Demokrasi Beradab dan Ruang Publik Masyarakat Civil Society | Pranusa.ID

Demokrasi Beradab dan Ruang Publik Masyarakat Civil Society


Penulis adalah Muhammad Adib Alfarisi | Mahasiswa Magister FSH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

KOLOM– Merefleksi demokrasi dan demokratisasi di Indonesia yang telah berlangsung lebih dari dua dekade sejak pengumuman reformasi pada tahun 1998.

Tonggak perubahan dan konsensus politik tentang reformasi di berbagai sektor telah menghasilkan banyak pencapaian penting.

Jika melihat keadaan, setidaknya neraca masa reformasi dengan masa sebelumnya (sistem Orde Baru), benih-benih reformasi dan demokrasi berhasil mempersatukan sumber daya bangsa untuk memasuki era baru masyarakat madani bahkan dalam batas-batas dan konteks tertentu dari negara demokrasi yang mapan.

Namun dari sederet capaian tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa penyelenggaraan negara masih memiliki beberapa agenda yang dianggap sebagai titik lemah, dengan segala komponennya dan konstruksi masyarakat sipil yang belum selesai.

Jika proses dan agenda tidak diselesaikan, keadaan ini dapat merusak pencapaian yang telah dicapai. Misalnya, sebut saja masalah kemiskinan, kasus korupsi, masalah penegakan hukum dan agenda peradilan, pembengkakan dan penebalan rasa identitas, yang mengarah pada potensi keruntuhan sosial dan rantai konflik serta kekerasan yang tak berkesudahan.

Bagian-bagian masalah seperti itu seringkali tertinggal oleh dinamika politik nasional dan lokal, sehingga menimbulkan proses yang kontraproduktif dan sangat meresahkan.

Ketidakpercayaan terhadap demokrasi, selain situasi politik yang mahal yang menghasilkan praktik demokrasi oligarki, dan sampai batas tertentu otoritarianisme romantis lama menggantikannya dan tampaknya memanipulasi wacana politik dan konstruksi politik kita. Inilah gambaran ironi realitas demokrasi dan demokratisasi yang tidak boleh dianggap remeh.

Struktural
Padahal, persoalan struktural seperti kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan terus melanda negeri ini dan menjadi penyebab rumitnya tata kelola politik dan ekonomi, hukum, dan praktik kehidupan di tingkat masyarakat.

Meskipun terus-menerus mendorong agenda pembangunan dan kebijakan sosial, itu seperti membangun “istana pasir” yakni gelombang yang tak terkendali menjungkirbalikkan bangunan dan segera runtuh.

Apalagi situasi demikian cenderung mengarah pada penerapan “pseudo-democracy”, yang dimaknai seolah-olah demokratisasi tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat.

Risiko kehilangan mata rantai sebagai sebuah bangsa karena masalah kewarganegaraan dan kesetaraan disampaikan dengan pementasan perhitungan pengambilan keputusan blok-blok politik yang dianggap tidak mengetahui nasib rakyat.

Dalam situasi ini, pentingnya memperkuat komitmen politik untuk mempromosikan keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan harus ditunjukkan.

Meskipun langkah-langkah yang diterapkan sejauh ini mengarah ke sana, namun dalam banyak kasus justru menunjukkan saling bentrok dan saling fragmentasi, yang sebenarnya tidak efektif dalam menjawab persoalan-persoalan mendasar masyarakat.

Oleh karena itu, koreksi mendasar yang bertujuan untuk memperbaiki konstruksi hubungan esensial antara kewajiban amal dan kebijakan yang baik harus mendapat bagian yang besar. Ini adalah kunci untuk memastikan bahwa setiap politik sebagai bangsa memiliki arti bagi keadilan sosial.

Instrumentalisasi dan birokratisasi prosedural yang berlebihan ditekankan tidak hanya sebagai ekspresi kontrol yang berlebihan, tetapi sebaliknya sebagai proses kepentingan dan tanggung jawab sosial yang bernilai tinggi, yaitu sebagai kebijakan yang ditujukan untuk memecahkan masalah struktural lama. dikelola oleh negara.

