Pakar Hukum UGM: MK Langgar UUD 1945 Jika Ubah Syarat Usia Cawapres | Pranusa.ID

Pakar Hukum UGM: MK Langgar UUD 1945 Jika Ubah Syarat Usia Cawapres


FOTO: Ilustrasi Mahkamah Konstitusi

PRANUSA.ID — Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang pengucapan putusan dari sejumlah perkara uji materiil Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait dengan batas usia minimal capres-cawapres pada Senin (16/10/2023).

Perkara batas usia ini telah mendapat sorotan dari publik. Direktur Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN) sekaligus pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril pun ikut merespons perkara tersebut.

Menurutnya, MK jelas melanggar UUD 1945 apabila melalui putusannya nanti mengubah ketentuan usia minimal capres-cawapres.

Pasalnya, ia mengatakan, MK melalui berbagai putusannl terdahulu sudah menegaskan bahwa isu konstitusionalitas syarat usia minimal bagi seseorang untuk mencalonkan diri sebagai pejabat publik termasuk kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang diserahkan sepenuhnya kewenangan itu kepada DPR dan Pemerintah.

“UUD 1945 tidak mengatur soal angka-angka atau syarat usia sebuah jabatan publik. Berbagai jenis jabatan publik di pemerintahan, persyaratan usianya diatur dalam undang-undang. Khususnya berkaitan dengan pemilihan presiden, UUD 1945 telah mengatur dalam Pasal 6 ayat (2) bahwa syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang,” kata Oce, melalui keterangan tertulis, Kamis (12/10).

Ia menjelaskan, Pasal 169 UU Pemilu saat ini telah mengatur persyaratan capres-cawapres adalah berusia paling rendah 40 tahun. Ketentuan ini, katanya, adalah peraturan delegasi dari Pasal 6 UUD 1945.

Untuk itu, Oce menilai MK melanggar prinsip open legal policy yang ditegaskan dalam berbagai putusannya jika tetap mengubah syarat usia minimal capres/cawapres atau menambahkan syarat baru, seperti ‘berpengalaman sebagai penyelenggara negara atau kepala daerah’.

“Bahkan lebih jauh, hal tersebut dapat dikatakan melanggar Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang telah memerintahkan agar syarat capres/cawapres diatur dalam UU Pemilu,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menyinggung persyaratan usia pimpinan KPK yang tertuang dalam Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022. Dalam putusan itu, ia menilai MK tidak mengubah syarat usia minimal, melainkan menambahkan syarat berpengalaman sebagai pimpinan KPK.

Sehingga MK masih konsisten dengan pendiriannya bahwa ketentuan soal syarat usia merupakan bagian dari open legal policy yang ditentukan oleh undang-undang.

“Apabila nanti MK mengubah pendiriannya dalam putusan berkaitan dengan usia minimal capres/cawapres, maka tentunya MK dapat dianggap larut dalam dinamika politik Pilpres yang akhir-akhir ini disaksikan oleh publik secara luas,” tutur Oce.

“Inkonsistensi sikap MK ini dapat menurunkan kredibilitas MK sebagai the guardian of constitution,” tambahnya.

Diketahui, perkara batas usia minimal capres-cawapres ini telah mendapat sorotan dari publik. Menko Polhukam Mahfud Md pun ikut angkat bicara ihwal permohonan uji materi tersebut.

Mahfud meminta masyarakat untuk tidak meramal hasil putusan MK dan tidak berprasangka kepada MK.

“Yang ini nggak usah meramal-ramal lah tapi berharap yang terbaik bagi negara ini,” kata Mahfud di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (12/10/2023).

Ia kemudian menyinggung ihwal rumor putusan MK soal UU Pemilu yang beberapa waktu lalu ramai dan membuat heboh masyarakat, namun ternyata putusan yang keluar berbeda dari yang diisukan.

“Ndak usah banyak prasangka juga kepada MK. Jangan-jangan nanti kita meramal lalu salah lagi kayak dulu. Ya kan? Ada yang meramal gini-gini ternyata MK-nya nggak papa, lalu salah semua ramalan, padahal rakyat sudah terlalu ribut,” tuturnya. (*)

Penulis: Severinus THD

Editor: Jessica C. Ivanny

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top