menghentikan pembahasan RUU sapu jagat tersebut. Karenanya ia akan tetap melakukan perlawanan dengan turun ke jalan.
“Pemogokan atau aksi perlawanan yang dilakukan gerakan rakyat itu adalah wujud dari penegasan terhadap posisi penolakan terhadap Omnibus Law,” katanya.
Terpisah, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menyayangkan keputusan DPR RI dan pemerintah mengesahkan RUU tersebut. Pasalnya Timboel menilai pembahasan terkait klaster ketenagakerjaan dalam RUU Ciptaker pun belum maksimal.
Menurutnya pemerintah dan DPR melakukan pembahasan tersebut karena kejar tayang untuk segera disahkan. Akibatnya RUU tersebut sangat merugikan pekerja karena perlindungan terhadap mereka semakin menurun. Ia juga khawatir perusahaan akan membuka seluas-luasnya sistem kontrak dan outsourcing, padahal opsi ini membuat tidak adanya kepastian kerja bagi para karyawan.
“Hak konstitusional untuk mendapatkan pekerjaan yang layak akan didegradasi oleh UU Cipta Kerja ini,” ungkapnya.
Selain itu, Timboel menilai, ada sejumlah hal yang memberatkan untuk pekerja. Yakni, aturan terkait perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT), upah minimum, proses dan kompensasi PHK, dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) diserahkan ketentuan detailnya ke Peraturan Pemerintah (PP), bukan kepada undang-undang.
Timboel berpendapat, seharusnya persoalan terkait dengan hak para pekerja merupakan ranah DPR untuk ikut memastikannya, bukan hanya menyerahkan ke pemerintah. Dalam hal ini jelas DPR mengabaikan fungsi legislasi yang dimilikinya.
“DPR mengabaikan fungsi legislasi yang seharusnya justru mereka lebih kuat, bagaimana pembahasan ini untuk mendapatkan norma undang-undang yang berkualitas,” tuturnya.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia ( KSPI) Said Iqbal menegaskan pihaknya juga menolak pengurangan nilai pesangon PHK.
Said juga mempertanyakan sumber pendanaan milik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( BPJS) Ketenagakerjaan dalam membayar upah buruh. Ia pun menilai skema pemberian pesangon oleh perusahaan dan pemerintah melalui JKP tidak masuk akal karena sumber dana yang tidak jelas.
“Dari mana BPJS mendapat sumber dananya? Dengan kata lain, nilai pesangon berkurang walaupun dengan skema baru yaitu 23 bulan upah dibayar pengusaha dan 9 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan tidak masuk akal,” katanya dalam keterangan tertulis.
(Kris/Pranusa)