Kenangan Imlek di Mata Bangsa | Pranusa.ID

Kenangan Imlek di Mata Bangsa


(Gambar: tribun)

PRANUSA.ID — Dalam rangka menyambut hari raya imlek pada 25 Januari 2020 mendatang, masyarakat beretnis Tionghoa mulai disibukkan dengan berbagai aktivitas, seperti membersihkan rumah, membeli pernak-pernik imlek, membeli pakaian baru, dan persiapan-persiapan lainnya. Bahkan, aktivitas-aktivitas tersebut sudah melekat menjadi suatu tradisi turun-temurun bagi masyarakat Tionghoa ketika hendak merayakan imlek.

Imlek sendiri sebenarnya merupakan tradisi pergantian tahun. Dengan kata lain, perayaan imlek dibagi berdasarkan musim. Dalam bahasa Tiongkok, imlek disebut Chung Ciea yang artinya adalah hari raya musim semi. Jadi, imlek merupakan tradisi lama untuk menyambut musim semi dengan penuh kemakmuran dan rezeki di tahun baru.

Ramai masyarakat Kota Pontianak tak sabar merayakan imlek. Keantusiasan mereka dapat dilihat dari berbagai bentuk persiapan yang telah dilakukan untuk memeriahkan hari raya imlek.

Dikutip dari insidepontianak.com, panitia Cap Go Meh Pontianak 2020 telah menyiapkan Naga Emas sepanjang 46 meter, miniatur tikus, kue keranjang seberat dua ton, dan 2.000 lampion. Naga emas tersebut sudah dipersiapkan untuk turut serta dalam atraksi untuk memeriahkan imlek di awal tahun 2020.

Bukan hanya masyarakat Pontianak, namun pemerintah Kota Pontianak juga mengajak masyarakat untuk turut bergabung dalam festival Cap Go Meh yang setiap tahunnya memang selalu diadakan. Sebab, agenda imlek dan Cap Go Meh memang selaras dengan program kerja Wali Kota Pontianak.

Dari sini, kebebasan bagi masyarakat Tionghoa untuk merayakan imlek dapat dikatakan lebih terjamin. Sebab, pemerintah juga mendukung penuh keberlangsungan festival tersebut.

Namun, imlek ternyata memiliki sejarah kelamnya sendiri. Pada zaman orde baru, masyarakat Tionghoa dilarang merayakan imlek secara besar-besaran di muka umum.

Hal ini dilatarbelakangi oleh ketakutan Soeharto pada kaum beretnis Tionghoa (berdasarkan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 6 Tahun 1967 yang dirilis Soeharto, Tionghoa dan Tiongkok dulu diubahnya menjadi Cina) yang menjurus pada pembelokan makna imlek sehingga esensinya menjadi sesat.

Sama seperti yang diungkap oleh Siew-Min Sai dan Chang-Yau Hoon dalam Chinese Indonesians Reassessed (2013), “Soeharto menyebut bahwa manifestasi agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina yang berpusat dari negeri leluhurnya dapat menimbulkan pengaruh psikologis, mental, dan moril yang kurang wajar terhadap warga negara Indonesia.

Sejak dikeluarkannya Supersemar 1966 yang membuat Soeharto mengambil alih kepemimpinan, perayaan imlek memang mulai surut dan semakin haram saat Soeharto melangkah lebih jauh dengan mengeluarkan Instruksi Presiden RI Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina.

Inpres tersebut membuat ruang pergerakan masyarakat Cina untuk merayakan hari imlek dengan meriah semakin terbatas. Sebab, mereka hanya diperbolehkan untuk merayakan imlek secara intern di dalam keluarga.

Aturan-aturan mendiskriminasi dan bersifat rasis yang dikeluarkan Soeharto rasa-rasanya mulai tumbuh, tertanam, dan beredar di tengah masyarakat Indonesia saat itu. Sebab, toleransi yang selalu diagung-agungkan pemerintah orde baru hanya toleransi keberagaman yang semu. Secara tak langsung, aturan-aturan tersebut hanya memperkuat kaum mayoritas dan menganaktirikan kaum minoritas.

Beralih sejenak dari Soeharto, Presiden Indonesia keempat, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengatakan bahwa kemajemukan harus bisa diterima, tanpa adanya perbedaan. Jika selama ini perbedaan hanya untuk memisahkan, maka tidak semestinya perbedaan menghentikan persatuan dan kesatuan dari Negara Republik Indonesia.

Sejak Gus Dur terpilih menjadi presiden hasil pemilihan umum pertama pada era reformasi, Gus Dur membuktikan perkataannya tentang kemajemukan dan perbedaan.

Ia menyelamatkan masyarakat Tionghoa untuk merayakan imlek secara terbuka dan bebas tanpa harus dikekang oleh aturan dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina.

Tak hanya menerbitkan keppres, Gus Dur juga mendukung masyarakat Tionghoa untuk lebih berani dalam memperjuangkan hak-hak mereka sebagai sesama rakyat Indonesia.

Sejak saat itu, perayaan imlek mulai digelar kembali dengan bebas dan rasa aman. Meskipun tindakan diskriminasi terhadap kaum minoritas nyata-nyatanya masih terjadi hingga saat ini, namun saat ini pemerintah sudah mulai menyuarakan terjadinya persatuan di tengah keberagaman.

Oleh karena itu, kita sebagai rakyat Indonesia juga harus turut mengambil bagian dalam memperjuangkan dan menghidupkan kembali semangat toleransi di tengah perbedaan. Mulailah dengan hal-hal paling sederhana, sebab tidak semestinya perbedaan menghentikan persatuan dan kesatuan dari Negara Republik Indonesia!

Penulis: Jessica Cornelia Ivanny

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top