Artinya, dalam pengambilan keputusan strategis, baik pemerintah maupun parlemen tidak sekedar mengeluarkan peraturan, kebijakan atau tata kelola normatif, tetapi juga memantau dan memastikan bahwa kebijakan tersebut berjalan efektif dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Demokrasi yang berkembang dengan baik, berkualitas dan bertanggung jawab sesuai dengan keadilan dan kepentingan bangsa meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Ruang publik yang tercemar
Demokrasi yang bercirikan partisipasi, keterbukaan, dan kekuatan politik yang bertanggung jawab, telah menjadi konteks bagi tumbuh dan berkembangnya kebebasan, baik pada tingkat individu maupun kelompok, karena kepentingan-kepentingan dinyatakan dalam berbagai bentuknya.

Dalam kemewahan kebebasan yang terkait positif antara lain dengan perluasan dan pendalaman ruang publik, diharapkan hak asasi manusia akan terjamin sesuai dengan konstitusi dan demokrasi.

Dalam situasi demikian, membanjirnya kebebasan publik yang diusung oleh kebijakan keterbukaan dan transparansi, serta gelombang liberalisasi menjadi alasan kuat untuk mengartikulasikan kebebasan seoptimal mungkin.

Terbentuknya rasa percaya diri dan otonomi dalam memperjuangkan hak dengan menggunakan kecepatan demokratisasi tentunya sangat baik dan berlandaskan pada penghargaan terhadap keberagaman dan nilai kemanusiaan serta nilai kemasyarakatan.

Namun, realitas kebebasan yang terdistorsi justru digunakan untuk menyerang kepentingan orang lain tanpa data, nilai-nilai beradab, menjurus ke hoaks, ujaran kebencian, propaganda hitam cenderung melampaui otonominya, dengan resiko melanggar aturan demokrasi. dan budaya dalam praktek.

Ruang publik, khususnya media sosial, semakin tercemar oleh kepentingan sempit dengan efek yang semakin membayangi, persaingan untuk mendominasi keinginan yang mengabaikan kepentingan orang lain, dan Ungkapan kebencian sampai batas tertentu bisa disebut “keuntungan sebelum akal”.

Ini berarti bahwa kepentingan dan tujuan pribadi digunakan dalam berbagai cara yang merusak penalaran dan nilai-nilai demokrasi.

Penerapan aturan main, komitmen dan disiplin diri, nilai-nilai budaya, bahkan konteks peradaban yang merupakan sederet faktor penting menjelaskan demokrasi yang berkualitas atau tidak dalam praktiknya.

Membersihkan ruang publik dari polusi, kekumuhan dan distorsi bukan berarti membatasi kebebasan. Yang perlu dilakukan adalah membangun debat, dialog, debat publik, dan pendidikan demokrasi dengan menanamkan gagasan menghargai perbedaan, martabat dan kemanusiaan, toleransi untuk kebaikan, pemanfaatan alam berdasarkan nilai-nilai kebangsaan, bergerak menuju demokrasi yang beradab. Ini adalah demokrasi yang berkualitas, yang ditandai dengan ruang publik yang sehat, bebas digunakan tanpa melanggar hak orang lain.

Kebebasan Demokrasi
Momentum dua dasawarsa demokrasi mungkin bisa menjadi periode penyesuaian strategi demokratisasi. Harus kita akui bahwa energi demokrasi dan reformis kita telah tersalurkan ke dalam kerangka pembangunan kelembagaan dan instrumentasi negara.

Memang, itu sangat merusak margin operasi manuver parlementer (lembaga negara, parlemen, partai politik, dan lembaga pemilu serupa) yang terwujud dalam bentuk pengaturan kelembagaan, regulasi, tata kelola, dan keuangan.

Sementara di negara masyarakat sipil, alokasi sumber daya untuk membantu penguatan dan pemberdayaan masyarakat sipil terlalu kecil. Penekanan demokratisasi yang tidak proporsional ini berujung pada rusaknya institusi dan suprastruktur demokrasi yang semakin meluas, merasuk, dan mudah menyebar ke masyarakat dengan segala kerusakannya.

