Cegah “Learning Loss” imbas pandemi, dunia pendidikan didorong optimalkan pemanfaatan teknologi | Pranusa.ID

Cegah “Learning Loss” imbas pandemi, dunia pendidikan didorong optimalkan pemanfaatan teknologi


Penggunaan teknologi digital telah marak digunakan untuk kegiatan belajar mengajar selama pandemi Covid-19 berlangsung. Meski demikian, pemanfaatan tak jarang hanya sekadar saja. Banyak pendidik mengajar lewat aplikasi video-conference dengan cara biasa dalam keadaan tak biasa ini.

Hal ini diungkapkan oleh Mohammad Nuh, Ketua Dewan Pers yang juga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, dalam Webinar SEVIMA pada Selasa (24/08) sore.

Kondisi demikian menurut Nuh, menjadi penyebab pendidikan mengalami learning loss (kegagalan belajar). Sehingga Nuh berharap bahwa teknologi dimanfaatkan untuk mitigasi dunia pendidikan secara besar-besaran sebagai enabler (pembuka akses) dan disruptor (perombakan) dalam mendidik. Tidak hanya sebagai alat semata.

“Mari kita ibaratkan seperti kita kaget saat orang berkerumun di jalan MERR (jalan arteri di Surabaya). Pada umumnya, kita hanya berhenti sejenak, mengetahui bahwa ada kecelakaan, lalu melanjutkan perjalanan. Pola pikir “cukup tahu” seperti ini, jangan ditiru. Karena ketika teknologi hanya kita jadikan alat untuk melewati Pandemi, maka hasilnya akan seadanya saja. Pokoknya sekolah tetap jalan saja. Dan dampaknya, akan ada losses in learning (ilmu tidak terserap),” ungkap Nuh.

Nuh pun berpendapat setidaknya empat tips bagaimana teknologi bisa memitigasi dunia pendidikan secara besar-besaran. Pertama menurut Nuh, filosofi dalam memanfaatkan teknologi dalam pendidikan harus disepakati secara jelas dan tegas. Bersandar pada semangat untuk memenuhi janji kemerdekaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Di era kepemimpinan Nuh sebagai Mendikbud, telah dirintis Buku Sekolah Elektronik, Data Pokok Pendidikan, dan Forum Laporan Pendidikan Tinggi. SEVIMA turut terlibat dalam pembuatan sistem-sistem ini, dengan tujuan memanfaatkan teknologi menjadi pembuka akses pendidikan.

“Di tahun 2008, saya selaku Wakil Ketua Panitia Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional, turut memikirkan dan menyiapkan bagaimana teknologi dimanfaatkan untuk membuka akses pendidikan. Ini penting, karena sebaik-baiknya negara adalah negara yang melunasi janjinya. Sehingga apa yang kita lakukan hari ini (dengan memanfaatkan teknologi), adalah menyiapkan agar janji kemerdekaan itu bisa kita lunasi,” ungkap Nuh.

Nuh menyebut, ketika landasan filosofi dalam pemanfaatan teknologi sudah matang, maka selanjutnya adalah menata pola pikir. Tips kedua ujar Nuh, memastikan tujuan pemanfaatan teknologi dalam pendidikan adalah untuk mendidik anak-anak bangsa dalam menghadapi tantangan di masa depan. Terlebih untuk menghadapi tantangan di momen 100 tahun kemerdekaan nanti pada tahun 2045.

Atas dasar ini menurutnya pendidikan tidak boleh berpola hafalan. Karena, apa yang dipelajari saat ini, belum tentu akan dipakai di masa depan. Paling penting tambahnya, mengajarkan kepada pelajar learning how to learn (belajar caranya belajar).

“Indonesia punya banyak mimpi pada 25 tahun mendatang. Namun Indonesia seakan memiliki miopi atau rabun jauh. Kita mendidik dengan ilmu dan cara hari ini, padahal yang penting adalah learning how to learn, agar 2045 jauh di sana kita bisa jangkau, dan pelajar kita jadi pembelajar sepanjang hayat,” jelasnya.

