Menghentikan Wacana “Membuang Sampah pada Tempatnya” | Pranusa.ID

Menghentikan Wacana “Membuang Sampah pada Tempatnya”


Penulis adalah Yohanes Tola. Mahasiswa Program Studi Teknik Sistem Energi di Institut Teknologi Yogyakarta dan Ketua PMKRI Yogyakarta St. Thomas Aquinas.

KOLOM– Beberapa waktu belakangan, masyarakat dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ramai membahas masalah sampah yang diperparah dengan penutupan TPST Piyungan. Pemerintah setempat pun kini mulai terlihat grusa grusu dalam mengupayakan kebijakan cepat dan tepat untuk segera menyelesaikan masalah sampah ini.

Kebingungan masyarakat mengolah sampah turut menghasilkan masalah baru. Ketidakmampuan sekelompok masyarakat mengolah sampah secara mandiri telah memicu kebiasaan menumpuk sampah di pinggir jalan dan berakibat pada munculnya “wisata baru” khas Jogja; “bukit-bukit sampah”.

Akibat tak Sungguh-Sungguh

Munculnya masalah sampah di Yogyakarta tentu bukan fenomena baru yang mulai dibicarakan tiga atau empat bulan terakhir. Sejak tahun 2022, penutupan TPST Piyungan telah dilakukan beberapa kali sebagai upaya pemerintah untuk melakukan perluasan dan pembukaan lahan transisi di TPST Piyungan.

Lantas, saat ini nampaknya pertanyaan perlu diajukan kepada pemerintah mengenai kebijakan penutupan TPST Piyungan; Apakah telah menyelesaikan masalah? Atau malah sebaliknya, penutupan TPST Piyungan untuk pembukaan lahan transisi hanya menunda waktu terjadinya masalah darurat sampah di Yogyakarta.

Artinya, memang masalah tentang sampah sudah menjadi wacana kebijakan dalam tubuh masyarakat khususnya pemerintah DIY. Namun, sejak masalah sampah ini muncul lima tahun lalu, apakah pemerintah sungguh-sungguh melihat ini sebagai isu penting yang perlu segera diselesaikan? Jika demikian, nampaknya masalah sampah hari ini seharusnya tak terjadi.

Situasi Yogyakarta dengan status darurat sampah tentu merupakan implikasi dari kebijakan pemerintah, perilaku masyarakat, dan prioritas pemerintah yang nampaknya perlu mendapat banyak masukan dalam menyelesaikan masalah sampah.

Sejak munculnya masalah ini, langkah yang paling sering dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan perluasan atau penambahan lahan transisi pada TPST Piyungan yang tentunya tidak menyelesaikan masalah itu sendiri. Walaupun, sebenarnya banyak upaya dan pola kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah melalui mekanisme kebijakan dan pendampingan bagi masyarakat maupun organisasi yang memberi atensi pada masalah sampah.

Namun, akibat tak sungguh-sungguh, pemerintah dan masyarakat DIY saat ini seperti diajak untuk belajar tentang akibat menunda-nunda dan tak sungguh-sungguh adalah kecemasan dan penyesalan.

Saat ini, pemerintah didesak waktu dan keadaan yang terlihat dari penumpukan sampah di beberapa sudut kota Jogja. Upaya demi upaya mulai dibahas untuk membuat kebijakan strategis yang dapat dilakukan seperti mulai membahas tentang mekanisme anggaran yang digunakan untuk pembiayaan menyelesaikan masalah sampah.

Anggaran yang besar tentu tidak menjamin terciptanya kebijakan yang tepat guna dan berkelanjutan, tulisan ini ditulis untuk menyumbang terciptanya wacana kebijakan tentang masalah sampah yang tepat sasaran.

Tidak Berhenti pada Kesadaran

Menyelesaikan masalah sampah sering dan akan selalu dikaitkan pada kesadaran dari setiap individu yang adalah dalam masyarakat untuk melihat sampah sebagai barang yang memiliki nilai guna yang dapat dikelola dan menghasilkan barang atau bentuk baru yang bernilai termasuk kesadaran membuang sampah pada tempatnya.

Upaya untuk membangun kesadaran telah dilakukan, sosialisasi menjadi gerak yang dianggap strategis bagi pemerintah untuk masalah ini. Masyarakat diajarkan mengelola sampah secara mandiri, dikenalkan tentang sampah sebagai barang bernilai ekonomis dan wacana ancaman pada kesehatan masyarakat akibat sampah.

Sosialisasi dilakukan dengan segala upaya dan peningkatan intensitas nampaknya tidak menghasilkan perubahan berarti untuk menyelesaikan masalah sampah, lantas apa yang salah? Kesadaran masyarakat telah diupayakan, sosialisasi-sosialisasi yang memakan anggaran telah dilakukan berulang-ulang namun tak benar-benar menciptakan perubahan.  Apakah membangun kesadaran masyarakat tentang sampah terutama edukasi “membuang sampah pada tempatnya” bukan solusi?

Untuk menangani masalah sampah, alur pengolahan sampah tentu telah dimengerti dengan baik oleh pemerintah terutama mengenai teori atau mekanisme pengolahan “hulu dan hilir sampah”. Hulu adalah sumber sampah (pengumpulan) seperti; TPS3R, rumah tangga ataupun masyarakat dalam kategori individu itu sendiri yang mampu mengupayakan pengumpulan sampah untuk dapat dikelola pada hilir.

Hilir adalah pengolahan sampah ang terakhir seperti; industri pengolahan sampah (pengolahan). Untuk memastikan sampah dapat dikelola dengan baik, alur proses pengawalan “hulu dan hilir” sampah perlu dikawal dengan berbagai upaya seperti pendampingan kepada Kelurahan untuk mengolah sampah secara mandiri dan membangun industri pengolahan sampah yang dapat mengolah pasokan sampah yang dihasilkan “hulu”.