Sebagai contoh, ilustrasi sederhana adalah bahwa hubungan sosial antara orang-orang dari kelompok yang awalnya kohesif tiba-tiba mengalami eskalasi konflik dan kekerasan yang difasilitasi setelah pemilu, legislatif, presiden, dan daerah.

Kerentanan masyarakat tercabik-cabik karena politik elektoral semakin dangkal (populer) dan aktor-aktor politik dalam institusi demokrasi semakin masuk ke dalam spiral yang ketat dan tidak kompetitif.

Apalagi adanya blokade politik oligarki yang selalu menjadi akar persoalan, dikarenakan berdampak pada rencana politik para elit dan semakin mengasingkan “demokrasi”, yang ditandai dengan munculnya keputusan-keputusan yang kontraproduktif dengan kehendak rakyat.

Dalam prosesnya, dampak atau imbas dari oligarki yang berkelanjutan menciptakan ketidakpercayaan terhadap demokrasi dan pemerintahan. Demokrasi, sampai batas tertentu, dipandang tidak efektif dalam mengelola kekuasaan, bahkan berpotensi berubah dalam situasi konflik: cinta demokrasi tapi anti-politik. Itu adalah ancaman yang berbahaya.

Dalam konteks seperti itu, keseimbangan harus ditemukan. Sentralisasi politik demokrasi yang tidak semata-mata bertumpu pada bangunan kelembagaan dan superstruktur politik dan lembaga pemilu formal, tetapi harus dibarengi dengan kebutuhan pembentukan aktor-aktor publik, kependudukan, dan budaya politik yang meningkatkan partisipasi masyarakat dalam bidang pembangunan, pemberdayaan dan proses politik di semua lini akan menjadi dasar penyelarasan demokrasi dan praktik kemasyarakatan.

Melibatkan demokrasi dan kesejahteraan berarti membuka keran atau saluran keterlibatan sosial sehingga masyarakat sipil berdaya untuk memantau dan berpartisipasi dalam proses politik sehingga demokrasi menjadi lebih bermakna.

Perluasan ruang sipil sebagai subjek demokrasi memungkinkan politik sipil meluas ke realisasi demokrasi. Namun, ketika demokrasi mengalami stagnasi akibat jebakan elitisme dan oligarki serta pencemaran ekologi sosial, maka politik demokrasi yang membebaskan dengan penguatan masyarakat sipil menjadi jalan alternatif.

Politik tidak terbatas pada partai politik dan pemilu. Politik kehidupan sehari-hari menjadi medan demokratisasi di mana nilai, sikap, dan interaksi serta artikulasi kepentingan ditangani dan diwujudkan. Banyak Agenda
Menuju demokrasi yang berkualitas berarti mengaktifkan komponen-komponen demokrasi yang dilandasi oleh nilai-nilai peradaban, martabat, keadilan, kemanusiaan, dan kesejahteraan dalam penyelenggaraan kekuasaan, baik di tingkat Negara maupun di tingkat Negara, negara, dan masyarakat madani untuk mencapai cita-cita kebangsaan dan kemasyarakatan. tujuan negara.

Landasan politik yang benar, sesuai konstitusi, harus terus bekerja menuju terwujudnya keadilan, pemerataan, dan kesejahteraan bangsa. Demokrasi yang berkembang berarti memberikan makna demokrasi bagi kehidupan masyarakat yang lebih bermartabat. Hal ini tidak dapat dilakukan tanpa memberdayakan masyarakat sipil, yaitu kemampuan memanfaatkan perubahan dan kebebasannya untuk membangun kebaikan bersama.

Tantangan yang perlu dijawab dan diprioritaskan adalah membangun ruang publik yang benar-benar bebas dan sehat bagi sistem demokrasi yang berkualitas, yaitu untuk memenuhi kebutuhan bangsa, masyarakat, dan Negara (Everyday Live Country).

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top