Jabatan Kades Jadi 9 Tahun: Benih Otoritarian dan Korup | Pranusa.ID

Jabatan Kades Jadi 9 Tahun: Benih Otoritarian dan Korup


Aksi Demonstrasi Kades Bersatu Tuntut Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa Menjadi 9 Tahun (Foto: TV One).

PRANUSA.ID– Usulan untuk memperpanjang masa jabatan kepala desa (kades) dari 6 menjadi 9 tahun menuai polemik di kalangan masyarakat. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar mengklaim masa jabatan kepala desa (kades) yang diusulkan selama sembilan tahun akan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat desa.

Salah satunya para kades akan punya lebih banyak waktu untuk mensejahterakan warga. Selain itu, dengan kebijakan ini, pembangunan di desa dapat lebih efektif dan tidak terpengaruh oleh dinamika politik akibat pemilihan kepala desa (pilkades).

“Yang diuntungkan dengan kondisi ini adalah warga. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah warga masyarakat tidak perlu terlalu sering menghadapi suasana ketegangan yang tidak produktif. Karena yang enggak produktif enggak cuma kepala desanya tapi juga warganya,” ujar Abdul Halim dilansir dari siaran pers Kemendes PDTT, Jumat (20/1/2023).

Apakah pernyataan dari Mendes bisa menjadi alasan yang kuat? Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai, usulan tersebut harus ditolak karena dapat merusak demokrasi. Menurutnya, masa jabatan 6 tahun merupakan waktu yang sangat cukup untuk mengatasi keterbelahan sosial akibat pemilihan kepala desa.

“Ini juga waktu yang sangat lama untuk untuk memerintah desa dengan jumlah penduduk yang rata-rata hanya puluhan ribu,” kata Ubed dilansir dari Kompas.com, Jumat (19/1/2023).

Karena itu, persoalan substansinya lebih pada minimnya kemampuan leadership kepala desa dalam membangun dan mengatasi keterbelahan sosial.

Jika persoalan substansi tersebut tak diatasi, maka perpanjangan 9 tahun masa jabatan pun tidak bisa mejawab persoalan.

“Jika masalah substansinya tidak diatasi, maka kepala desa tidak akan mampu jalankan program-programnya dengan baik, termasuk tidak mampu atasi problem keterbelahan sosial itu. Jadi solusinya bukan perpanjang masa jabatan,” jelas dia.

Selain itu, Ubed juga menampik dana pilkades akan mengganggu dana pembangunan. Pasalnya, dana pilkades sudah disiapkan APBN dan dianggarkan sesuai peruntukannya.

“Angka dana pilkades itu seluruh Indonesia saya hitung totalnya tidak sampai Rp 50 triliun, itu pun pilkades tidak dilakukan serentak, masing-masing daerah berbeda-beda waktunya sehingga dananya tidak dubutuhkan dalam waktu yang sama,” kata dia.

Oleh karena itu, Ubed menganggap lemah argumen perpanjangan masa jabatan kepala desa dan justru merusak demokrasi.

Ia menuturkan, jabatan publik yang dipilih rakyat dalam demokrasi harus dipergilirkan agar terhindar dari kecenderungan otoriterian dan korup.

“Bayangkan 6 tahun saja sudah ada 686 kepala desa tersangka korupsi, apalagi 9 tahun,” kata dia.

“Selain itu, menurut Pasal 39 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan kepala desa dapat ikut pilkades selama tiga periode berturut-turut atau tidak berturut-turut. Kalau 9 tahun berarti kepala desa bisa menjabat sampai 27 tahun,” lanjutnya.

Laporan: Bagas R.

Editor: Jessica C. Ivanny

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top