Senator DPD RI: “Dosa Kebangsaan” mengabaikan Masyarakat Hukum Adat
Pembahasan mengenai Rancangan Undang- Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) yang berlarut sejak periode pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono dinilai merugikan. Perlunya payung hukum untuk menindaklanjuti amanat konstitusi yang mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat, dinilai mestinya segera dituntaskan.
Hal ini disebut oleh Teras Narang, Senator DPD RI daerah pemilihan Kalimantan Tengah, sebagai indikasi tidak seriusnya negara dalam memberikan perlindungan bagi masyarakat hukum adat. Padahal dalam sistem sosial dan bangunan kehidupan masyarakat hukum adat itu, menurutnya Pancasila hidup dan kearifannya digali oleh Presiden Soekarno untuk dijadikan sebagai dasar negara yang menjadi sumber dari segala sumber hukum negara.
“Jangan sampai kita menyebut diri Pancasila tapi melupakan ruang sosial yang melahirkan dasar negara kita. Ini dosa kebangsaan bila mengabaikan Masyarakat Hukum Adat. Presiden Jokowi yang terpilih memimpin atas dukungan masyarakat hukum adat maupun pimpinan partai politik lewat fraksi mereka di parlemen, diharapkan memberi atensi lebih pada RUU yang mendesak ini” ujar Teras Narang yang juga merupakan Presiden Majelis Adat Dayak Nasional periode 2005-2015 ini melalui siaran pers, Sabtu (19/6/2021).
Teras menyebutkan, tidak tuntasnya RUU Masyarakat Hukum Adat ini menimbulkan tumpukan masalah atas pendekatan hukum sektoral yang selama ini dinilai merepotkan dan merugikan. Menurutnya, pendekatan baru terhadap masyarakat hukum adat yang sungguh berkeadilan mestinya bisa dilakukan dalam kerangka membangun perekonomian nasional. Gubernur Kalimantan Tengah periode 2005-2015 tersebut pun mengutip UUD 1945 Pasal 33 yang menekankan prinsip perekonomian nasional.
Teras menyebut prinsip itu antara lain kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Prinsip ini dinilai erat dengan kehidupan masyarakat hukum adat yang mestinya tidak dipersulit untuk mendapatkan hak mereka dalam terlebibat membangun perekonomian nasional.
“Jangan sampai prinsip yang mengawal kemakmuran rakyat itu diabaikan. Apalagi kalau menimbulkan kesan ketidakadilan. Hari ini, konflik antara masyarakat hukum adat dan investasi marak terjadi dan ini berbahaya bila terus berlangsung. Kehadiran UU Masyarakat Hukum Adat mendesak diperlukan” ujarnya.
Teras melanjutkan bahwa pengakuan konstitusi yang diteruskan dengan aturan terkait perlindungan lewat RUU MHA mesti jadi perhatian bersama. Parlemen dan pemerintah menurutnya jangan sampai dinilai hanya ramah pada investasi dengan produk Omnibus Law UU Cipta Kerja yang dapat lekas dituntaskan. Berbanding terbalik dengan proses penyusunan RUU MHA yang disebut sudah bertahun-tahun tak tuntas.
“Berhasilnya metode omnibus law untuk UU Cipta Kerja, mestinya malah jadi momentum baik agar parlemen dan pemerintah melakukan Langkah serupa untuk menuntaskan RUU MHA. Itulah keadilan” tandasnya.
Teras pun memahami bahwa ada kerisauan bahwa RUU MHA akan kontraproduktif dengan upaya meningkatkan investasi. Sebaliknya, Teras meminta pemangku kepentingan untuk percaya dengan konstitusi dan membuat pengaturan yang berkeadilan agar baik investasi maupun perlindungan masyarakat adat dapat berjalan beriringan. Banyak praktik di luar negeri yang disebut malah sangat Pancasilais yang bisa dijadikan rujukan menyelaraskan dua kepentingan yang berdimensi luas ini.
“Jadi harap agar RUU yang penting ini jangan hanya dijadikan alat politik pendulang suara tapi tidak diselesaikan. Apalagi bila isinya juga tidak mencerminkan aspirasi masyarakat adat yang berharap tak lagi dipersulit dengan proses yang rumit dan tidak mencerminkan semangat pelayanan publik yang baik” tandasnya.