Penghargaan Negara dan Akar Dehumanisasi dalam Pendidikan
“Negara tidak boleh berhemat apapun jika itu untuk pendidikan. Negara boleh boros apapun jika itu untuk pendidikan – Yosef Stanlin”
KOLOM– Pendidikan pada hakikatnya adalah sarana bagi manusia untuk mengenal identitas diri dan hakikat keberadaan nya di dunia. Pendidikan bukan hanya terpaku pada ruang kelas, tetapi terjadi dalam proses kehidupan masyarakat itu sendiri.
Pendidikan yang baik memungkinkan manusia dapat keluar dari kemiskinan dan jeratan ketidaktahuan. Kualitas pendidikan yang baik menciptakan keteraturan dan dinamika ruang publik yang suportif dan sarat perjuangan kemanusiaan.
Namun, untuk sampai pada realitas itu, kita butuh usaha bersama yang memiliki komitmen kembangkan lingkungan dan sarana pendidikan yang mendukung tercapainya kehidupan yang adil dan beradab.
Akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan video Tik-tok yang viral di ruang maya yang menggambarkan sebuah realitas pendidikan di Indonesia saat ini, khusus di Kabupaten Ende Nusa Tenggara Timur.
Video yang menjelaskan pengakuan guru honorer di SMK Negeri 6 Ende tentang gaji yang diterima mereka sungguh melukai hati, kenyataan ini menikam hati pemerhati pendidikan di Indonesia.
Cita-cita negara yang diperintahkan Konstitusi untuk “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” justru tengah melalui jalan nya yang paling timpang, penghargaan negara terhadap Guru masih menjadi dongeng yang tak kunjung berakhir.
Masalah gaji atau penghargaan untuk guru honorer selalu menjadi masalah laten di Indonesia yang tidak kunjung menemui solusi terbaik.
Mencapai pendidikan yang berkualitas tentu menjadi tugas bersama, yang dalam agenda besar ini negara memegang kendali. Infrastruktur, gaji dan aspek lain untuk membangun pendidikan di bawah kendali negara. Sikap negara terhadap kebijakan pendidikan menentukan masa depan generasi.
20 persen APBN kita yang dialokasikan untuk pendidikan nyatanya hanya angka yang tidak pernah dirasakan langsung para pejuang pendidikan seperti guru honorer.
Masalah kian tumpang tindih. Rusaknya moral SDM di pemerintahan karena kualitas pendidikan kita yang tidak dapat diandalkan, justru SDM itu kini menjadi pelaku korupsi anggaran negara.
Entah mana yang perlu diselesaikan lebih awal, negara kehilangan akal, di depan media birokrat sibuk menipu masyarakat dengan janji-janji palsu untuk menyelesaikan masalah.
Political Will*
Masalah pendidikan kita adalah masalah yang tidak terlepas dari praktik politik yang menyimpang. Anggaran pendidikan dan pemanfaatan nya sejak awal dimulai sejak DPR mengetuk palu untuk mengesahkan.
Namun, anggaran seberapa apapun kian tidak bermanfaat, jika pemerintah tidak memiliki sikap yang jelas terhadap pendidikan kita. Kita seperti kehilangan vocal point tentang kemana pendidikan kita dibawa, karena hal tersebut penerapan anggaran dan pemanfaatan nya selalu hilang arah dan disorientasi. Pendidikan yang harusnya memungkinkan adanya apresiasi dan penghargaan antara sesama manusia justru menghasilkan fakta bahwa guru honorer di Kabupaten Ende digaji sebesar Rp. 250.000 per bulan, ini duka bagi pendidikan kita.
Oleh karena itu, sikap dan kebijakan terhadap pendidikan kita perlu memperhatikan fakta bahwa guru honorer perlu mendapatkan perhatian. Urgensi ini yang memungkinkan pemerintah dapat membalikkan muka dan menatap fakta bahwa gaji yang rendah bagi guru merupakan tindakan dehumanisasi dan kolonialisme di era ini.
Tidak banyak yang ingin mengabdi menjadi guru dengan kenyataan apresiasi sebesar itu, namun jika masih ada yang ingin mengabdi, negara bertanggungjawab merawat dan menjaga agar tugas guru mendidik generasi terselenggara dengan baik dan tuntas.
Kabar dan fakta di Kabupaten Ende adalah realitas pendidikan kita saat ini, kita butuh pemimpin rakyat yang memberi keberpihakan melalui politik anggaran yang memperjuangkan sungguh-sungguh kepentingan masyarakat.
Masyarakat butuh pemimpin rakyat yang mampu membaca tanta-tanda zaman dan melihat urgensi pembangunan yang paling mendasar seperti pendidikan.
Suksesnya negara-negara seperti Jepang, Korea, Cina, Amerika, Finlandia dan German dalam membangun pendidikan tidak terlepas dari political will negara dalam membangun fondasi utama pendidikan yaitu Guru.
Sungguh sia-sia menciptakan kurikulum yang ideal jika Guru sebagai fasilitator tidak diberi penghargaan yang cukup. Jika fondasi pendidikan ini sungguh dikerjakan dengan serius, sangat mungkin bahwa realitas baru ke depan dapat tercipta.
Guru yang berkualitas, berangkat dari kecukupan ekonomi. Perkembangan saat ini membutuhkan stabilitas ekonomi untuk menyediakan diri, dalam konteks apapun, negara, kelompok maupun individu.
Kata-kata Yosep Stanlin di awak tulisan ini dapat menjadi rujukan yang jelas bahwa pendidikan begitu penting, tidak ada kompromi untuk itu. Anomali nya, gaji guru yang rendah selalu diikuti dengan angkat korupsi yang meningkat. Entah apa masalah yang sesungguhnya.
Kita bisa saja berharap, video tik-tok dari Guru SMK Negeri 6 Ende yang telah beredar dapat menjadi moral call bagi negara dan pemerintah Kabupaten Ende untuk segera melakukan kebijakan yang lebih jelas dan matang untuk menyelesaikan pergumulan ini.