Surati Presiden, SP PLN Minta Hentikan Privatisasi Kelistrikan lewat Holding Panas Bumi
PRANUSA.ID- Serikat Pekerja PT PLN (Persero), terus menyuarakan penolakan terhadap rencana pembentukan holding pembangkit panas bumi yang dinilai sebagai langkah privatisasi dan bertentangan dengan konstitusi. Permintaan ini pun turut disampaikan kepada Presiden Joko Widodo sebagai upaya untuk mengingatkan Amanah konstitusi.
Prvatisasi dibalik agenda pembentukan holding baru disebut akan menimbulkan beban bagi puluhan juta pelanggan PLN yang tersebar di seluruh tanah air.
“Karena privatisasi itu ujung-ujungnya adalah listrik mahal, karena ada beberapa transaksi yang harus dipikul oleh pelanggan kita” ujar Muhammad Abrar Ali, Ketua Umum Serikat Pekerja PLN dalam Rapat Akbar SP PLN yang berlangsung secara daring, Kamis (5/7/2021)
Abrar melanjutkan bahwa PLN telah mengalami banyak perkembangan. Termasuk di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, PLN menurutnya berhasil berkembang sehingga menjadi perusahaan besar dengan aset mencapai Rp. 1600 triliun.
Atas perkembangan ini, menurutnya pembentukan holding menjadi tidak relevan terlebih PLN sendiri sebenarnya sudah menjadi holding ketenagalistrikan.
“Kita kemarin juga sudah menyampaikan surat kepada Bapak Presiden untuk menjadi pertimbangan bagi beliau agar rencana pembentukan BUMN baru khusus untuk PLTP itu, agar ditinjau ulang. Kita berharap itu bisa dibatalkan” ujarnya.
Abrar pun mempertanyakan urgensi pembentukan BUMN baru. Terlebih mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi, menurutnya untuk bidang ketenagalistrikan maka PLN yang harus menjadi Holding Company.
Merujuk pada PP 23 tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), Abrar menegaskan posisi penugasan PLN. Dalam PP tersebut, menurutnya ada dua bagian penting penugasan PLN. Pertama adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, secara adil dan merata serta mendorong peningkatan ekonomi. Kedua, mengusahakan keuntungan agar dapat mengembangkan penyediaan tenaga listrik untuk melayani kebutuhan masyarakat.
“Ini tujuan pembentukan PLN. Atas dasar itu tentu kita diberi tugas dan tanggungjawab yang begitu berat” ujarnya.
Abrar pun mengingatkan bahwa soal holding, PLN sendiri sudah merupakan holding ketenagalistrikan dengan berbagai anak usahanya. Lebih jauh, ia mendorong agar konsep pengelolaan energi pun dikembalikan ke model lama yang menempatkan energi di bawah Kementerian Pertambangan dan Energi. Hal ini agar semua kembali pada tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) masing-masing.
“Maka kita mengingkatkan bapak Presiden agar Kementerian BUMN mengembalikan masing-masing BUMN kita sesuai tupoksi” ujarnya.
Senada dengan itu Dewanto Wicaksono mewakili Serikat Pekerja PJB menyatakan pihaknya tidak menolak holding selama dipimpin oleh perusahaan yang berkompeten. Menurutnya akan menjadi masalah justru bila holding yang dibentuk lalu diprivatisasi.
Pihaknya menyebut bahwa isu yang lebih penting sebenarnya saat ini bagi sektor kelistrikan adalah menghilangkan mekanisme Take or Pay yang menjadi penyebab naiknya Biaya Poko Penyediaan (BPP) listrik PLN. Ia menyebut bahwa biaya terbesar dalam struktur keuangan PLN berasal dari bahan bakar dan pembelian listrik dari Independent Power Producer (IPP).
Adanya rencana pensiun PLTU milik perseroan dan relokasi sebagian pembangkit ke luar Pulau Jawa disebut menambah beban bagi PLN.
“Ini tentu saja jadi pukulan telak. Artinya yang menjadi penguasa di Jawa yang merupakan backbone dari PLN adalah IPP” ujarnya seraya mengingatkan beratnya beban yang akan ditanggung PLN dengan rencana ini.
Kahar S. Cahyono, Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dalam kesempatan itu pun turut mengingatkan bahwa listrik telah menjadi kebutuhan pokok dan karena pentingnya peran listrik bagi masyarakat, maka sudah seharusnya tidak diprivatisasi.
“Listrik menjadi sesuatu yang penting dan tidak bisa diprivatisasi, diserahkan pada pasar. Harus dikuasai negara” ujarnya.
Kahar pun mengingatkan kilas balik lahirnya PLN yang berproses sejak era kolonial Belanda hingga penjajahan Jepang. Saat akhirnya Indonesia berhasil meraih kemerdekaan, para pekerja muda yang mengoperasikan pembangkit sendiri yang menyerahkan aset pada negara.
Sejarah perjuangan kemerdekaan di balik lahirnya PLN menurutnya mesti mengingatkan semua pihak agar tidak salah kelola. Mengingat besarnya kepentingan rakyat di balik pengusahaan kelistrikan ini.
“Ini menjadi sesuatu yang sangat penting untuk kemudian menyimbolkan pentingnya perusahaan ini” ujarnya.