Nuh melanjutkan tips ketiga, adalah memahami bahwa Indonesia memiliki tantangan sekaligus peluangnya tersendiri. Sebagai negara kepulauan dengan keberagaman sosio-ekonomi yang begitu luas, Indonesia memang memiliki masalah berupa konektivitas internet, akses, maupun pemahaman dan kemampuan mengoperasikan teknologi digital, hingga kesenjangan (digital divide) yang tak bisa dinafikan.

Meski demikian, menurutnya Indonesia memiliki dua modal utama, yaitu: demographic dividend – dimana 64% dari total populasi Indonesia ada di usia produktif, dan digital dividend– di mana usia produktif yang masih rajin belajar dan bekerja ini ketika diberi akses kepada teknologi informasi, maka dapat secara kreatif mengatasi sejumlah permasalahan pendidikan di tanah air.

Jaringan internet Palapa Ring, yang dirintis di era kepemimpinan Nuh sebagai Menkominfo juga disebut sebagai salah satu bukti dari kreativitas masyarakat. Ketika akses internet sudah ada di pelosok, maka masyarakat dengan sendirinya akan memanfaatkan fasilitas tersebut. Misalnya untuk mengakses pengetahuan maupun berjualan secara daring.

“Rasio usia produktif di atas 64 persen, ditambah dengan kreativitas bangsa, keduanya menjadi modal sangat penting sebagai bekal menuju Indonesia emas pada 25 tahun mendatang. Oleh karena itu, pendidikan kita jadikan cara membuka akses, mengeksplorasi keberagaman. Karena kekuatan sebenarnya ada di tangan kita sebagai masyarakat, The Power of We,” jelas Nuh.

Nuh menekankan teknologi digital perlu ditransformasi menjadi digital lifestyle atau gaya dalam mengajar dan mendidik perlu berangkat dari kebiasaan di dunia digital. Hal ini karena sistem pembelajaran digital tidak memerlukan tatap muka di waktu pembelajaran. Ketika materi pembelajaran sudah ada dalam bentuk video, maka belajar bisa kapan saja, di mana saja.

“Ini perlu perubahan mindset. Belajar dari rumah secara hybrid, bukan belajar di rumah dengan cara memindahkan papan tulis dan klasikal kelasnya saja ke dalam aplikasi. Dan perubahan ini harus kita lakukan sangat cepat, karena kedepan kebutuhan skill juga makin kompleks,” lanjut Nuh.

Sejalan dengan paparan Nuh, Kepala Lembaga Pelayanan Pendidikan Tinggi Prof. Suprapto juga menekankan bahwa Pemerintah secara berkelanjutan terus memfasilitasi upaya pengembangan pendidikan digital. Misalnya lewat hibah penelitian, program kampus merdeka, dan pertukaran industri dengan dunia pendidikan.

“Sayangnya, dana penelitian kita ini, walau dibilang cukup kecil dibanding negara lain, tetap tidak pernah terserap habis. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita bersama, bahwa potensi untuk pengembangan terbuka lebar,” ungkap Prapto.

CEO SEVIMA, Sugianto Halim dalam kesempatan itu pun sepakat bahwa pembangunan lifestyle digital ini dapat dilakukan mulai dari cara-cara yang sederhana. Ia mencontohkan bagaimana  civitas akademika yang tergabung dalam Komunitas SEVIMA saat ini telah menggunakan sistem pembelajaran Edlink yang memberi ruang bagi pembelajaran secara asynchronous (tunda).

Sugianto menjelaskan, dosen cukup mengunggah video di sistem tersebut, lalu para mahasiswa dapat menyimak dan mengerjakan kuis kapan saja. Sistem pembelajaran ini juga dihadirkan secara terintegrasi dengan sistem akademik berbasis komputasi awan (SiakadCloud), sistem pelaporan, dan beragam kebutuhan akademik lainnya.

“Pemanfaatan sistem ini dapat kita lakukan secara gotong royong, karena sistem pembelajaran ini juga tersedia dalam versi komunitas dan bisa diunduh secara gratis oleh perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Yang paling penting saat ini, adalah komitmen kita untuk menggunakan dan menyongsong kemajuan teknologi,” pungkas Halim.

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top