Pemahaman pelaku kebijakan tentang teori hulu dan hilir sampah saat ini nampaknya perlu mendapatkan masukan yang sangat teknis dan strategis. Jika tidak, sampah hanya akan menjadi masalah harian masyarakat DIY. Masukan-masukan ini menyasar pada evaluasi pengawalan pemerintah dalam melakukan pemberdayaan dan penciptaan fasilitas sampah yang ideal untuk mengelola sampah.

Misalnya, melalui pembuatan industri pengolahan sampah dan TPS3R di tingkat kelurahan yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah sampah lebih dini pada tingkat kelurahan. Upaya inilah yang saat ini tidak dilakukan dengan komprehensif oleh pemerintah dalam menyelesaikan masalah.

Pembuatan TPS3R  dan industri pengolahan sampah menjadi instrumen penting sebagai kebijakan tepat guna dan berkelanjutan pemerintah dalam menerapkan konsep hulu dan hilir sampah yang ideal untuk dijadikan pedoman dan alur berfikir filosofis dalam menangani sampah.

Fasilitas-fasilitas ini penting disediakan pemerintah agar tak hanya berhenti pada wacana menciptakan kesadaran masyarakat melalui seminar, sosialisasi dan pelatihan tanpa pendampingan yang tak menyasar topik inti dari tema besar ketika ingin menyelesaikan masalah sampah.

Artinya, kesadaran masyarakat tentang pemahaman mengolah sampah secara mandiri atau membuang sampah pada tempatnya tak akan berarti jika fasilitas untuk mengolah sampah tidak tersedia. Ini diandaikan seperti ketika Anda memiliki seekor Ikan namun tak memiliki peralatan untuk memasak, lantas apa gunanya ikan tersebut jika tak bisa dimasak?

Atau  masyarakat telah membuang sampah pada tempatnya, namun apa gunanya kesadaran ini jika industri untuk mengolah sampah di Provinsi DIY tidak disediakan? Tentu tidak menghasilkan perubahan apapun selain sampah hanya bisa dibuang kembali pada TPST Piyungan.

Mengubah kepanikan

Situasi masyarakat akibat masalah sampah tentu berpotensi menghasilkan masalah sampah baru yang makin kompleks. Sampah yang ditumpuk di pinggir jalan sudut-sudut kota kian menghasilkan bau tak sedap yang mengganggu kenyamanan hidup masyarakat. Langkah taktis tentu saja perlu diambil dalam waktu yang cepat dan tempo yang sesingkat-singkatnya.

Di satu sisi, kepanikan dan kecemasan ini diharapkan tak mengganggu komitmen pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang berkelanjutan guna menyelesaikan akar masalah sampah. Mekanisme anggaran yang berpihak pada aspirasi masyarakat menjadi kunci agar fasilitas hulu dan hilir sampah dapat menjadi ide strategis yang diputuskan. Tak kalah penting yaitu menyadari bahwa membangun kesadaran masyarakat melalui sosialisasi yang sangat “normatif” merupakan jalan yang sia-sia untuk ditempuh pemerintah untuk menyelesaikan masalah sampah.

Saat ini, upaya mengadakan TPSR yang menyeluruh di tingkat kelurahan dan membangun industri pengolahan sampah bukanlah ide utopis yang tak bisa diambil pemerintah. Pemerintah DIY melalui dan dengan segala sumber daya yang ada sangat mampu merealisasikan pengadaan fasilitas pengolahan sampah yang berkelanjutan ini.

Selanjutnya yang tak kalah penting adalah bagaimana memastikan political will pelaku kebijakan dapat memberi tendensi pada masalah sampah di DIY yang perlu diselesaikan. Ini catatan penting bagi mahasiswa sebagai rekan kritis pemerintah untuk mendorong lahirnya solusi strategis yang cepat dan tepat.

Bagaimanapun, Provinsi DIY sebagai Kota Budaya tentu memilki panggilan terhadap masyarakat untuk menjaga nilai-nilai dan ajaran budaya dalam melestarikan alam ciptaan melalui ajaran moral budaya “mamayu hayuning bawono”.

Sumber daya yang dimiliki saat ini harusnya tak membuat kepanikan yang berlebih pada pemerintah. Sumber daya mahasiswa dari 105 kampus di DIY (Data LLDikti V Tahun 2023) perlu diberdayakan, program pengabdian kampus diarahkan untuk membahas masalah sampah dan program Kuliah Kerja Nyata diarahkan untuk menyelesaikan masalah sampah sebagai praktik keterlibatan praktis mahasiswa di masyarakat.

Basis sumber daya mahasiswa ini menjadi pilihan instrumen yang dapat diberdayakan pemerintah untuk meredam kepanikan dalam membuat kebijakan di tengah tekanan masyarakat saat ini. Selain itu, organisasi pengabdian masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perlu dibangun jejaring yang diharapkan menciptakan koneksi keterlibatan yang sama tentang masalah sampah baik yang diupayakan pemerintah maupun oleh organisasi atau LSM dan mahasiswa serta masyarakat pada umumnya.

Akhirnya, di tengah masalah sampah, kita belajar tentang makna dari sebuah sikap menunda membereskan masalah dan akibatnya menciptakan polemik yang lebih besar. Di masa depan semoga kita belajar dari makna “jika tak sungguh-sungguh” ini, tidak hanya pada masalah sampah, namun pada semua hal  (pada masalah-masalah lain) yang diharapkan tidak akan datang.

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top